Sudah jamak kita tahu bahwa fenomena "serangan fajar" masih marak terjadi sebelum perhelatan pemilu tahun ini (14/02/2024). Media amplop sebagai nilai tukar suara masih menjadi menarik untuk diperbincangkan, mengingat perihal tersebut sudah dianggap tradisi. Persoalannya apakah tradisi tersebut memang menjadi prasyarat bangunan demokrasi atau bagaimana?. Apakah jual beli suara adalah tradisi bagi tegaknya nilai-nilai demokrasi yang dimaksud?. Jika diruntut masih menyisakan pertanyaan yang banyak sekali terkait konteks saat ini.
Terminologi serangan fajar sebagai tradisi pada level akar rumput, sudah terlanjur dimaknai sebagai kelumrahan dalam logika pemilihan. Adagium pragmatis "ada amplop akan ada suara" jamak kita dengar. Mirisnya lagi yaitu muncul penyebutan dengan memakai bungkus agama, yang seolah lebih sopan, bahwa serangan fajar adalah sedekah. Munculnya sebutan semacam ini yang kemudian seolah menjadikannya masuk akal untuk mempengaruhi kesadaran massa. Mengingat serangan fajar adalah buah dari kepentingan politik pragmatis yang telah menjelma menjadi negosiasi politik yang menonjol, sekaligus menimbulkan rasa miris atas cederanya nilai-nilai demokrasi. Seperti yang ditulis Asep Saipudin Jahar (kompas.id, 22/11/23), bisakah demokrasi dijadikan pijakan tanpa membangun etika politik, atau dengan kata lain demokrasi adalah semata-mata menghadirkan dukungan rakyat tanpa sama sekali menggunakan etika politik.
Pada lama online Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serangan fajar diartikan sebagai pemberian uang, barang, jasa atau materi lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang di tahun politik atau saat kampanye menjelang Pemilu. Pada tahun politik 2024 ini, KPK telah mengusung kampanye antikorupsi dengan tema "Hajar Serangan Fajar". Tema yang disesuaikan dengan situasi pesta demokrasi dan untuk mengantisipasi praktik yang kerap terjadi pada musim pemilu. Tema tersebut sengaja diangkat untuk meningkatkan kesadaran publik terkait pencegahan politik uang dan korupsi menjelang pencoblosan. Diharapkan, melalui kampanye Hajar Serangan Fajar, publik dapat menolak pemberian uang/fasilitas/barang dari calon pemimpin, atau pejabat yang berkepentingan dengan suara masyarakat. Sehingga masyarakat tidak memilih partai/calon pemimpin yang masih memberikan politik uang.
Bawaslu sejak jauh-jauh hari telah mencanangkan aturan stop politik uang, kampanye hitam, dan berita hoax. Ketiganya adalah ijtihad politik sebagai standart bagi terealisasinya pemilu jurdil; proses yang diandaikan berlangsung pemilu yang demokratis dan penuh keterbukaan. Mengenai politik uang dalam laman resmi tugas Bawaslu terdapat poin E berbunyi "mencegah praktik politik uang". Pada item wewenang Bawaslu poin C tertulis "memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran politik uang". Sayangnya belum dibarengi dengan kedaulatan dan otoritas tegas untuk menegakkan hukum atas perkara tersebut.
Wajar jika kemudian praktik serangan fajar terjadi terang-terangan dalam situasi sebelum pencoblosan berlangsung. Sedangkan kuasa bawaslu terkesan belum sepenuhnya tegas dalam rangka memastikan hajatan demokrasi ini terlaksana dengan jurdil. Maka terkait hal ini; pembicaraan mengenai penegakan hukum atas tragedi suap politik dalam pemilu adalah sesuatu yang belum menjadi prioritas. Atas kejadian tersebut, pertarungan politik legislatif hari ini menjadi tidak lagi seru, karena yang diadu bukan produk gagasan. Melihat kenyataan bahwa yang diadu masih seperti pemilu yang dulu-dulu, yaitu adu amplop. Â Kualitas seorang caleg bukan lagi menjadi ukuran, tetapi kemampuan melakukan praktik serangan fajar yang masih menjadi ukuran.
