Mohon tunggu...
Tias Tatanka
Tias Tatanka Mohon Tunggu... Author -

Founder and volunteer of RUMAH DUNIA, the author of The Traveler's Wife, a half traveler, a left hand for her hubby, owner Gong Traveling.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen "Istriku Pandai Memijat"

23 November 2010   06:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:22 5032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

ISTRIKU PANDAI MEMIJAT

Cerpen oleh: Tias Tatanka

Sum, istriku, pandai sekali memijat. Bagiku tak ada pemijat yang pernah kutemui dapat menandingi pijatannya. Ujung jemarinya yang halus, menelusuri kulitku terasa…. uhuy, begitu. Tapi istriku hanya mau memijatku. Ia tak mau memijat orang lain, meski itu mertuanya sendiri; ibuku. Walau aku yang meminta, ia menolak dengan halus. Ia menyodorkan alasan yang tidak bisa kutolak.

“Apakah tak pernah kau bayangkan bahwa memijat itu membutuhkan tenaga yang besar? Memijat itu melelahkan,” begitu kata istriku.

Aku memang tak pernah memikirkan itu, selain menikmati pijatannya yang nikmat. Bagiku, pulang ke rumah bagai memasuki surga dunia. Penat dan letih selesai menarik ojek seharian, perlahan hilang dihembus bau segelas kopi pahit buatan istriku. Kadang-kadang ada sepiring pisang goreng atau bakwan goreng yang mengganjal laparku sebelum makan malam. Di kamar mandi telah tersedia seember air mandi hangat dan handuk kering. Selalu kering, karena ia menjemurnya tiap siang. Jika tak kering karena hari mendung atau hujan, ia akan mengambil simpanan handuk lain. Selesai mandi, telah terhidang makan malam yang nikmat di atas meja sederhana. Menunya pun sederhana, sayur bening, tahu atau tempe goreng, sesekali pepes teri nasi, dan sambel terasi. Nasi hangat mengepul di atas piring, dengan porsi pas sekali makan. Tak masalah. Karena setelah makan malam kami akan menikmati acara televisi sambil berbincang tentang apa saja, lalu setelah datang kantuk, aku mengajaknya tidur. Tepatnya, secara halus memintanya memijatku.

Kadang pijatannya membawa efek ajaib yang mengantarkan kami pada naluri suami-isteri. Sebuah ruang aneh yang membuat kami merasakan nikmat yang indah. Sesudahnya, ia masih memijat badanku sekenanya. Saat pijatannya terhenti, reflek kutoleh ia, dan istriku telah tertidur kelelahan.

***

Istriku memang baik, tak pernah mengeluh berapa pun penghasilanku hari itu. Bahkan, ia juga memaklumi jika aku tak menarik ojek karena tak enak badan. Ia yang menahan malu berutang ke warung, memasak tanpa bicara banyak, dan tetap merawat badanku yang sedang sakit. Ia akan memberi pijatan ekstra untuk sakitku, dengan lebih sering mencari titik-titik saraf di telapak kakiku, pengetahuan itu didepatnya dari acara televisi.

Istriku memang penggemar acara pengobatan alternatif, tak heran ia hafal jadwal tayangan itu di berbagai stasiun televisi. Aku pernah berseloroh, agar ia membuka jasa pengobatan alternatif pijat, tapi ia menolak mentah-mentah. Katanya, semua pengetahuan tentang pijatan ia gunakan hanya untukku, suaminya. Juga buat anak-anak, jika kami punya anak nanti.

Kami menikah sudah empat tahun, dan masih bersabar menanti kehadiran buah hati. Banyak orang menyarankan kami dipijat, agar cepat punya anak. Beberapa malah mengira istriku sendiri yang akan memijat titik saraf kesuburanku.

Tidak. Ia menolak untuk mengikuti cara-cara itu. Pasrahkan saja kepada Tuhan, ia berkeras.

Tapi usaha itu harus dipikirkan juga. Maka, akulah yang mengalah, diam-diam mendatangi orang pintar, dukun pijat, hingga atas ajakan seorang teman mencicipi masase khusus yang ditangani gadis-gadis cantik di sebuah panti pijat. Semua itu dengan harapan kesuburanku lebih terpompa.

Hasilnya, tak ada yang dapat menandingi pijatan istriku.

