Menanggapi tulisan opini saya tentang Aliansi Mahasiswa Bersatu se-Kota Medan di depan kantor DPRD Sumut tanggal 20 September 2018 yang kemudian terbit di koran harian waspada tanggal 29 September 2018 halaman B7 dengan judul Catatan Netral Seorang Mahasiswa dalam Demo, tentu perasaan senang ditambah bangga bercampur haru adalah sesuatu yang kerap terjadi ketika harapan berbuah manis.
Menjadi seorang penulis bergenre kritikan adalah salah satu tujuan saya dan tulisan yang di muat di beberapa media bergengsi adalah salah satu harapan saya. Tiga jenis perasaan yang tercampur baur hari itu menjadi latar belakang bergadang saya menanggapi berbagai komentar teman-teman. Sepertinya saya kembali masyhur dikalangan teman-teman yang belum mengenal saya.
Seolah-olah kejadian empat tahun lalu terulang, ketika tercipta pro-kontra menanggapi tulisan saya yang dimuat sebagai surat pembaca di koran harian waspada. Ini bukan kali pertama tulisan saya di muat di harian waspada, tapi tetap saja saya tidak berhenti bersyukur malam itu.
Secara personal saya menilai ketika harapan saya terwujud bukan berarti tujuan saya selesai. Saya tidak pernah menyebut bahwa saya adalah seorang penulis karena menjadi seorang penulis hanyalah salah satu dari tujuan saya.
Tujuan tersebut masih sedang berjalan, ntah sampai kapan. Ketika saya telah menyatakan saya adalah seorang penulis, artinya saya akan mendedikasikan hidup dengan berbagai jenis tulisan yang tidak pernah berhenti atau barangkali menulis menjadi pekerjaan tetap saya atau mungkin saja mengistilahkan menulis sebagai oksigen.
Saya pernah menuliskan singkat perjalanan menulis saya di akun kompasiana yang mendapat sedikit perhatian juga bagi beberapa orang. Beberapa teman sering menanyakan hal yang sama seputar tips menulis bahkan sampai berujung pertanyaan pribadi yang sering membuat saya jengkel.
Dari pada harus menjelaskan tips menulis, bagaimana cara tulisan kita bisa terbit di koran, sejak kapan saya pandai menulis, baiknya saya bercerita kepada teman-teman bahwa saya bukan orang yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan itu. Saya hanya bagian dari orang-orang yang beruntung memiliki hobi yang bisa menghasilkan duit hahaha.
Bayangkan saja bagaimana hobi bekerja, begitupula saya dengan tulisan. Ide-ide yang berkeliaran dalam pikiran saya mengalir begitu saja ketika saya menuliskannya. Tapi tidak semua ide tersebut tertuang dengan rapi. Seringkali saya kejar-kejaran dengan ide yang saya dapati sedang bersembunyi atau kehilangan ide yang lari ntah kemana.
Parahnya kejernihan dan kelancaran tulisan saya seiring dengan kemarahan atau kekesalan saya. Semakin saya kesal semakin banyak ide yang mencuat. Mungkin hal ini yang menjadi lahirnya tulisan saya yang bergenre kritikan. Untuk melahirkan tulisan pun saya menunggu mood yang buruk, seorang rekan mengistilahkannya sebagai penulis musiman. Jadi saya menolak talk-sharing-talk yang berdiskusi seputar "bagaimana caranya."
Ketika nama saya ramai dibicarakan, jalan ternyaman untuk mengumpulkan rencana selanjutnya adalah berkonsultasi dengan orangtua. Saya bercerita komentar terhadap link tulisan yang saya bagikan di akun facebook dibumbui dengan doa dan kekaguman. Kebanyakan dari mereka hanya terpukau dengan prestasi, padahal bukan itu tujuan dari tulisan saya.
Saya geram kepada teman-teman yang heboh ber-cie-cie yang ntah apa maksudnya. Atau teman-teman yang heboh bertanya ini itu seolah-lah saya telah melakukan perubahan besar terhadap Indonesia. Atau teman-teman yang menganggap tujuan saya menulis hanya mengumpulkan honor, atau teman yang meremehkan perasaan saya seolah-olah semua tulisan bisa dimuat di harian waspada.