Mohon tunggu...
Tia Rosalita
Tia Rosalita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Seberapa Bahaya Ancaman Konflik Nuklir di Semananjung Korea bagi Keamanan Global

15 September 2024   22:25 Diperbarui: 18 September 2024   08:10 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam Hukum Internasional Humaniter (HIH), kepemilikan senjata nuklir diatur melalui berbagai perjanjian internasional, termasuk Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT), yang ditandatangani pada tahun 1968, membagi negara-negara menjadi dua kategori: negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapon States/NWS) dan negara non-pemilik senjata nuklir.

Lima negara dalam kategori NWS adalah China, Prancis, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat. Negara-negara non-NWS diharapkan tidak mengembangkan senjata nuklir dan, bagi negara yang memilikinya, melakukan perlucutan senjata secara bertahap sesuai Pasal 1 hingga Pasal 6 NPT.

Dalam artikel yang ditulis oleh Scott D. Sagan, terdapat tiga pendekatan utama yang menjelaskan alasan negara memilih untuk memiliki senjata nuklir.

Pertama, The Security Model, yang menekankan peningkatan keamanan negara dari ancaman eksternal, termasuk ancaman serangan nuklir. Kedua, The Domestic Politics Model, yang melihat senjata nuklir sebagai alat untuk menarik kepentingan politik dan dukungan dari elit domestik. Ketiga, The Norms Model, yang memandang senjata nuklir sebagai simbol modernitas dan identitas negara di panggung internasional.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah negara Korea Utara yang memulai pengembangan teknologi nuklir pada tahun 1956 dan melakukan uji coba nuklir pertamanya pada tahun 2006. Hingga September 2023, Korea Utara telah melakukan total enam uji coba nuklir. Negara ini menggunakan kekuatan nuklir sebagai alat deterrence terhadap ancaman eksternal, terutama dari Amerika Serikat, dan untuk menyeimbangkan keunggulan militer negara lain (Bennett, 2010). 

Kebijakan nuklir Korea Utara merupakan prioritas strategis sejak era Kim Il-sung, dengan faktor historis dan ideologi memainkan peran penting dalam rasionalisasi pengembangan senjata nuklir (Ahn, 2018; S.-H. Kim, 2007). Isu nuklir di Semenanjung Korea berakar dari ketegangan geopolitik dan keamanan regional yang melibatkan pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara.

Ketegangan akibat program nuklir Korea Utara berdampak signifikan bagi keamanan regional dan global. Uji coba nuklir Korea Utara, seperti pada 3 September 2017, dan peluncuran rudal balistik jarak menengah pada 15 September 2017, menambah ketidakstabilan di kawasan Asia Timur. Negara ini juga menghadapi respons internasional, termasuk penambahan ke daftar negara sponsor terorisme oleh Amerika Serikat pada 27 November 2017 (Muhaimin, 2018).

Senjata nuklir bisa dianggap sebagai pembunuh massal karena daya ledaknya yang sangat besar mampu menghancurkan area luas dan menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar, baik langsung akibat ledakan maupun dari radiasi yang menyebar setelahnya. Selain dampak fisik, senjata nuklir juga menyebabkan kerusakan jangka panjang pada lingkungan dan kesehatan manusia.

Meski perang  nuklir  sendiri  baru  terjadi  satu  kali di  dunia  yaitu  pada  saat  Perang  Dunia  II  di mana Amerika Serikat menggunakan senjata nuklir atau nuclear  weapons yaitu bom  atom  yang  dijatuhkan  di  dua  kota  di Jepang  yaitu  Kota  Hiroshima  dan  Nagasaki pada  tahun  1945  yang  mana  hal  tersebut berhasil  meluluh lantakkan  kota  dan  turut mengakibatkan    kekalahan    perang    bagi Jepang     pada     masa     Perang     Dunia     II.

Ancaman nuklir Korea Utara tetap mempengaruhi keamanan di kawasan, memicu kekhawatiran bahwa Korea Selatan dapat terdorong untuk mengembangkan kapabilitas militer dan nuklirnya sendiri sebagai respons terhadap ancaman. Meskipun Korea Selatan melarang pengembangan senjata nuklir independen, kekhawatiran terhadap kemajuan nuklir Korea Utara mempengaruhi kebijakan keamanan dan aliansi strategisnya dengan Amerika Serikat (Choi, 2013).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun