Mohon tunggu...
Tiarma Delsita P
Tiarma Delsita P Mohon Tunggu... Mahasiswa - Political Science Student

Mahasiswa Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Privatisasi: Bagai Pisau Bermata Dua?

23 Desember 2022   16:31 Diperbarui: 23 Desember 2022   16:37 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Privatisasi masih menjadi suatu kebijakan yang menarik untuk dibahas sampai saat ini. Isu terkait kebijakan privatisasi masih menjadi isu yang kontroversial dan terus menuai beragam perdebatan dari berbagai kalangan. Beberapa kalangan menilai bahwa kebijakan privatisasi memang dibuat guna dapat memberikan output yang lebih optimal melalui peningkatan efisiensi perusahaan. Kalangan yang cenderung setuju tersebut mengungkapkan bahwa privatisasi akan membuka akses yang lebih besar ke pasar internasional, sehingga daya saing dan efisiensi usaha dari perusahaan akan meningkat. Akan tetapi, tidak sedikit dari mereka yang juga mengkritisi implementasi kebijakan privatisasi ini, dimana privatisasi dianggap akan berimbas pada hilangnya kepemilikan negara dan mendominasinya campur tangan swasta. Oleh sebab itu, perdebatan yang terjadi tersebut menjadi urgenisitas yang menarik untuk dibahas lebih jauh, terutama terkait bagaimana kebijakan privatisasi dapat memberikan dampak yang baik bagi negara sekaligus membahas lebih jauh terkait dampak negatif yang terjadi dari penerapan sebuah kebijakan privatisasi.

Dalam membahas persoalan di atas, kita perlu memahami terlebih dahulu tentang apa itu privatisasi. Secara definif, privatisasi adalah suatu kebijakan yang pengimplementasianya merujuk pada pengalihan kepemilikan. Perusahaan yang tadinya dimiliki oleh publik atau pemerintah beralih ke sektor di luar publik yakni swasta. Penerapannya dilakukan melalui berbagai bentuk penjualan aset dan dilakukan secara keseluruhan maupun hanya sebagian. Dengan kata lain, kebijakan ini merupakan bentuk dari pemberian kesempatan kepada sektor swasta untuk menjadi aktor yang dominan dalam proses produksi, baik dalam hal peranan, pembiayaan, sampai manajemen secara keseluruhan.

Latar belakang dari adanya penerapan kebijakan ini adalah menyangkut terkait pengaruh dari liberalisasi pasar dan perdagangan bebas dalam ekonomi global. Negara-negara besar seperti Inggris pada Amerika kiranya telah menjadi contoh akan kesuksesan penerapan kebijakan privatisasi, keduanya menjadi insipirasi bagi negara-negara lain karena dampaknya pada efisiensi, depolitisasi ekonomi sosial, revitalisasi instrument negara, sampai penyongkong perbaikan krisis fiskal yang terjadi. Akhirnya, persaingan pasar global yang meningkat seperti itu mengharuskan dan mendorong setiap perusahaan untuk dapat melakukan adaptasi dan mereorganisasi visi dan tujuan usaha mereka. Perusahaan-perusahaan tersebut harus bisa menyesuaikan dengan persaingan yang lebih ketat guna dapat menciptakan usaha yang efisien dan menghasilkan output keuntungan yang seoptimal mungkin. Hal tersebut yang juga terjadi dan diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh negara seperti BUMN (Naufal, 2021) .

BUMN seringkali dinilai belum dapat sepenuhnya dapat bersaing dengan ekonomi global yang terus dinamis. Perusahaan milik negara tersebut masih belum bisa dapat menyediakan barang/ jasa yang terjangkau dan bermutu tinggi bagi masyarakat secara luas, sehingga akhirnya BUMN juga dinilai belum mampu menyaingi kekuatan dari perusahaan-perusahaan besar swasta lainnya. Oleh karena itu, pengelolaan BUMN perlu direstrukturisasi kembali untuk dapat membantu menumbuhkan dan mengoptamilisasi perananya dalam mempertahakanan eksistensinya di dalam perekonomian global yang semakin kompetitif. Salah satu nya dilakukan melalui pengelolaan perusahaan berkelanjutan yang baik dengan implementasi kebijakan privatisasi (Naufal, 2021).

Pada tahun 1990-an, pemerintah mulai memprivatisasi saham-saham perusahaan negara atau menjualnya kepada publik (publik) melalui pasar modal. Privatisasi pada saat itu dilakukan untuk menutup defisit APBN akibat dampak krisis keuangan tahun 1997. Privatisasi BUMN pertama dimulai ketika Semen Gresik melepas sahamnya 27 % ke pasar modal pada tahun 1991. Saat penerapanya, privatisasi mendapat beragam tanggapan dari berbagai kalangan. Sebagian orang menganggap kebijakan ini merupakan sebagai buah bentuk langkah strategi yang baru yang perlu untuk dilakukan, terutama sebagai usaha dalam memperbaiki pelayanan di Indonesia. Akan tetapi, sebagian lain juga memandang privatisasi sebagai langkah yang perlu dipertimbangkan, terutama terhadap jaminan kepentingan masyarakat.

