"Kami mahasiswa Indonesia bersumpah! Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan,". Demikian salahsatu bunyi sumpah yang pernah di ikrarkan mahasiswa ketika aksi 1998. Sungguh kita dibuat merinding sekaligus kagum terhadap isi sumpah itu. Para mahasiwa dengan lantang menyatakan diri bahwa mereka yang akan menjaga tanah air dari segala bentuk penindasan. Namun kita perlu kembali mempertanyakan, masihkah saat ini api semangat sumpah itu dipegang dan dijalankan? Atau telah usai bersamaan dengan bubarnya rezim yang dituntut waktu itu?
Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penindasan diartikan sebagai penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain.Â
Maka sesuai dengan sumpahnya, mahasiswa berkewajiban agar ditanah air Indonesia, tak ada individu yang tersakiti, dirampas haknya, dipaksa menganut suatu ideologi, dan segala bentuk penindasan yang lain (baik fisik maupun psikologis). Sudahkah ini terwujud dalam aksi nyata? Tak perlu disini kita membahas hukum seseorang yang melanggar sumpahnya.
Mahasiswa, sebagai seorang akademisi yang setiap harinya bergelut dengan teori. Tugas utamanya adalah belajar secara total sesuai dengan bidang ilmu yang dipilihnya. Namun ini bukan berarti bahwa mahasiswa hanya mengemban amanah didalam kelas yang isinya meja dan kursi.Â
Sesuai sumpahnya, mereka harus ikut berperan menjaga dan membangun negeri. Untuk melangkah kesana mahasiswa harus memahami apa dan bagaimana tantangan yang dihadapi bangsanya. Terkait sumpah yang pertama, bicara penindasan, sudahkah bangsa ini bebas dari penindasan? Dengan jujur kita akui, masih banyak yang tertindas dan seenaknya melakukan penindasan.
Beragam kasus tergolong penindasan terjadi di Indonesia. Mulai dari kasus kekerasan dalam keluarga, sekolah, hingga lingkungan masyarakat yang lebih luas. Dilingkungan keluarga, Komnas Perempuan Indonesia mengungkapkan terdapat 259.150 kasus kekerasan atas perempuan sepanjang tahun 2016.Â
Dilingkungan sekolah, berdasarkan data International Center for Research on Women (ICRW) pada 2015, sebanyak 84 persen siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah. Kemudian sebagaimana dilansir dari berita Kompas.com, tercatat  172 orang melakukan aksi terorisme sepanjang tahun 2017. Data ini seharusnya sudah cukup menggugah hati para mahasiswa untuk turut andil mencegah dan menyelesaikan permasalahan ini.
Bagaimana cara yang dapat dilakukan mahasiswa? Soft approach (pendekatan halus) bisa jadi langkah yang efektif. Dimulai dari mengkampanyekan gerakan anti kekerasan, anti radikalisme dan terorisme. Hal ini bisa dibalut dalam beragam bentuk, mulai dari demonstrasi, acara seminar dilingkungan kampus, atau acara lain sesuai organisasi yang diikuti mahasiswa.Â
Kemudian, mahasiswa selaku kaum intelektual dan dipandang sebagai panutan oleh masyarakat, melakukan sosialisasi sekaligus edukasi kepada masyarakat luas agar tidak melakukan aksi penindasan dan menghalau paham radikalisme. Ketika aksi nyata ini dilakukan, barulah seorang mahasiswa terbukti memenuhi sumpah mahasiswanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H