Aku beranjak menutupi pintu. Sebelah tanganku memegang kenopnya.
"Sabarlah dulu. Nikmati sehirup dua hirup capuccino buatanku!" pintaku
Dia tak menjawab. Tapi masih saja berdiri terpaku.
"Lihatlah hujan itu masih merinai. Kamu kan gak bawa mantel, naik motor di hujan deras seperti ini bisa membuatmu sakit!" kataku sambil menyibak gorden jingga bermotif winnie the pooh.
Kali ini dia mengalah. Tapi duduknya tak jua tenang. Sesekali masih diliriknya swatch di tangan kirinya. Setengah usahaku berhasil. Aku menahan bahagia, walau senyum tipis merupa di bibirku.
Aku beranjak dan duduk di hadapannya.
"Mau kubuatkan yang lain. Mie rebus mungkin? Untuk sekedar menahan lapar," kataku.
Sambil berkata itu sesungguhnya aku menyesal. Aku hanya bisa membuat masakan yang instan saja. Padahal masakan buatan ibuku terkenal maknyus. Dan saat ibuku pergi ke bandung, dua hari ini praktis aku hanya makan mie dan telur ceplok saja.
"Eng.. Kalau tidak merepotkan, bisa buatkan aku bandrek. Aku gak tahan kalau minum kopi. Magku kadang kumat," kata Dimas.
Suara yang aku tunggu. Tapi sumpah, aku gak bisa bikin bandrek. Maka aku tak menjawab.
"Winda gak bisa buat ya. Tidak apa-apa. Aku boleh buat sendiri kan? Tadi aku lihat ada banyak jahe di dapur," lanjutnya.