Beberapa waktu lalu, ada sebuah aksi mengejutkan yang dilakukan oleh FPI.  Sebenarnya FPI (Front Pembela Islam ) ini sudah dibubarkan oleh pemerintah, namun  menjelma menjadi Front Persaudaraan Islam. Mereka melakukan aksi 411 yang bersifat provokatif, diantaranya mendesak agar mantan Presiden Joko Widodo  diproses hukum, menuntut penangkapan pemilik akun Kaskus bernama 'Fufufafa,' serta menangkap calon wakil gubernur Suwono yang berpasangan dengan Ridwan Kamil.
Karena membawa misi hukum, orang mempertanyakan apakah organisasi baru ini benar-benar di jalan yang benar atau tidak. Apakah FPI versi baru ini merupakan FPI lama namun bertransformasi menjadi seakan-akan baru.
Aksi 411 ini, yang disebut oleh pihak FPI sebagai bentuk "jihad konstitusi," seakan mengisyaratkan bahwa mereka ingin menampilkan diri sebagai pembela konstitusi dan keadilan. Namun, tuntutan mereka agar Presiden Joko Widodo diproses hukum tanpa alasan yang jelas dan desakan untuk menangkap individu anonim di dunia maya seperti pemilik akun Kaskus 'Fufufafa' memunculkan pertanyaan: apakah ini murni demi keadilan atau justru bentuk tekanan sosial dan politik untuk mewujudkan agenda politik tertentu di Indonesia?
FPI lama sangat kental dengan politik identitas dan memakai agama sebagai alat politik. Kita mungkin masih ingat pada masa Pilkada Jakarta 2017 yang penuh dengan kontroversi dan konflik. Beberapa hal malah sangat sarat dengan politik pecah belah. Agama dijadikan alat untuk menarik warga agar memilih kandidat tertentu. Hal itu dilakukan dimana-mana online maupun offline, bahkan terjadi di rumah ibadah.
Mereka menyuarakan isu-isu moralitas dan agama yang sering membuat orang berkonflik. Isu-isu moralitas itu seringkali mencabik-cabik kerukunan kita, keharmonisan antar warga yang berbeda. Bahkan sering menghadirkan dakwah-dakwah yang berisikan kontroversi dan sering menyentuh emosi. .
Akibatnya organisasi semacam ini seringsekali menimbulkan ketegangan sosial dan perpecahan pada warga yang beragam. Ketegangan-ketegangan sosial terjadi dari warga yang  cukup umur sampai anak-anak yang seharusnya tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Marilah kita tidak terpengaruh pada pandangan-pandangan negatif itu. Marilah kita lebih memperbanyak dakwah-dakwah dialogis dan multikulturalis, karena itu lebih sesuai dengan situasi dan kondisi negara dan bangsa kita. Â Dakwah-dakwah ini juga menjaga kita agar tetap sejalan dengan filosofi negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H