Mohon tunggu...
Siti Rahmadani Hutasuhut
Siti Rahmadani Hutasuhut Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis puisi, cerpen dan opini sosial-hukum-budaya

Im interested in social phenomena, deep thoughts and mentality

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tetap Menulis Walau Aku Bukan Mahasiswi Jurusan Sastra

30 April 2018   23:06 Diperbarui: 1 Mei 2018   19:56 2734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (pixabay)

Aku tetap suka menulis walau aku bukan mahasiswi jurusan sastra. Aku masih ingat, tulisan pertamaku saat masih kelas III SD menjadi kategori favorit yang dibacakan oleh wali kelas yang berjudul "Hari Menerima Rapor" lalu aku tulis ulang dengan sedikit memperbaikinya di kelas IV SD. 

Lalu Aku mulai belajar membaca beberapa puisi karangan Ismail Marzuki, Sanusi Pane, Chairil Anwar dan karangan lainnya yang sering ditulis dalam buku ajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Aku juga mulai belajar membaca beberapa cerpen ringan yang ditulis dalam buku ajar mata pelajaran Bahasa Indonesia tersebut.

Masuk bangku SMP Aku mulai menyukai seorang penulis, Sapardi Djoko Damono. Aku tertarik dengan puisinya yang berjudul "Hujan Bulan Juni" lalu membaca beberapa puisi lainnya seperti Yang Fana Adalah Waktu, Aku Ingin dan lainnya. Waktu itu, diusiaku yang masih berkisar 11 tahun terlalu muda untuk menyukai karya Djoko Damono. 

Mungkin beberapa teman menanggap seleraku payah, kuno dan terlalu tua. Sampai pada tahun 2017, novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono tersebut diangkat menjadi film yang dibintangi oleh Adipati Dolken dan seorang teman bercerita padaku tentang film tersebut lalu dalam hati aku tertawa kecil teringat akan komentar teman SMP ku tentang aku yang dianggap selera payah karena menyukai Sapardi Djoko Damono diusia semuda itu.

Awal aku menyukai puisi Djoko Damono, sederhana. Aku selalu gagal paham memaknai arti puisinya yang berjudul Aku Ingin, yang sering ditulis diundangan pernikahan. Sekali ku baca, aku pikir itu puisi romantis yang indah. Ku baca kedua kali, aku pikir itu puisi sedih yang mendalam, ku baca berulang kali, aku masih tidak menemukan sebenarnya arti puisi tersebut. 

Lalu aku mendengar talk show Djoko Damono, dia mengatakan bahwa menulis puisi disengaja agar pembaca berpikir sesuka hati tentang makna puisi tersebut sampai akhirnya tidak akan menemui makna yang sebenarnya. Bukan berarti puisi tersebut tidak punya tujuan, tidak punya arti atau buram. 

Tapi dengan begitu, puisi tersebut akan tetap hidup sampai kapanpun. Coba bayangkan jika puisi ditulis dengan bahasa baku yang konkrit, setiap pembaca akan memiliki penafsiran yang sama dan puisi tersebut akan berhenti hanya sebatas selesainya pembaca membaca puisi. Karena sulitnya aku memahami maksud puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, aku menyukainya.

Masuk bangku SMA, aku mulai mengikuti beberapa lomba menulis lokal. Waktu iu, kelas X, aku mendapat Juara I menulis puisi yang diadakan oleh Ikatan Alumni SMA Nurul Ilmi Padangsidimpuan Komisariat Riau dan Juara III nya diraih oleh abang kelas XI. Berangkat dari pengalaman itu aku semakin percaya diri untuk mengikuti lomba menulis lainnya.

 Yang ada dalam pikiranku "yang menang menulis gak pernah mandang umur karena lebih tua pasti lebih pandai, salah." sehingga aku memenangkan beberapa event menulis kecil-kecilan. Lalu berpacu untuk menulis dalam taraf nasional.

Dikelas XII, aku bertemu dengan seorang penulis yang kritis yang terkenal sebagai penulis koran waspada yang berkelas dan juga merupakan guru mata pelajaran Bahasa Arab di SMA ku. Kami diberi tugas untuk menulis tentang teman sebangku. Guru tersebut tertarik dangan tulisanku dan memintaku untuk menulis tentang hal lain. Lalu kutuliskan tentang orangtua dan guru tersebut menyarankan untuk mengirim tulisan itu ke koran waspada. 

Tapi aku masih belum berani. Suatu hari, saya menulis tentang ketidaksukaanku kepada beberapa guru yang menjanjikan "saya akan memberi nilai bagus kepada siswa yang baik dan rajin walau dia tidak pintar" diawal masuk kelas untuk kemudian diingkari oleh beberapa guru tersebut dan tentang ketidaksukaanku kepada beberapa guru yang dengan percaya diri mengajar dan memberi nilai kepada siswa yang bahkan guru tersebut tidak mengenal siswa yang dia ajarkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun