Sejatinya, aksi massa memang menjadi istilah yang telah ada sejak dahulu. Sampai saat ini, aksi massa terus berkembang menjadi istilah baru yang disebut dengan people power. Istilah people power tersebut pertama kali dipakai dalam peristiwa bersejarah penggulingan rezim Marcos di Filipina, rakyat saat itu melakukan unjuk rasa memprotes pemerintahan Marcos yang dianggap sudah tidak sesuai dengan kehendak masyarakat, mereka menuntut adanya pergantian rezim dan mendesak agar segera dilakukannya reformasi. Hal ini pada akhirnya terus menerus menjadi istilah yang dipakai dalam setiap aksi massa yang terjadi di berbagai belahan dunia.Â
Secara definitif, people power diartikan sebagai kekuatan rakyat dalam melakukan suatu perubahan pada tatanan tertentu. Biasanya istilah ini dipakai untuk memobilisasi massa dengan tujuan menggulingkan suatu kekuasaan maupun tujuan politik lain. Dalam praktiknya, people power memang cenderung dilakukan secara spontan dan masif tanpa adanya sosok sentral yang jelas dalam pelaksanaanya, meskipun tidak bisa juga dipungkiri bahwa bagaimanapun akan selalu ada tokoh maupun kelompok berpengaruh lainnya yang mendorong terjadinya aksi massa tersebut.
People power dan aksi-aksi lain seperti revolusi dan kudeta secara sepintas memang terdengar serupa, ketiganya merupakan buah respon dari suatu peristiwa yang dianggap telah tidak sejalan, sehingga pada akhirnya perlu untuk dibenahi dan dilakukan perubahan. Namun, pada pelaksanaannya, apa yang disebut dengan people power berbeda dengan apa yang dinamakan dengan revolusi. Aksi kekuatan rakyat ini pada akhirnya akan terus mencari sebuah legitimasi konstitusional pergantian pemerintahan berdasarkan payung hukum yang ketika saat itu berlaku di negara tersebut. Kekuasaan atau pemerintahan baru yang ada perlu untuk berada di bawah legitimasi konstitusional untuk dapat menjalankan pemerintahannya secara konstitusional dan demokratis. Sedangkan dalam sebuah aksi revolusi, pelaksanaannya cenderung dilakukan secara inkonstitusional. Dimana pada akhirnya aksi yang dianggap berhasil serta didukung oleh rakyat akan mendapat legitimasi dengan sendirinya sedangkan aksi yang gagal akan dianggap sebagai suatu pemberontakan.Â
Populernya istilah people power pada dinamika perpolitikan di dunia, memunculkan suatu pertanyaan besar atas kedudukan people power dalam bingkai moralitas dan etika. Apakah people power benar-benar sebagai sebuah bentuk aksi kedaulatan rakyat ataukah hanya sebagai sebuah aksi pemberontakan semata di balik istilah kekuatan rakyat? Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa people power memang sering ditafsirkan dan dilihat sebagai dua mata sisi yang berbeda. People power terkadang ditafsirkan sebagai sebuah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat secara damai sebagai sebuah wujud aksi penolakan. Hal tersebut juga sudah mendapat legitimasi hukum melalui peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2008 mengenai penyampaian suatu pendapat di muka umum. Sehingga, apabila dilihat dari kacamata moral, people power yang berlandaskan kehendak dari seluruh masyarakat dan bukan hanya dari segelintir kelompok yang memiliki kepentingan tertentu, maka dapat dikategorikan sebagai aksi yang memang dibuat untuk keterwujudan atas kedaulatan rakyat dengan mengedepankan prinsip etika dalam suatu perubahan politik. Aksi People power yang dilakukan secara damai dan tidak radikal menjadi gambaran akan penerapan prinsip moral mengenai baik atau buruknya perilaku dalam berpolitik. Sehingga people power dalam artian demonstrasi seperti ini apabila dilihat dari kacamata moral akan termasuk ke dalam kelompok etika di atas standar, karena tindakannya dinilai oleh tingkat kepatuhan masyarakat dengan sebuah aksi praktik yang legal dalam sebuah regulasi. Meskipun, tak jarang secara moralitas banyak individu yang menganggap bahwa tindakan tersebut bagaimanapun merupakan tindakan yang tidak etis.
Lebih lanjut, people power juga seringkali ditafsirkan sebagai sebuah aksi makar. Hal ini biasanya disebabkan oleh aksi yang ada cenderung bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan pemerintahan yang sebenarnya sudah sah, melalui tindakan-tindakan yang inkonstitusional. Aksi ini biasanya dilakukan oleh segelintir orang yang mengatasnamakan kepentingan publik, yang sebenarnya hanya dilakukan untuk kepentingan politik mereka semata. Oleh sebab itu, aksi ini jelas jauh dari standar moral dalam suatu perubahan politik.Â
Maka dari itu, bagaimanapun penulis melihat bahwa berbagai tindakan yang menuntut adanya suatu perubahan tetap perlu untuk selalu mengedepankan legalitas dan kesusilaan. Henry J. Schmand juga mengatakan bahwa petaka kiranya apabila politik tanpa adanya sebuah etika, moral, dan kejujuran. Hal ini hanya akan melahirkan kehancuran dan menjadikan masyarakat sebagai korban. Maka dari itu, etika politik dalam aksi people power sekalipun harus menjadi sebuah tanggung jawab dan kewajiban manusia bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H