"Widi sayang, Ibu boleh masuk?" Tanya Ibuku dari depan pintu kamar.
       Aku terkejut mendengar suara Ibu. Segera aku menyimpan kembali handphone di dalam lemari. Tidak lupa aku menyempatkan untuk mengikuti akun tadi, akun yang bernama '@extraordinary.me'.Â
"Iya Bu." Jawabku sembari membilas air mata yang tadi terjatuh ke atas pipiku.
       Pintu kamarku terbuka. Terlihat Ibu yang membawa segelas susu dan sepiring cookies kesukaanku.
"Ini Ibu bawain segelas Susu sama kue kesukaan kamu. Biar kamu lebih semangat belajarnya." Ucap Ibu sembari menyimpan susu dan kue di atas meja yang tertata rapi di samping meja belajarku.
       Pandanganku terus mengarah ke arah buku yang kupegang, aku tak ingin Ibu melihat wajahku yang memerah bekas menangis.
"Wid, kemarin Ibu udah nemu guru les yang pas buat kamu. Namanya Dimas. Dia lulusan Harvard University. Ntar sore dia bakalan kesini buat ketemu. Kamu jangan kemana-mana dan jangan lupa pakai baju yang rapih dan sopan." Kata Ibuku tanpa sedikitpun menyinggung soal kenapa aku tidak memperhatikannya sama sekali. Setelah itu, Ibu meninggalkan kamarku.
       Dimas, dia adalah orang yang akan menjadi guru lesku yang ke 15 di bulan ini. Aku selalu mengganti guru les hampir setiap tiga hari sekali, dan itu membuat Ibu ku frustasi. Mereka semua mantan guru lesku, katanya tidak kuat menghadapi aku yang bersikap terlalu dingin.
Flashback~
       Saat itu, aku sedang mengerjakan paket soal matematika yang guru lesku berikan kepadaku.
       Karena itulah, Ibu selalu menyuruhku untuk menjadi orang yang ramah. Tapi, setiap aku mencoba untuk melakukannya, aku merasa itu bukan diriku. Seharusnya, merekalah yang harus bisa menyesuaikan dirinya denganku, bukan malah aku.