Kebijakan privatisasi BUMN juga memang sering diambil demi meringankan beban hutang negara. Saat itu, selepas pemerintahan Orde Baru dilengserkan, hutang negara Indonesia terhadap luar negeri membengkak sampai menyentuh angka Rp 794 miliar. Membengkaknya utang tersebut mengakibatkan terjadinya krisis moneter yang berimbas pada terjadinya demonstrasi besar-besaran. Kondisi perekonomian yang kacau pada saat itu mendorong adanya penerapan kebijakan privatisasi. Mengingat kebijakan ini berperan penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi (PDB) dan keberadaanya terus memberikan input pada keuangan negara, maka oleh sebab itu privatisasi menjadi langkah yang diambil untuk mengatasi persoalan di atas termasuk untuk meminimalisir terjadinya defisit maupun membengkaknya utang negara.

Adapun, penerapan privatisasi pada dasarnya akan berdampak secara besar pada sektor ekonomi. Dampaknya bisa berpengaruh baik dalam konteks ekonomi makro maupun mikro. dampak yang terjadi dari penerapan privatisasi pada konteks ekonomi dapat dilihat dari kebijakan privatisasi yang dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebagai contoh, peningkatan keuntungan menyebabkan adanya kenaikan saham. Saham yang bernilai tinggi akan berimbas pada keuntungan yang besar, sehingga pemerintah akan mendapatkan keuntungan dari nilai saham yang meningkat tersebut. Keuntungan yang didapat dari penerapan privatisasi BUMN akan berdampak juga pada tertutupnya defisit yang terjadi pada suatu APBN.

Sedangkan, dampak yang terjadi dari penerapan privatisasi pada konteks politik dapat dilihat dari berkurangnya tekanan intervensi politik yang terjadi. Privatisasi dapat mengurangi campur tangan publik ataupun pemerintah dalam aspek tata pengelolaan juga kepemilikan. Sekalinya swasta memegang suatu perusahaan, maka pemerintah tidak dapat intervensi secara langsung. Semua mekanisme perusahaan tersebut diberikan dan dipertanggungjawabkan kepada kemampuan swasta, sehingga intervensi negara dan juga politik dapat lebih mudah diminimalisir. Adapun, tidak meratanya akses barang dan jasa (public goods and services) yang dihasilkan dari perusahaan setidaknya akan dapat diminimalisir oleh adanya pemerataan akses privatisasi antara swasta dan negara tersebut. Kepemilikan oleh swasta mendorong perusahaan tersebut untuk lebih berfokus pada pengembangan output ekonomi yang kompetitif juga sistem politik yang demokratis. Akan tetapi, yang juga menjadi ancaman adalah perusahaan dengan kepemilikan asing. Apabila suatu perusahaan negara secara dominan diatur oleh pihak asing maka mekanisme perusahaan secara luas kembali ditentukan dengan preferensi asing. Hal ini yang ditakutkan akan berimbas pada melemahnya kedaulatan nasional karena kemampuan negara yang berkurang.

Adapun, berbagai dampak positif dari penerapan privatisasi yang telah dijelaskan sebelumnya juga tidak menutup kemungkinan akan tidak adanya dampak negatif yang dihasilkan dari penetapan privatisasi tersebut. Secara umum, swastanisasi atau pengelolahan oleh swasta tidak dapat sepenuhnya terus dilakukan. Apabila perusahaan tidak melakukan privatisasi, maka segala keuntungan maupun kerugian sepenuhnya akan terus menjadi tanggung jawa pemerintah. Apabila privatisasi dilakukan untuk menutup defisit anggaran yang terjadi, maka defisit anggaran harus ditutup dengan sumber lain, bukan dari privatisasi atau hasil penjualan BUMN. APBN yang defisit bisa akan terus terjadi, sehingga apabila APBN atau asset negara terus-terus dijual kepada swasta maupun pemilik modal, maka dalam jangka Panjang BUMN atau perusahaan-perusahaan negara akan terus habis terjual sedangkan defisit yang terjadi pada suatu APBN akan tetap terjadi meskipun pada tahun-tahun berikutnya. Privatisasi untuk menutup APBN juga seolah-olah hanya untuk memenuhi tujuan jangka pendek saja dengan menutup defisit APBN yang terjadi dan bukan untuk memaksimalkan dampak secara jangka Panjang,

Tak hanya itu, BUMN yang dijual seringkali bukanlah BUMN yang berkinerja buruk atau rugi, melainkan BUMN yang terjual adalah BUMN yang memiliki perolehan laba keuntungan yang sangat tinggi dan peranan yang sentral dalam perekonomian negara, sehingga hal ini menjadi sesuatu yang disayangkan karena keterlibatan negara di bidang tersebut juga hanya sebatas sebagai pengawas melalui aturan main dan etika usaha yang dibuat (Kristianto, 2006).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa privatisasi menjadi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberdayakan secara optimal berbagai perusahaan BUMN. Bagaimapun swasta akan melakukan beberapa hal yang lebih baik apabila dibandingkan dengan negara atau pemerintah, namun pemerintah atau negara pun melakukan beberapa hal lebih baik disbanding oleh swasta. Oleh sebab itu, untuk mencapai segala bentuk optimalisasi output, keprofesionalan, sampai efisiensi, maka kedua belah pihak baik swasta maupun negara harus sama-sama menciptakan pengelolaan manajemen perusahaan yang baik guna tujuan ideal dari penerapan privatisasi dapat terwujud.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun