Gadis itu lenyap. Lenyap dalam dunianya. Si bujur sangkar seakan-akan tertempel kekal di genggaman jemarinya. Genggaman itu membanjiri telapaknya. Deras keringat terus berproduksi. Mimik wajahnya bercahaya terkena pantulan layar benda itu. Pikirannya terpusat di babak terakhir, pelipisnya basah. Jantungnya berdegup kencang. Satu tekan ibu jarinya berhasil, kemenangan ada di pihaknya. Sontak mengundang sorak bising puas.
Sosok itu menghentikan langkah. Rambutnya putih, tubuhnya hampir habis dimakan usia. Dirinya bak leluhur pohon keluarga. Wanita itu kerap dinamai ‘Nenek’. Dirinya memperhatikan sang gadis dari jauh. Gadis itu kian bertumbuh, rasanya baru kemarin ia menggendong bayi kecil itu. Seulas senyum terlintas, menutup sebagian bola mata dengan kulit keriputnya. Sekelibat album memori terekam di kepala. Momen berharga yang pernah mereka lalui rasanya sudah berdebu. Irama air mata jatuh seketika. Kenangan yang bisa diputar ulang, tak bisa dilakukan kembali. Dia teringat suatu hal. Sesuatu yang perlu dia dan gadis itu lakukan. Kakinya berlari kecil, mencari letak sebuah barang. Tanpa membuang waktu, tangannya sudah berada di bawah kotak besar penuh serbuk kotor.
“Khansa, kemarilah sebentar,” panggil Nenek. Gelombang suaranya bergetar menuju indra pendengaran gadis itu, Khansa sapaannya. Kepalanya menoleh ke sumber suara. Sigap Khansa beranjak, melangkah menuju arah panggilan.
Nenek mengusap debu yang hinggap, sontak debu berpindah ke hidung mungil sang gadis menghasilkan nada-nada batuk ringan. Khansa menyerngitkan dahi. Sebuah benda asing mengundang pertanyaan kepada wanita paruh baya di sebelahnya. Nenek tak langsung memberi tutur jawaban, memilih membuka kain yang menutupi benda itu. Mata Khansa menangkap, pikirannya mulai mencari data apakah benda di hadapannya. Nihil, Khansa tak mengenali benda itu.
Sebuah Congklak, katanya. Ingatan Khansa kembali. Permainan yang tak pernah absen dalam kenangan masa kecil Khansa. Bibirnya melengkung sempurna. Dalam benaknya memutar cuplikan kilas balik masa-masa tanpa beban itu. Perasaan haru muncul. Nenek menata batu-batu kecil, mengajak untuk memainkannya. Tanpa berpikir lagi, Khansa menerimanya.
Mereka larut dalam permainan nostalgia itu. Permainan tradisional yang kini dilupakan. Hangus. Dimakan zaman. Andaikan permainan-permainan kuno masih dicintai, betapa indahnya halaman rumah dipenuhi kebahagiaan sederhana yang terangkai. Ironisnya, mereka lebih jatuh hati pada sesuatu yang mutakhir. Lamunan Nenek pecah. Tawa kemenangan Khansa terdengar. Nenek tersenyum bangga, keberhasilan Khansa tak sengaja membuka kembali kunci gerbang itu. Congklak itu berguncang hebat. Khansa merasa seluruh atmosfer jatuh tepat di atas kepalanya. Kian memberat, pandangannya menghitam seketika.
Bak seribu kunang-kunang yang beterbangan, sapuan sinar putih mengusik pupil matanya. Pejaman mata perlahan membuka. Buram, semua tampak tak jelas. Matanya berkedip berulang, menghasilkan tangkapan cakrawala yang menawan. Tubuhnya terbaring di hamparan rerumputan. Aroma wewangian menyerbak hidungnya. Khansa terbangun, menangkap keberadaan Nenek sudah duduk membelakanginya.
Seribu tanya timbul di benaknya. Bibirnya membulat. Matanya berbinar melihat sekelilingnya dipenuhi ladang bunga Edelweiss. Belum terucap satu kata, birama sepatu terdengar. Iramanya tergesa-gesa. Khansa menggerakkan kepala ke sana kemari, mencari vibrasi langkah itu. Aneh, tak ada satupun wujud ditangkap matanya. Berbeda dengan Nenek yang seolah menunggu kehadiran seseorang. Suara itu semakin mendekat. Sebuah bayangan datang dibalik halimun. Bayangan itu semakin jelas membentuk sosok asing. Khansa terdiam, sedangkan Nenek maju melangkah.
“Selamat datang kembali, Ni Kasmiri. Banyak yang terjadi disini, Ni. Kepingan kultur semakin riuh berdatangan, sepertinya para generasi di duniamu semakin luput. Tak sedikit dari berbagai kultur terhisap.”
Tubuh Nenek seketika menggeligis mendengar kabar dari lelaki itu. Khansa yang masih belum mengerti berusaha untuk memahami. Perbincangan itu, seakan-akan Nenek dan sang lelaki sudah saling mengenal. Sekilas dia memperhatikan lelaki itu. Perawakannya tinggi dan gagah. Kedua matanya diapisi penutup, menyisakan sedikit lubang. Mendadak pandangannya menuju Khansa. Tatapannya tajam. Samar-samar Nenek menyinggung nama Khansa pada percakapan itu. Sang lelaki menoleh, mendekat ke arahnya.
Rupanya dia memperkenalkan diri. Syahbandar sapanya, penjaga dunia indah ini. Dimana seluruh budaya yang dilupakan akan datang membentuk simbol. Budaya itu tak datang satuan, melainkan ribuan budaya datang sekaligus. Menciptakan sebuah jagat yang dijaga oleh Syahbandar.
Permainan congklak ialah kunci jagat ini. Congklak, permainan lama yang sekarang terbengkalai. Sembarang orang tak bisa masuk ke jagat ini. Begitu paparnya membuat tanya di benak Khansa terjawab. Namun, entah bagaimana Khansa dan Nenek dapat masuk tanpa halangan sedikitpun. Khansa tak merisaukan perkara itu asalkan dia bersama sang Nenek. Syahbandar membuka tangan, mempersilahkan untuk mengikutinya.
Perjalanan itu tak memakan banyak durasi, sekilas pemandangan menakjubkan tertata rapi di hamparan luas laksana sebuah Kota Atlantis. Beribu simbol budaya berada disana. Syahbandar terus menggetarkan pita suaranya, menerangkan beberapa simbol budaya. Dari manusia kaki panjang berbentuk seperti egrang, hingga manusia engklek menyerupai jaring-jaring kubus. Monolog pikiran Khansa menangkap seekor Naga bermahkota ular, ia sangka itu pasti permainan ular naga panjang. Bagian barat dan timur dipenuhi oleh anak-anak yang memakai topeng. Mulai dari topeng menor, wajah perwayangan, hingga reog. Hampir seluruh simbol mengenakan kain batik dengan seribu lebih corak. Mereka disambut dengan kidung menyenangkan, bersamaan dengan melodi kendang ditabuhkan. Syahbandar mengatakan mereka berada di Pusat Jagat, dimana seluruh budaya terlupakan tinggal.
Setelah Pusat Jagat, Syahbandar menunjukkan tempat yang tak kalah indahnya. Dersik Samudra, tempat penjemput harsa bagi para simbol budaya. Tempat itu menenangkan. Mata air yang biru jernih, membuat seluruh isi perut Samudra terlihat jelas. Budaya yang diingat kembali, akan berlabuh melewati Dersik Samudra menuju dunia pribumi. Khansa takjub mendengar penjelasan yang mengesankan.
Tetapi, mereka yang punah di ingatan manusia akan terhisap Lembah. Lembah penuh misteri dan ketakutan berisi lumpur hisap yang akan menghisap abadi simbol budaya. Lembah itu ialah Lembah Dore. Sudah banyak budaya yang dihisap, kata Syahbandar. Hampir lebih dari satu kali sehari Lembah itu membuka mulutnya.
