Mohon tunggu...
Tias Tanjung Wilis
Tias Tanjung Wilis Mohon Tunggu... Administrasi - Murid kehidupan

Perempuan biasa yang suka berbagi cerita Berharap bisa membuat perubahan Menciptakan kesetaraan laki-laki dan perempuan Melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Review Film: Inferno

29 November 2016   17:57 Diperbarui: 29 November 2016   18:04 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sudah lama sejak film adaptasi novel Dan Brown yang terakhir, Angels and Sebagai orang yang sangat maniak terhadap novel-novel Dan Brown, tentu saya sangat gembira ketika terdengar kabar Inferno akan diangkat ke layar lebar.

Film ini menceritakan tentang Robert Langdon (Tom Hanks) menyelamatkan dunia dari virus buatan Bertrand Zobrist (Ben Foster) yang diberi nama "INFERNO". Zobrist adalah seorang ahli biokimia dan pengagum fanatik karya Dante. Ia menganggap dunia sudah sangat terbebani dengan jumlah populasi manusia saat ini. Konsekuensinya, jika jumlah penduduk tidak dikurangi secara ekstrem, maka spesies manusia akan punah dalam waktu dekat.

Dibantu Sienna Brooks (Felicity Jones), Langdon berusaha memecahkan petunjuk-petunjuk dari Zobrist yang disembunyikan di balik puisi bertajuk "Inferno", maha karya penyair terkenal Dante Alleghieri dan karya-karya lain yang diturunkan dari puisi itu. Berdua, mereka berlomba dengan waktu untuk melacak keberadaan virus Inferno dan lari dari kejaran WHO, polisi Amerika, dan pembunuh bayaran anak buah Harry Sims (Irrfan Khan).

Berbeda dari film Dan Brown sebelumnya, Inferno terkesan dangkal dengan intrik yang mudah ditebak, bahkan dari awal. Dari awal kita sudah tahu yang mengejar Langdon adalah WHO, padahal di novelnya kita baru tahu mereka dari WHO di bagian akhir novel. Ini jadi mengurangi ketegangan cerita.

Film ini mengambil latar di dua negara, dengan tiga kota terindah: Firenze, Venezia, dan Istanbul. Sayangnya, berbeda dari dua film sebelumnya, Inferno kurang mengeksplorasi kekayaan budaya dan sejarah di balik itu. Jadi, film ini terkesan seperti film aksi biasa, seperti Bourne atau Taken. Terlalu banyak aksi kejar-kejaran yang tidak berarti yang pada akhirnya membuat kita capek, bahkan bosan. Padahal, yang membuat novel dan film Dan Brown begitu digemari banyak orang adalah karena muatan sejarah dan budayanya yang sangat kental. Tapi sayang di film terbarunya, kita tidak bisa merasakan itu.

Banyak bagian di film ini yang sangat berbeda dengan versi novelnya. Misalnya, di versi film, penggambaran karakter kurang kuat. Sebagai contoh, Zobrist bunuh diri karena dikejar-kejar pasukan Amerika, padahal seharusnya dia memang bunuh diri karena keinginannya sendiri. Jadi terkesan, Zobrist bunuh diri karena takut tertangkap. Kemudian, di film ini, Harry Sims atau yang di novel hanya dikenal dengan the Provost, minta kepada anak buahnya untuk membuka file video yang dibuat Zobrist. Ini sangat bertentangan dengan prinsip yang dianut the Provost dan karena itu, kita tidak bisa merasakan dilema Provost seperti yang digambarkan di novel. 

Ketidaksesuaian objek sejarah juga ada. Versi novelnya sudah benar, tapi lagi-lagi penggambaran di filmnya salah. Makam Henricus Dandolo (Enrico Dandolo) yang seharusnya di lantai 2 Hagia Sophia juga digambarkan di lantai 1 dan diletakkan di posisi yang mencolok. Padahal sebenarnya, jika tidak ada garis pembatas di sekitar makamnya, pasti kita tidak akan pernah tahu itu makam tokoh penting dalam sejarah.

Dan yang paling tidak sesuai adalan ending cerita. Di film digambarkan Langdon dan director general WHO, Elizabeth Sinskey (Sidse Babett Knudsen), berhasil mencegah penyebaran virus. Sementara di novel virus sudah tersebar bahkan sebelum Langdon sampai di Yerebatan Sarayi di Turki. Dan lucunya, Langdon diceritakan pernah memiliki hubungan romantis dengan Sinskey, padahal di novelnya hubungan mereka seharusnya sebatas hubungan profesional saja.  

Jadi, menurut saya film Inferno ini seharusnya bisa dibuat jauh lebih baik lagi, tanpa terkesan buru-buru, dengan intrik yang lebih rumit lagi, dan eksplorasi sejarah dan budaya yang lebih dalam lagi. Semoga film adaptasi novel Dan Brown lainnya akan lebih baik dari ini. Minimal sama seperti dua pendahulunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun