Timur tengah terus bergejolak. Diantaranya adalah negara Suriah yang baru-baru ini ditinggalkan oleh Presidennya, Basyir Hafiz al Assad. Dinasti Assad telah memerintah dengan tangah besi di Suriah selama setidaknya lima dekade, Â sebelum kemudian digulingkan oleh milisi Hayat Tahrir al Sham (HTS). Assad sendiri telah mendapat suaka politik di Rusia.
Perang saudara yang telah disulut oleh Assad dan lawan politiknya telah menimbulkan korban dalam jumlah besar di Suriah. Perang di negara ini juga menimbulkan berbagai gelombang pengungsian. Turki, Iran, Jerman , Yordania dan beberapa negara lainnya adalah penampung para pengungsi dari Suriah dalam jumlah besar. Â Dan tentu saja mereka mengalami persoalan yang kompleks.
Kemenangan HTS kali ini adalah kemenangan atas protes mereka soal kepemimpinan Assad, dan bukan soal ideologi. HTS dulu dikenal sebagai organisasi yang terafiliasi dengan al Qaeda namun kemudian mereka menyatakan lepas dari Al Qaeda karena al Qaeda memberikan image buruk kepada mereka terutama seakan pro dengan kekerasan . HTS juga menyerahkan pembentukan pemerintahan transisi kepada Perdana Menteri Assad lama  untuk masa depan Suriah.
Di titik ini kita tahu bahwa HTS sama sekali tidak berniat untuk membentuk pemerintahan dengan berbasis syariat Islam atau kekhilafahan seperti yang banyak diduga orang. Yang mereka inginkan adalah tata kelola pemerintahan yang bersih dan adil bagi semua orang agar warga Suriah mendapat penghidupan yang layak.
Kalau begitu, bagaimana dengan ISIS di Suriah ? Kita tahu bahwa di Suriah banyak sekali milisi dan faksi pemberontak yang berbeda satu sama lain. Beberapa milisi itu merupakan proxy dari beberapa pihak yang berada di luar negeri seperti beberapa milisi yang merupakan proxy dari Turki, beberapa milisi proxy dari Rusia dan lain sebagainya . Â Sehingga ISIS merupakan satu milisi yang tidak mempengaruhi HTS dalam penyusunan pemerintahan baru.
Jadi jika beberapa pihak di tanah air menglorifikasi khilafah melalui apa yang terjadi di Suriah, adalah pendapat yang keliru. Semoga narasi itu  tidak menginspirasi pergerakan di Indonesia, yang menjurus pada intoleransi, dari diskriminasi verbal hingga ancaman fisik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H