Beberapa pasal dalam Undang-undang Pemilu sudah sangat menjelaskan sanksi bagi pelaku serangan fajar sebagai usaha mempengaruhi para pemilih, dengan jalan memberikan uang atau imbalan tertentu kepada mereka. Menurut pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dinyatakan bahwa "Setiap individu yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menawarkan atau memberikan uang atau materi lain kepada pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu, sehingga surat suaranya tidak sah, akan dihukum dengan pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000."Â
Pada pasal 523 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, bahwa "Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menawarkan atau memberikan imbalan uang atau materi lain kepada pemilih, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan dihukum dengan pidana penjara maksimal 4 tahun dan denda paling banyak Rp 48.000.000". Selanjutnya dalam Pasal 523 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 "Setiap individu yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menawarkan atau memberikan uang atau materi lain kepada pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu, akan dihukum dengan pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000."
Usia reformasi telah menginjak 25 tahun, sedangkan produk pemilu hari ini masih menyisakan perihal yang sama dengan pemilu yang telah lewat. Pemilihan umum tahun ini masih dibumbui dengan tragedi serangan fajar demi memenangkan kontestasi dan bakal terpilihnya legislatif pelaku suap demi kata menang. Bila merujuk kembali produk Undang-undang Pemilu di atas, sekiranya sudah ada aturan main, sanksi pidana, denda uang bahkan pembatalan surat suara jika ditemukan indikasi suap oleh subjek pelaku. Kemudian yang menjadi pertanyaan penting, jika ditemukan bukti, apakah caleg pelaku suap dapat batal dilantik? hanya wewenang Bawaslu yang dapat menjawab.
Dari peristiwa ini, setidaknya dapat diambilkan evaluasinya atas tiga perkara. Pertama otoritas aparat hukum yang belum kelihatan serius memberi ancaman sanksi bagi antisipasi dan kenyataan hadirnya serangan fajar. Sebagai yang kedua yaitu, Bawaslu sebagai instrument pengawasan penyelenggaraan pemilu yang merasa cukup dengan membuat larangan bermodal banner di depan kantor desa. Bawaslu dirasa belum tegas menekan parpol beserta para caleg untuk menjauhi praktek suap dalam kontestasi demokrasi termasuk mensosialisasikan perihal ini kepada masyarakat. Ketiga, instrument masyarakat sendiri yang terdiri dari tokoh masyarakat, LSM, ormas, pengurus parpol, agamawan atau aktifis relawan sosial lainnya seolah masih abai atas realita ini.
Akibatnya yaitu peristiwa serangan fajar menjadi hal yang kemudian dipertontonkan secara brutal tanpa rasa malu. Benar jika kemudian, perilaku salah dan dilakukan berulang kali lambat luan akan menemukan ruang pembenarannya dalam situasi masyarakat kita. Dari sini kesempurnaan maksud dan cara-cara kita membangun bangsa masih menyisakan cedera bagi iklim berdemokrasi kita hari ini.
Sejauh ini masyarakat telah hidup dalam alam reformasi, bersepakat untuk melawan segala bentuk praktik korupsi, suap dan sebagainya. Namun pada situasi pesta demokrasi seperti saat ini, masyarakat kita secara pragmatis masih memberi jalan, mau diperdaya dan menerima suap serangan fajar. Apapun ikhwal alasannya, hal demikian merupakan sebuah paradoks dari situasi demokratis yang kita bangun hari ini. Alam reformasi belum sepenuhnya mendorong kesadaran massa untuk bergerak lebih maju, namun faktanya masih berjalan di tempat bahkan mundur. Inilah suguhan hajatan demokrasi kita sampai hari ini. Demokrasi yang masih mencari bentuk sempurnanya. Sebuah PR bersama dan akan terus menjadi tugas sejarah dalam usaha merawat reformasi dan mengawal demokrasi. Semoga di hajatan politik mendatang, aparatur hukum beserta panitia pemilu mampu berjibaku menghalau praktik kotor dalam pemilu, parpol menjadi mesin edukasi mencerdaskan untuk pendidikan politik konstituen dan praktik serangan fajar sudah tidak lagi mengiringi atmosfer berdemokrasi kita.