Melihat sampul depannya saja membuat Khansa bergidik takut. Tempat itu suram, sunyi, dan gelap. Kepulan asap menyelimuti Lembah itu. Berdiri sekumpulan pohon gundul yang membuat suasananya semakin menakutkan. Sekilas ia berpikir, andai semua simbol budaya bisa melewati Dersik Samudra maka tak ada lagi budaya yang terhisap.
Mereka mengembalikan langkah kaki ke Pusat Jagat. Bekas tapak kaki Khansa menerbangkan kupu-kupu kecil nan elok. Rona sayapnya pastel terang. Khansa yang baru menyadari itu mengulas tawa ringkas, cekung pipinya terukir. Sungguh manis, batinnya. Lama lelaki itu tak melihat pemandangan ini. Bertahun-tahun ia menunggu. Sontak sudut bibirnya terangkat kecil.
Detik itu tak bertahan lama. Gemuruh langit berteriak. Daun-daun kering seolah memiliki sayap, mengambang di balutan angin yang berlari. Pertanda itu, firasat Syahbandar bergetar. Prasangka sendu, mereka akan kehilangan lagi. Entah apa kali ini. Khansa bingung, matanya berkeliling menangkap para simbol budaya ricuh berhamburan.
Mereka yang bukan berasal dari Jagat ini harus pergi, batin lelaki itu. Syahbandar memberi kode kepada Naga Ular. Ia mengalihkan pandangan ke Wanita dan sang gadis, memberi kecepatan penuh pada kakinya. Sapuan angin deras sempat membuatnya berlaju miring. Syahbandar mengangkat Nenek ke punggungnya. Khansa sigap membantu Nenek menuju pangkuan punggung lelaki itu. Satu tangannya menahan tubuh Nenek, satunya lagi diulurkan ke Khansa. Gadis itu tak mengerti.
“Genggam tanganku, Khansa! Kalian musti kembali!!” Lelaki itu melaung tampak kalang kabut. Saraf otaknya langsung menerima perintah itu. Tanpa bertanya lagi Khansa menurut.
Khansa sebisa mungkin menyamakan langkah lelaki itu, terengah-engah. Dengan kilat mereka sampai di Ladang. Khansa mengatur napas. Kepalanya berputar, memegangi satu lututnya.
Satu jalan keluar mereka, Pusaran Kunyit. Pusaran asap berwarna kuning itu akan mengembalikan mereka. Sontak Syahbandar menurunkan Nenek, menuntunnya menuju Pusaran. Bagai terhisap pipa raksasa, seketika Nenek menembus pusaran itu. Khansa meloka semua yang terjadi.
Giliran Khansa. Ia mematung, menggigit bibir tak yakin. Lelaki itu berpusing. Syahbandar mendekat, memegang tangannya. Khansa mendekati Pusaran itu, kedua kakinya terangkat oleh lebatnya angin pusaran.
Jemarinya melingkari tangan lelaki itu. Aliran angin yang berhembus melaju semakin kencang. Penutup matanya terlepas. Syahbandar mengibas rambutnya, menoleh ke gadis yang kini berada di depan matanya. Khansa menganga. Paras itu, paras yang sepadan dengannya. Rasanya Khansa sedang bercermin di pantulan mata lelaki itu. Tak ada satupun tanda yang membedakan. Khansa seperti melihat dirinya versi lelaki. Tatapannya tetap dingin. Seulas senyum simpul ia lantunkan, seolah ini adalah sinyal selamat tinggal. Terdengar melodi perpisahan di imajinasi pendengarannya.
“Sampai bertemu kembali, Saudariku Khansa.” Tuturnya membuat mata Khansa hampir keluar dari kantung.
Jarinya bergerak cepat, menghempas seluruh genggaman Khansa. Mendadak kakinya seperti ditarik seribu tangan, tubuhnya didorong oleh pukulan angin raksasa. Membawanya kembali pulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H