Setiap Desember, sebagian dari kita mungkin teringat pada tokoh agama Islam moderat Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus Dur tak hanya membekasnya ingatan baik di benar kaum nahdliyin namun juga non muslim yang sebagian kini berada di Amerika Serikat (AS), Australia dan beberapa negara lain. Tentu saja juga kaum Islam moderat di Indoensia dan non muslim di Indonesia.
Gus Dur meninggal pada 30 Desember 2009 atau sekitar 13 tahun lalu. Kepergiannya karena sakit itu nyaris sepuluh tahun setelah beliau menjadi Presiden. Dalam jangka waktu dua tahun beliau jadi presiden, terlepas dari polemic politiknya, beliau meninggalkan legacy soal pluralisme. Tercatat beliau mengesahkan Kong Hu Cu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Kita tahu banyak sekali keturunan Tionghoa yang terpaksa memilih lima gama resmi yang diakui Indonesia sebelumnya (Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu) Umat Kong Hu Cu merasa senang karena tidak saja agama mereka diakui namun juga karena dapat menjalankan agama mereka di tempat ibadah sendiri.
Tak hanya itu, saat beliau hidup beliau seperti mengingatkan umat Islam soal kesetaraan beragama. Bagi beliau tak seharusnya ada pertentangan antar umat beragama, jika kita saling menghargai. Bom Bali yang terjadi pada awal decade 2000-an sempat membuat banyak pihak tidak nyaman, dan GusDur sering mengingatkan soal Islam yang cinta damai "rahmatan lil alamin"
Pluralisme yang dipahami oleh para pendiri kita dipahami dengan baik oleh Gus Dur sehingga seringkali beliau menekankan bagaimana kita harus selalu menghargai agama lain, tanpa harus merasa terganggu keimanan kita masing masing. Ayat yang berbunyi : Agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu merupakan salah satu ayat untuk bisa memberikan harmoni kebangsaan kita.
Banyak kerja-kerja kemanusiaan yang bisa dikerjakan bersama, lintas iman. Membantu pemerintah menaggulangi bencana, mengurusi orang jompo yang sebatang kara atau yatim piatu. Pekerjaan pekerjaan itu bersifat universal dan humanis tanpa harus memperdebatkan keimanan karena semua adalah saudara dalam kemanusiaan.
Tiga belas tahun berlalu, jika Gus Dur masih hidup, atau beliau bisa melihat suasana Indonesia dari alam sana, mungkin beliau menjadi sedih. Intoleransi mengental di beberapa daerah di Indonesia. Bahkan beberapa tokoh Islam terkesan " menghidupkan' intoleransi melalui ceramah-ceramahnya. Beberapa pelaku bom bunuh diri juga melakukan aksinya dengan semangat jihad yang keliru.
Desember ini kita diingatkan oleh ucapan Gus Dur " Jika dia bukan saudara seiman, setidaknya dia adalah saudara dalam kemanusiaan" Ucapan ini seharusnya bisa menjadi penyemangat kita untuk menutup tahun ini dengan baik dan membuka lembaran tahun baru dengan semangat yang baru dan niat yang baik.
Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H