Saat penasaran, kutanyakan hal ini pada saudara-saudaranya ketika kami mudik ke kampung halamannya di lereng gunung. Tak ada satu pun keluarganya yang pandai memijat. Bahkan mereka baru mendengar saat itu, istriku bisa memijat. Lalu ada saudara ibunya yang menghubung-hubungkan peristiwa kelahiran istriku bersamaan dengan kematian dukun pijat di kampung itu. Dugaannya, sukma dukun pijat itu merasuki jiwa istriku, termasuk keahlian si mbah dukun dalam memijat. Istriku tertawa keras saat aku ceritakan hal itu.

“Sontoloyo! Jangan didengarkan!” dan ia terus terbahak.

Aku perhatikan wajahnya. Biasa saja, khas orang kampung seperti halnya aku. Tapi barisan giginya yang putih rapi membuatnya tampak cantik. Kulitnya lengannya bersih dan cenderung gemuk, berujung di jari-jemari yang runcing. Kata orang, jemari tipe itu pandai memasak atau memijat. Entahlah, istriku pandai keduanya.

Sesekali kuperhatikan saat ia memijat, wajahnya teduh menikmati laju jemarinya menelusuri otot-ototku. Matanya terpejam, tak ada suara dari bibirnya, tapi ia tampak sangat menikmati pijatannya. Kala kuajak bicara, ia menjawab sepatah dua, menampakkan ekspresi tak ingin bicara banyak. Matanya tetap terpejam, kepalanya bergerak mengikuti irama yang tak dapat kudengar.

Pijatan tangannya akan berhenti di otot-otot yang tumpang tindih, perlahan dikendorkannya, sementara aku menjerit kecil menahan sakit. Esoknya, ketegangan di tubuhku telah hilang, badanku bugar kembali.

***

Suatu hari, aku pulang dalam keadaan luka-luka. Bajuku terkena bercak darah, membuat istriku panik bukan kepalang. Apalagi melihat perban yang mengikat kepalaku, sepulang dari UGD Rumah Sakit Umum.

“Aduuuh, Mas…. Kenapa ini terjadi…? Duh… Gusti…. Apa salah kami…” sesal istriku sambil menyeka lukaku dengan air hangat.

“Cuma luka lecet di dahi dan lengan robek dikit,” komentar Pak RT yang kebetulan menyaksikan musibah itu, dan mengantarku ke rumah sakit.

Dengan sikap seorang bapak, Pak RT menceritakan kronologi peristiwa naas itu. Istriku tampak mengikuti penuturan Pak RT dengan penuh perhatian, sementara aku terlalu pusing untuk mengingatnya.

Di tikungan jalan masuk ke perkampungan kami, sebuah mobil boks menghantam motorku tanpa ampun. Aku sendiri terlempar tak jauh ke trotoar, dan reflek terguling ke semak-semak rumput liar. Beruntung tak ada luka serius di kepala, hanya tulang di tubuhku serasa remuk, dan ternyata setelah dironsen tak ditemukan tulang patah. Tapi nyeri amat sangat harus kuderita di lengan kiriku yang mendapat tiga jahitan dari dokter di UGD.

Sementara motorku teramat parah, bagian depannya ringsek. Sementara mobil boks itu kabur tanpa sempat ada yang mengingat plat nomor polisinya.

“Merepotkan jadinya, ya… terima kasih, Pak… makasih….. mari… ya… doakan cepat sembuh…. Terima kasih…..”

Istriku mengantar Pak RT dan tetangga lain sampai ke pintu. Orang-orang yang ingin tahu kecelakaan yang menimpaku sama bergerombol di depan rumah ikut bubar. Tak henti-hentinya ia berterima kasih pada tetangga yang mengantarku pulang. Motorku langsung masuk ke bengkel di ujung jalan, dekat tempat kejadian. Entah kapan akan kuambil. Pemilik bengkel yang kukenal baik berjanji memperbaiki motorku.

Beberapa hari aku hanya sanggup berbaring, nyeri dan ngilu menusuk-nusuk tubuhku. Tak sanggup aku berlama-lama duduk, apalagi berdiri. Obat dari rumah sakit telah habis, dan seharusnya aku melakukan kontrol kesehatan ke rumah sakit, sesuai anjuran dokter yang menanganiku. Tapi uangku sudah terkuras untuk biaya obat, tak ada lagi tersisa. Akhirnya istriku hanya melulurku dengan beras kencur buatannya. Setiap pagi dan sore disekanya tubuhku, lalu dioleskannya ramuan beras kencur yang baru, kecuali pada bagian tubuh yang luka-luka. Aku seperti bayi saja, yang tampak putih karena ramuan tradisional dan memerah oleh mercurochrom. Makan, minum, buang air kecil dan besar kulakukan di tempat tidur, dengan bantuan istriku yang telaten.

Sementara Sumi istriku, tetap merawatku di sela-sela berjualan kue gorengan, untuk menutup biaya makan sehari-hari.

***

Sebenarnya aku malu, tapi harus bagaimana lagi. Hingga memasuki minggu kedua aku masih merasakan nyeri dan ngilu itu. Tapi aku sudah mulai bisa duduk dan berjalan, meski sebentar-sebentar. Jika terlalu lama, kepalaku terasa pusing luar biasa. Beberapa kawan yang menengok tampak gembira melihat kemajuan kesehatanku. Tapi mereka juga membawa berita buruk, tentang motorku yang rusak parah. Kalaupun diperbaiki, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Menurut mereka, lebih baik membeli motor bekas sekalian. Pemilik bengkel telah menawarnya melalui teman-temanku. Dengan hasil penjualan motor ringsek itu ditambah beberapa juta aku dapat membeli motor bekas agar dapat bekerja kembali. Aku tertegun.

Aku rindu motorku. Kuanggap ia bagian hidup setelah istriku.

Tapi untuk apa merindu dan mempertahankan benda yang tak dapat digunakan lagi? Berat hati kulepas motor kesayangan, tanpa dapat kubeli motor lain. Dari mana uang tambahannya? Aku tak punya tabungan. Kami bukan dari kalangan kaya. Untuk berutang, aku tak yakin dapat melunasi jutaan rupiah itu.

Istriku menyerahkan sepenuhnya keputusan padaku. Motor itu memang pemberian ayahku sebagai modal pekerjaanku. Dan kini telah jadi potongan-potongan mesin yang dijual terpisah, cerai-berai seperti halnya uang penjualannya.

Aku harus melunasi hutang yang menggunung di warungselama aku sakit. Sisanya kami gunakan untuk bertahan hidup, menunggu tubuhku cukup kuat untuk mencari pekerjaan lain. Untuk menjadi sopir aku tak punya surat ijin, meski aku dapat menyetir mobil sebaik mengendarai motor. Ketika masih di kampung dulu, aku sempat bekerja sebagai sopir truk di sebuah penggilingan padi.

Tetapi ternyata tubuhku tak sekuat dulu, terutama bagian penting di dalam kepalaku. Terlalu lama berjalan dan berdiri, atau berpikir berat sedikit saja, membuatku limbung bahkan muntah. Istriku melarang untuk keluar rumah lama-lama dan kami mulai berpikir untuk memulai usaha yang dapat dilakukan di rumah.

“Kita buka usaha kue-kue kering saja, kau kan pintar membuatnya,” usulku.

“Tidak. Di gang sebelah sudah ada pabrik kecil kue-kue kering. Modalnya lebih besar, pasarnya lebih bagus. Kita tak mungkin menyamai usaha mereka,” tukas istriku.

“Buka usaha menjahit baju?”

“Aku tak bisa menjahit. Lagipula sudah ada tailor di ujung jalan.”

“Roti? Donat? Bapau?”

“Sudah ada di RT 3, gang tujuh, dan RT 9.”

“Es mambo?”

“Kita harus beli kulkas dulu. Terlalu mahal!”

“Kredit baju?”

“Capek nagihnya! Modalnya lama kembali!”

Aku mulai mengkhayal jadi pengusaha.

“Es krim? Kita ambil dari agen!”

“Sudah ada yang keliling, dari perusahaan es krim terkenal!”

“Buka warung?”

“Ingat, Mas, modal kita tak banyak!”

“Pinjam bank?”

“Jaminannya perjanjian kontrak rumah?”

Kami terdiam.

Kepalaku mulai pusing. Istriku masih mondar-mandir, berpikir keras. Tiba-tiba dia menepuk kepalanya.

“Kenapa kamu tidak mencoba jadi penulis saja, Mas?”

Aku melongo. Penulis? Penulis apa? Tak ada bakat dalam darahku menjadi penulis. Terakhir aku menulis surat lamaran pekerjaan ke sebuah kantor tenaga kerja, dua tahun lalu.

“Kamu bisa menuliskan pengalamanmu yang luar biasa ketika kecelakaan. Pasti bisa menjadi cerita hebat, karena penulisnya mengalami sendiri!” mata istriku berbinar-binar penuh semangat. Pusingku seketika hilang. Tetapi kepalakuterasa kaku.

“Coba bayangkan, pembaca disuguhi adegan mendebarkan, ketika mobil boks itu menabrak motor, Mas terbang, jatuh di trotoar. Tinggal ditambah dengan khayalan-khayalanmu, Mas……”

Aku tak lagi mendengar kata-kata istriku karena kepalaku kembali pusing saat kucoba merekonstruksi kejadian itu. Ingin kuteriakkan padanya, bahwa aku tak dapat mengingat apapun tentang kecelakaan itu. Tapi aku tak ingin melukai semangat istriku. Semalaman ia mempresentasikan idenya.

“Kenapa bukan kau saja yang menuliskannya?” sahutku tak tahan lagi.

“Aku? Aku tak tahu harus menuliskan apa. Bukankah Mas yang mengalaminya? Cobalah, Mas. Siapa tahu ada tertarik, lalu masuk tivi! Mas nanti jadi terkenal, kata orang, kalau terkenal duitnya banyak!”

Aku menggumam tanpa kusadari, lalu tertidur karena kepalaku terlalu pusing.

Esok paginya, istriku menanyakan soal itu lagi. Aku benar-benar lelah mendengarnya. Kuhabiskan sarapan dengan malas, sementara istriku terus membujuk.

“Kenapa kau tak bekerja saja?” cetusku asal.

Istriku memutar tubuhnya, tepat menghadapku. “Bekerja apa?”

Tiba-tiba terlintas ide di kepalaku. “Kenapa tak kau gunakan keahlianmu memijat?”

Mata istriku hampir melotot. Tapi ia terlihat berpikir.

“Selama aku belum pulih, kau bisa bantu dengan pijatanmu. Kau boleh memilih siapa saja yang mau kau pijat. Anak-anak, orang dewasa, khusus perempuan, atau lelaki sekalipun.”

“Kau memintaku memijat orang lain?” tanyanya tak percaya.

“Habis, mau bagaimana lagi? Usaha ini-itu kau tolak. Sementara aku belum bisa bekerja seperti dulu. Lama-kelamaan uang penjualan motorhabis juga buat makan….”

Istriku masih menatapku, ragu. Aku tak tega juga melihatnya.

“Tapi itu terserah kamu. Aku memang suami, aku yang harus bertanggung jawab atas hidup kita. Kalau kau tak mau bekerja, ya tidak apa-apa. Aku yang akan berusaha….”

“Tidak. Kau belum pulih. Biar aku yang bekerja,” tukas istriku cepat.

Kami saling bertatapan. Bukan kegembiraan yang kami dapat saat menemukan jalan keluar untuk usaha, tapi keraguan yang muncul dari masing-masing sisi. Istriku tak yakin aku ikhlas melepasnya memijat orang lain. Aku pun meragukan kesanggupanku melihatnya bersama orang lain.

***

Tetapi jalan itu tetap kami tempuh. Istriku menerima pasien sekarang. Aku yang mengurus administrasi. Semula, istriku hanya menerima pasien bayi, anak-anak dan kaum perempuan. Tapi kabar kehebatan istriku dalam memijat mengembang lebih cepat, membuat pasien lelaki pun datang bahkan berduyun.

Aku bertekad untuk tak meragukan istriku, karena ia hanya memijat mengikuti urat, meski tak lagi menutup mata dan tetap melayani percakapan pasien. Aku tak mau berpikir buruk tentang pekerjaan istriku, toh aku selalu ada di dekatnya, tentu ia tak akan bertingkah macam-macam.

Minggu-minggu awal segalanya lancar. Tarif yang kami pasang tak begitu mahal, tapi pijatannya memuaskan. Begitu komentar banyak orang. Akibatnya, pasien semakin banyak datang. Kami harus membatasi jumlah pasien dalam sehari, karena istriku hanya mau menerima paling banyak lima orang pasien. Deretan panjang pendaftar memenuhi buku catatanku, sejaksebulan sebelumnya.

Wartawan pun mulai mencium nama istriku. Koran-koran memuat foto kami lumayan besar. Sebagian kugunting dan kusimpan, sebagian kubingkai menjadi penghias ruang praktek.

Rezeki pun mulai mengalir deras. Kalangan pejabat mulai melirik pijatan istriku. Tentu tip mereka bukan puluhan ribu rupiah lagi, tapi sudah sampai jutaan. Makin tebal pulakantong kami. Berbulan kemudian rumah kontrakan itu berhasil kami beli. Perabotan elektronik dan modern yang dulu hanya jadi impian kini menghiasi rumah kami. Keluarga di kampung pun kecipratan rezeki. Juga tetangga sekitar ikut merasakan kesejahteraan yang kami dapat dengan bersemangat berjualan makanan dan minuman. Bahkan anak-anak muda di sekitar rumah kami menggalang persatuan tukang parkir, berhubung banyak mobil mentereng kerap parkir di sepanjang gang. Bertambahlah pujian terutama buat istriku, dan aku hanya mengamininya. Padahal, banyak juga pujian yang lebih mirip sindiran dan ejekan, atau iri dan dengki. Tapi semua tak kami gubris.

***

Sampai tiba suatu malam, saat aku merasa teramat lelah. Kuminta istriku untuk memijatku barang sebentar. Saat itu sudah tengah malam, aku letih karena hari itu pasien yang datang lebih dari sepuluh orang, dan semuanya tak mau ditolak, harus dipijat hari itu juga. Beberapa orang bersiap berkelahi memerebutkan antrian pijat. Akhirnya istriku mengalah, menyanggupi permintaan para pasien tak tahu diri itu.

Aku amat lelah, dan tahu istriku pun begitu. Tapi rasanya sudah lama tak kurasakan pijatannya. Maka, kulirik dia yang sedang bersiap tidur.

“Sudah lama ya, kau tak pernah memijatku lagi….”

Istriku membuka matanya, menatap ke langit-langit, “Tahukah kau, Mas, aku lelah. Lelah sekali… Memijat itu melelahkan.”

Aku diam menunggu perubahan sikapnya. Tapi istriku hanya menatap ke plafon kamar dengan mata berkerjap menahan kantuk. Muncul semburat kesal di kepalaku.

“Bahkan untuk memijatku, sebentar saja?” tanyaku sedikit tersinggung.

“Ya….” Istriku mengangguk dan menutup matanya.

Aku bagai tersengat lebah. “Istri macam apa kau, ha? Sekedar memijat suami saja tak mau!”

Istriku bangkit dan duduk menatap marah padaku, “Kenapa kau marah, Mas? Bukankah kau yang memintaku bekerja sebagai pemijat?”

“Kau yang mulai bertingkah! Sebagai istri seharusnya kau menuruti kata-kataku!” aku tak terima ditatap semarah itu.

“Apakah tak cukup bagimu aku menurutimu untuk bekerja? Kemana semua uang hasil kerjaku? Buat kita, Mas! Ingat, buat kita berdua!”

“Kau memang menyindirku karena aku tak mampu bekerja!”

“Kau yang memulai! Aku hanya berucap lelah. Lelah! Lelah!”

Aku melihat nyalang matanya tertutup genangan air mata. Perlahan mata itu meredup, istriku membuang pandang. Nafasnya tersengal seolah menahan beban berat.

“Ada yang ingin aku katakan sejak sebulan lalu, Mas. Aku ingin berhentimemijat siapapun! Semua ini melelahkan! Melelahkan! Jadi, jangan halangi aku untuk berhenti memijat!” setelah itu istriku keluar kamar dan menutup pintu keras.

Brakk!

Aku tertegun. Berhenti? Istriku berhenti memijat?

Tak kupercaya kata-kata istriku tadi. Mendadak kepalaku mulai pusing. Terbayang daftar panjang pasien yang protes dan marah. Lalu para tetangga yang merasa usahanya tumbuh berkat kepopuleran pijatan istriku. Juga deretan tagihan barang-barang elektronik di rumah kami……

***

Rumah Dunia, Januari 2009



*) Tias Tatanka adalah penulis lepas, penikmat buku, ibu rumah tangga dengan 4 anak, Penasehat Rumah Dunia, Serang, Banten.Tulisannya dimuat di Matabaca, tabloid MQ, harian lokal Radar Banten dan Fajar Banten. Puisinya terkumpul dalam antologi solo Sandhyakalaningtyas (1990), Mahajana (1990), Antologi Puisi Tujuh Penyair Serang: Bebegig (1997). Cerpennya tergabung dalam antologi Cerpenis Rumah Dunia : Padi Memerah (MU:3), Kacamata Sidik (Senayan Abadi), Harga Sebuah Hati (Akur), Dongeng Sebelum Tidur (Gramedia). Novelnya bersama Gola Gong: Mimpi Sauni dan Hari-hari Angga (Senayan Abadi), juga Ini Rumah Kita, Sayang… (Gema Insani Press). E-mail address:



Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun