Mohon tunggu...
Tias Tatanka
Tias Tatanka Mohon Tunggu... Author -

Founder and volunteer of RUMAH DUNIA, the author of The Traveler's Wife, a half traveler, a left hand for her hubby, owner Gong Traveling.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen "Kampung Surga"

23 November 2010   06:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:22 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

KAMPUNG SURGA

Oleh: Tias Tatanka

SATU

Aku terbebas. Di tengah jeritan pilu mereka tak terbebaskan, aku menunduk, tak putus syukur ini terucap. Kini usai sudah penantian panjang amat melelahkan. Sendirian pula, di antara jiwa-jiwa gelisah.

Hatiku melonjak gembira melihat sekeliling. Penuh syukur kumasuki pintu kampung abadi ini.

Aku tak biasa sendirian. Dulu aku selalu dikelilingi orang-orang yang mencintai dan kucintai. Ke manakah mereka? Belum sampaikah gilirannya? Ke mana suamiku tercinta, anak-anakku, ayah ibuku, saudara-saudaraku?

Sebersit rasa sedih menyergapku, jika nilai kebaikanku bisa menebus mereka satu persatu, ambillah, pintaku dalam hati. Tapi bidadari menyambutku, memberiku debu kebahagiaan. Aku ingat cerita Tinker Bell, sahabat Peter Pan, dongeng yang sering diminta anak-anakku. Inilah debu itu, tergenggam di tangan, sebagian melayang-layang di seluruh tubuhku. Aku makin rindu pada anak-anak, ingin kutunjukkan kilauan debu yang dulu hanya sempat ada dalam imajinasi mereka. Tapi ke mana anak-anakku?

Bidadari menuntunku ke pintu taman indah. Bunga aneka warna mekar menghembuskan wewangian yang belum pernah kukenal. Aku teringat bunga-bunga di kebun suamiku. Andai saja ia melihat taman ini, pastilah ingin ditirunya.

Aku dibiarkan sendirian. Bidadari itu berlalu diikuti debu berkilau dari tubuhku. Aku sendirian, dan bahagia. Tak pernah kubayangkan perasaan ini, begitu indah, begitu damai, begitu bahagia.

Bahagia. Bahagia. Bahagia.

Aku tak menemukan penggalan kata-kata yang melebihinya untuk mengungkapkan rasa ini. Apalagi yang kurasa? Tak ada, selain bahagia. Bibirku tak ingin berhenti tersenyum merasakan kenikmatan ini.

“Mengapa anda hanya berdiri di situ?” tanya sebuah suara.

Aku menoleh, ada berpuluh-puluh bidadari persis sama satu sama lain, berdiri dengan hormat. Aku tak tahu persis mereka lelaki atau wanita. Mereka bukan Ibu Peri seperti yang dibayangkan anak-anakku tentang bidadari.

“Mari masuk, inilah rumah anda, silakan…. Kami adalah barisan pembantu yang siap melayani anda….” Mereka menunduk takzim.

Aku terkaget-kaget. Tak pernah kuijinkan pembantuku dulu menunduk serendah itu. Tak ada manusia yang boleh menghormat melebihi tunduk mereka pada Tuhannya. Aku bukan Tuhan, batinku. Tapi segera saja gusarku hilang, membuatku tersenyum kembali.

Rumah baruku ini sangat indah, berlantai marmer di terasnya, dengan beberapa anak tangga, dan patung singa di sisi kanan kiri teras. Zodiakku memang singa, dan aku memang suka menggambar singa, apakah itu ada hubungannya?

Para bidadari telah pergi, entah kemana.

Aku melangkah pelan, menyentuh lantai yang mengkilat sempurna. Dingin alami batu marmer, tak ada debu sedikit pun, berkilau seperti permukaan kolam. Mungkin inilah yang dihadapi Ratu Bilqis saat memasuki istana Nabi Sulaiman, gumamku. Tapakku pun tak membekaskan jejak. Lantai tetap berkilau. Aku menari-nari menikmati pantulan tubuhku di atas lantai. Aku tertegun.

Baru kusadari, tubuhku kembali seperti saat masih muda. Aku berjongkok untuk berkaca. Marmer itu tak berbohong. Kurasakan kulit mukaku kembali kencang, tanpa kerutan sedikit pun. Tanganku bukanlah tangan nenek-nenek sebagaimana terakhir kali kutinggalkan jasad dulu. Rambut putihku berubah hitam legam dan panjang, idamanku sejak dulu.

Oh! Hampir aku tak percaya! Gigiku! Gigiku utuh kembali! Oh!

Aku melihat sekeliling, tak seorang pun melihatku. Aku makin bebas berkaca. Menari-nari kegirangan. Oh, adakah kebahagiaan melebihi ini?

Mataku tertumbuk pada satu sisi taman, sebuah batu pualam yang dipahat menjadi sebuah kursi indah, menarikku untuk duduk di sana. Kurasakan dingin batu menelusup kulit mudaku, membiuskan keindahan di sekeliling. Inikah hari pertamaku?

Pintu terbuka. Aku terpaku. Beberapa bidadari membawa nampan berisi buah-buahan lezat yang dahulu tak mampu kubeli. Air segar dalam gelas kristal, ya, aku yakin itu memang kristal, terlihat dari kilaunya. Sama persis dengan kristal yang dulu pernah kulihat di sebuah pameran!

Para bidadari itu pergi. Meninggalkanku menikmati hidangan dengan nikmat tak terkira. Herannya, hampir senampan penuh kuhabiskan hidangan itu, tak terasa kenyang olehku. Keinginan berhenti muncul begitu saja. Tak ada rasa sakit di perut, bahkan aku masih ingin mencicipi lagi rasa buah-buahan tadi.

Aku melangkah ke pintu depan. Bukankah ini rumahku? Aku bebas melakukan apa saja, karena aku sendirian. Aku tertegun. Sendirian? Alangkah menyedihkan menikmati hidup kekal sendirian. Aku ingin teman, orang yang kusayangi, batinku.

Pintu terbuka. Seseorang berdiri di sana. Lelaki. Sosoknya seperti pernah kukenal. Senyumnya sama, tapi tubuhnya kembali muda.

Suamiku. Vokalis grup band terkenal.

Benar, ia suamiku dengan tubuh muda seperti saat pertama bertemu.

Ia berjalan mendekat dengan tatapan penuh cinta. Aku ingin menangis bahagia, tapi tak bisa. Kupeluk ia dengan penuh kasih, aku bersyukur bertemu ia lagi.

“I love you,” bisikku. Kata-kata yang sering kami ungkapkan satu sama lain.

“I love you, too,” bisiknya. “Aku ada di sini untukmu.”

“Jangan pergi,” bisikku lagi.

“Aku tidak akan pergi kecuali jika kau menginginkannya. Kau adalah istri yang baik, ibu yang baik. Karena itulah aku ada di sini, untuk menemanimu…” suamiku mengecup keningku.

“Mana anak-anak?” tanyaku rindu.

Sekejap muncullah anak-anakku ketika masih balita. Teriakan riang mereka membawa kami gembira bersama. Segalanya kami nikmati seharian itu. Seharikah? Tak kulihat matahari atau rembulan. Tak kulihat pergantian waktu. Tak kurasakan detak jantungku sendiri. Tapi ini nyata.

Kurasakan kebahagiaan di sekelilingku. Rumahku ternyata sangat indah. Segalanya sama persis dengan yang kuidamkan.

Kami bermain di kolam renang di tengah rumah. Aneka permainan anak telah berada di sana, membuat betah. Tak terlihat keriput di ujung jari kami meski lama berendam di kolam. Pun tak terasa dingin di tubuh ini. Segalanya terasa menyenangkan!

Ajaib, begitu aku menginginkan sesuatu, sekejap telah terkabulkan.

Saat aku bosan dengan anak-anak ketika balita, mereka berubah remaja. Kubiarkan dengan dunianya, kami hanya mengamati polah-tingkah mereka. Saat aku rindu cucuku, anak-anakku telah berkeluarga, memberiku cucu-cucu yang manis. Karena tak pantas dengan tubuh muda, tubuh kami pun berubah bagai kakek-nenek. Kami menikmati kebahagiaan ini.

Dengan tubuh tua terlihat di cermin, aku berkhayal ingin merasakan kehidupan lain yang tak sempat kunikmati dulu.

Benarlah, segalanya mulai lagi dari awal, sejak kami pertama bertemu. Kami bebas ke diskotek, ajojing rame-rame, pulang malam, tapi tak pernah dimarahi ayah-ibu. Ayah-ibuku pun tampak bahagia, tinggal di rumah mewah, perabotan lengkap, segalanya sempurna.

Kami benar-benar bahagia.

Aku dapatkan semua yang kuminta.

Suamiku?

Aku jadi ingin tahu keinginan suamiku.

“Bersamamu,” katanya.

“Kau tak ingin memiliki kehidupan lain?” tanyaku.

“Aku tetap jadi milikmu selama kau menginginkannya. Cintaku, perhatianku, kasih sayangku, semuanya untukmu dan yang kau inginkan…” katanya tak lepas dari senyum.

“Berarti kau tak nyata?” gugatku.

“Peluklah aku,” pintanya. Aku memeluknya. Kurasakan kehangatan yang sama bagai dulu.

“Apakah aku tidak nyata?” tanyanya.

“Tapi kau harus meminta sesuatu untuk dirimu,” balasku. “Jika segalanya buatku, itu tidak adil!”

“Jika keadilan itu dipertanyakan, yang telah dihadiahkan-Nya padamu, itulah yang paling adil, sebagai balasan amalmu dulu!”

Aku terpana. Robotkah ia? Robot berujud suamiku?

“Aku adalah nyata untukmu, Hannah. Aku adalah kebahagiaan yang ingin kau temui. Aku masih punya cinta dan sayang yang sama, masih kurang bagimu?” ia seolah mengerti pikiranku.

Suamiku merengkuhku dalam pelukannya. Harum tubuhnya sama kukenal betul. Dan ia memang nyata. Mengapa aku harus sibuk menggugat kehadirannya. Bukankah ia yang kuinginkan?

Aku balas memeluk Mas Banu. Ia bersenandung lagu yang kusuka,lagu nostalgia saat kami pertama bertemu.

Kami hanyut dalam kebahagiaan abadi.

***

DUA

Aku tergelak. Inilah surga itu!

Rumahku berjejer dengan puluhan tipe dan model aneka ragam. Di dalamnya berbagai gaya furniture aku tata apik. Peralatan lengkap, modern, persis idamanku.

Juga penghuni setiap rumah itu.

Ya, keinginanku terwujud di sini.

Sejak dulu, aku ingin beristri empat. Itu halal di dunia. Tapi haram menyakiti istri. Kata istriku, kalau mau istri empat atau bahkan sembilan puluh sembilan sekalipun, di sorga saja kelak. Agar masuk surga, berbuat baiklah, termasuk tidak menyakiti istri. Aku menuruti kata-katanya, karena bagiku ia adalah surga itu sendiri. Seorang perempuan yang sangat mengerti siapa aku. Perempuan yang membutuhkan aku sebagai lelaki. Tapi ia juga bisa keras dan berani, saat aku rapuh dan kerdil. Itulah yang kubutuhkan, maka kunikahi ia.

Hannah, istriku, pernah berkata tak ingin dimadu. Meski mengakui halal bagiku, ia minta tak melakukannya selama ia masih ada. Dan aku tak punya kesempatan itu karena aku lebih dulu meninggal darinya. Saat ruhku melayang bersama Izrail pun aku masih melihat kesedihan, ketegaran di wajahnya. Bagaimana ia membisikkan kata-kata di telinga jasadku. Janji membesarkan anak-anak, tanpa menikah lagi. Ia membuktikannya dengan baik.

Tapi di sini, aku tak mau ia menguasaiku. Aku sudah lama memendam keinginan punya istri banyak. Sejak dulu aku ingin merasakan, problemyang dihadapi poligamis. Kupikir, kalau sudah di surga tak bakal ada masalah. Maka aku pupuk keinginan masuk surga, dengan berbuat segala kebaikan.

Kini aku memetik hasilnya.

Selamat datang, para istri! Aku, suami kalian, sambutlah aku!

Rumah pertama, adalah untuk istriku, Hannah. Ia permataku, cahaya hatiku. Anak-anakku? Nanti dulu, aku ingin kami mengulang hal-hal yang tak sempat kami lakukan berdua. Kami tak sempat pacaran lebih dulu.

Kami dulu menikah karena saling cinta, saling membutuhkan, saling cocok, tapi juga saling berbeda. Perbedaan inilah yang tak ingin kurasakan di surga.

Ia tak pernah mau diajak ke diskotik, pub, atau tempat karaoke. Aku pun menurut, tak pernah lagi ke tempat-tempat itu. Kini, aku ingin merasakan berkunjung ke sana bersama istriku, sebagai pacar.

Amboi, senangnya!

Rumah kedua adalah untuk istri keduaku, seorang artis ternama, yang jadi simpanan pengusaha terkenal. Ia adalah impianku, meski tak sampai jadi obsesi. Istriku sering tertawa tanpa mengejek ketika kuungkapkan keinginanku memperistri artis itu. Tentu, bukan keinginan sesungguhnya. Minimal, istriku mengetahui sisi gelap imajiku.

Rumah berikut dan berikutnya lagi adalah untuk mantan-mantan pacarku yang tak dapat kusebut satu persatu. Aha! Selalu ada rahasia buat pria. Aku tak pernah mengatakan jumlah mantan pacarku, dan Hannah tak pernah mengusikku. Itulah kebebasan yang kuperoleh dari istriku, tak pernah diadili akibat masa lalu. Aku bebas bercerit tentang mereka, tentu bukan bagian mesranya. Istriku bisa cemburu berat. Kalau ia cemburu, bahaya besar buatku. Inspirasiku mencipta lagu bisa buyar seketika!

Rumah terujung, adalah istri gelapku. Benar-benar gelap, karena ia bagian dari kegelapan imajiku. Seorang waria telah menunggu. Penggemar berat lagu-laguku. Ia pernah mengajakku kencan, tentu saja aku tak dapat menerimanya, aku tak ingin menyakiti istriku. Kujanjikan sesuatu, dan ia terbelalak.

“Kujadikan kau istriku kelak, di surga,” kataku.

***

TIGA

Ah!

Aku memasuki pintu indah di depanku. Serasa mimpi. Inikah keabadian itu? Semua seperti yang kuinginkan! Aku merasa selalu tersenyum, merasakan kebahagiaan ini. Ah!

Tubuhku jadi muda. Sempurna seperti yang kuinginkan. Bukan tubuh ibu-ibu gendut yang dipandang remeh seperti yang dilakukan suamiku, dulu.Hahaha! Aku bahagia sekali! Andai lelaki itu melihatnya, batinku. Ia tidak akan mengolok-olok tubuhku lagi! Aku kini heran, kenapa dulu aku begitu sabar meladeni lelaki macam dia. Pergi pagi pulang malam, tidak mempedulikan aku dan anak-anak. Malah pernah kupergoki sedang jalan mesra dengan seorang ABG.

Aku kini juga heran, mengapa saat itu aku diam saja, ketika ia marah-marah karena aku memergokinya. Bukankah seharusnya aku yang marah? Tapi aku dulu memang selalu sabar, tetap menghormati dia sebagai seorang suami, ayah anak-anakku. Bukan sebagai kekasih.

Kekasih sejati yang menghuni hatiku adalah seorang lelaki dari masa lalu. Penyanyi tampan dan romantis. Ia sangat sopan padaku, tak pernah menyakiti dengan ucapan dan tingkah laku. Kelemahannya hanya satu, tak mau diikat janji-janji sebuah perkawinan. Buatnya, bebas merdeka adalah tujuan hidupnya, asal tidak menyakiti orang lain, terutama wanita.

Sementara buatku, perkawinan adalah lembaga suci yang membebaskan manusia dari kesendirian. Itulah mengapa akhirnya kami berpisah, setelah diskusi berjam-jam. Aku menuntut untuk diikat, agar aku merasa bebas sebagai perempuan, istri dan ibu anak-anaknya kelak. Tapi ia tak ingin dikekang dengan formalitas sumpah. Kami tak lagi bertemu sejak perpisahan itu.

Aku lalu menikah dengan lelaki pertama yang melamarku. Semula aku pikir aku akan melupakan mantan pacarku, dan bahagia selamanya dengan suamiku. Tapi, setelah bertahun-tahun perkawinan, ia tergoda oleh kemolekan tubuh wanita lain. Mulailah aku berpikir ia hanyalah suamiku, bukan kekasih.

Ya, aku menganggapnya bukan lagi kekasih. Sejak tubuhku mekar karena empat kali melahirkan anak-anaknya, suamiku tak pernah memuji bentuk tubuhku lagi. Padahal segala cara untuk menguruskan badan sudah kucoba. Semua demi suami. Hingga akibat yang fatal, sepulang dari fitness, aku melihat suamiku sedang menggandeng mesra seorang wanita muda dan cantik. Mereka menyeberang jalan.

Darah mendidih di kepalaku. Aku mencoba tetap sabar. Kupikir, aku harus bicarakan hal ini pada suamiku, di depan wanitanya. Agar beban berat ini tak kupikul sendirian.

Kuikuti mereka tanpa melihat kanan-kiri. Tak kuperhatikan pula sebuah mobil box melaju kencang dengan supir mabuk.

Dar!!

Kini aku dapat tertawa sepuasnya. Tak perlu fitness, minum jamu pelangsing, badanku kembali seperti ketika masih gadis. Aku merasa mampu menggoda lelaki manapun.

Lelaki manapun?

Hanya satu lelaki yang kuinginkan.

Mantan pacarku itu.

Di manakah dia sekarang? Di surgakah, atau malah di neraka?

“Hai,” suara berat mengusikku. Aku tak percaya, tapi surga mengharuskanku meyakini segalanya.

Ia datang. Hanya untukku. Mantan pacarku, penyanyi terkenal itu.

***

serang, sepanjang juni2003


p.s: ada di facebook saya juga. happy reading, semoga menginspirasi:)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun