Mohon tunggu...
Agung Tiariaji
Agung Tiariaji Mohon Tunggu... -

a Lifetime Learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Teror, Label dan Citra Islam

22 April 2015   06:02 Diperbarui: 9 Agustus 2015   07:21 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbeda dengan pesan-pesan tersiar (Broadcast Messages (BC)) lain yang biasa saya terima dan abaikan -  karena tak jarang hanya merupakan berita hoax, lawas atau penawaran produk yang membosankan - belum lama ini saya menerima sebuah pesan BC yang cukup menarik untuk dibaca lebih lanjut dan menantang untuk dipikirkan kembali setiap argumen yang diajukannya.

Apa isi BC yang dimaksud? Berikut penulis tampilkan pesan tersebut:

In the HISTORY of the world, who has KILLED maximum INNOCENT human beings?

HITLER. Do you know who he was? He was a Christian, but media will never call him a Christian terrorists.

JOSEPH STALIN. He is called as Uncle Joe. He has killed 20 million human beings including 14.5 million were starved to death. Was he a Muslim?

MAO TSE TUNG. He has killed 14 to 20 million human beings. Was he a Muslim?

GEORGE BUSH. 1/2 million children has been killed in Iraq alone!!!

Imagine these people are never called TERRORISTS by the media. Why?
Today the majority of the non-muslims are afraid by hearing the words "JIHAD". Jihad is an Arabic word which comes from root Arabic word "JAHADA" which means "TO STRIVE" or "TO STRUGGLE" against evil and for justice. It does not mean killing innocents. The difference is we stand against evil, not with evil".
You still think that ISLAM is the problem?
1. The First World War, 17 million dead (caused by non-Muslim).
2. The Second World War, 50-55 million dead (caused by non-Muslim).
3. Nagasaki atomic bombs 200.000 dead (caused by non-Muslim).
4. The War in Vietnam, over 5 million dead (caused by non-Muslim).
5. The War in Bosnia/Kosovo, over 5,00,000 dead (caused by non-Muslim).
6. The War in Iraq (so far) 12,000,000 deaths (caused by non-Muslim).
7. Afghanistan, Iraq, Palestine, Burma etc (caused by non-Muslim).
8. In Cambodia 1975-1979, almost 3 million deaths (caused by non-Muslim).

"MUSLIMS ARE NOT TERRORISTS AND TERRORISTS ARE NOT MUSLIMS."
Please remove first double standards on Killings.

Bila kita baca uraian dari BC di atas, maka dapat kita temui di sini bahwa pesan tersebut memuat sejumlah tokoh diktator dari negara-negara tertentu beserta aksi dan tragedi kemanusiaan yang dihasilkan dari ulah mereka. Bagi para peminat sejarah dunia modern, fakta-fakta tersebut tentu sudah tak asing lagi untuk diketahui. Tapi bagi yang belum sepenuhnya tahu seberapa detil tingkat kebrutalan/kerusakan yang telah mereka lakukan (melalui jumlah korban kematian, kelaparan, dll), fakta-fakta tersebut kiranya memunculkan gegeraman bathin tersendiri. Terlebih lagi, khususnya bagi para pembaca Muslim seperti saya, kegeraman itu menjadi semakin meningkat mengingat sang penulis BC juga memainkan sentimen keagamaan dengan menyertakan pertanyaan di setiap akhir dari profil para diktator terkait agama apa yang mereka anut, utamanya bila dihubungkan dengan munculnya sebuah seruan di akhir pesan BC tersebut untuk menentang setiap praktek standar ganda yang banyak dilakukan pihak-pihak tertentu terkait pelabelan (labelling) negatif kepada komunitas/pribadi Muslim yang dirasa sangat tidak adil menurut si penulis pesan BC itu.

Sepintas apa yang baru saja kita baca dan kegeraman yang muncul setelahnya, senada dengan apa yang telah dirasakan lebih dulu oleh sang penulis BC tersebut. Ada semacam bentuk ketersadaran baru yang nampak benar adanya melalui argumen yang dibangunnya, dimana menurutnya telah terjadi kesewenang-wenangan dalam melabel citra komunitas/pribadi muslim sebagai teroris atau pembunuh, dengan mengaitkan agama yang dianut oleh anggota komunitas ini dengan praktek terorisme yang nyatanya hanya dilakukan oleh segelintir kelompok yang membawa bendera Islam. Sebaliknya, kontras dengan yang terjadi dengan para tokoh di atas, kita tak pernah mendengar bahwa mereka dilabelkan/dikaitkan menurut agama apa yang mereka anut atas kejahatan kemanusiaan yang mereka telah perbuat.

Secara pribadi, saya sependapat dengan pernyataan dan seruan dari penulis BC tersebut bahwa kita perlu menentang setiap praktek labelling yang berangkat dari suatu kasus partikular untuk dinisbatkan kepada hal yang lebih besar/umum, dikarenakan hal ini dapat menggiring kita kepada generalisasi menyesatkan yang berujung pada munculnya prasangka negatif (negative prejudice) pada kelompok tertentu, utamanya dalam kasus ini adalah komunitas Islam. Namun, menjadi sangat tidak relevan ketika penulis BC tersebut – melalui pertanyaan agama apa yang dianut oleh para diktator – berusaha menggugat adanya praktek standar ganda menyangkut pelabelan para tokoh itu yang tidak menyertakan pula embel-embel agama/keyakinan yang mereka anut selama ini, sebagaimana ia kontraskan dengan yang terjadi pada label kelompok teroris muslim.

Bagi saya, selain pertanyaan itu tidak relevan, gugatan penulis BC tersebut juga saya kira janggal dan justru merupakan bentuk standar ganda yang lain. Mengapa demikian? karena kita memang tidak mungkin menjudge profil Hitler dengan label “a Christian Terorist”, Stalin dengan “an Atheist Murderer” atau bahkan Saddam Husein/Soeharto dengan label “seorang MUSLIM maniak kekuasaan” disebabkan karena para tokoh tersebut memang tidak mengatas-namakan/mengidentifikasi sepak terjang mereka dengan agama/keyakinan yang mereka anut, melainkan dengan tameng-tameng ideologi lain semisal; nasionalisme atau komunisme. Sebaliknya, adalah konsekwensi logis apabila muncul label “moslem terrorist” terhadap kelompok-kelompok semisal; Al-Qaeda, ISIS, dll. dikarenakan justru pada kelompok itulah mereka mengidentifikasi diri/prilaku mereka dengan agama/keyakinan yang mereka anut (Islam), meskipun tindakan mengatas-namakan Islam tadi telah mendapatkan kecaman luas dari komunitas muslim itu sendiri. Namun, tak dapat disangkal bahwa adanya praktek pelabelan yang muncul di masyarakat terhadap suatu kelompok tertentu, seringkali berangkat dari ideologi/keyakinan apa yang diaku-aku oleh kelompok tersebut. Karena, bukankah kita akan dijudge/dilabelkan, menurut apa yang kita yakini hingga membentuk sikap dan prilaku kita?

Terkait dengan perihal praktek pelabelan tersebut, saya jadi teringat adanya debat yang cukup hangat baru-baru ini yang dimunculkan oleh Bernard Haykel, seorang Islamist dari Universitas Pricenton, AS, yang menegaskan bahwa ideologi Islam keras ala ISIS – yang meski banyak dikecam oleh banyak kalangan luas Islam –  suka tidak suka juga berangkat dari teologi Islam yang otentik serta memiliki dasarnya dalam tradisi Islam klasik, dan karenanya adalah sulit untuk dihindari bila banyak kaum Barat awam mengalami bias dalam mencitrakan atau melabelkan komunitas/pribadi muslim sebagai pengikut keyakinan yang penuh kekerasan dan intoleransi.

Hemat saya, bila penulis BC tersebut sangat mengecam adanya pelabelan dan negative streotyping terhadap komunitas muslim dewasa ini, mengapa ia tidak juga membuat BC lain yang menggagas suatu citra Islam yang akan menginspirasi para pembacanya kepada pembentukan karakter muslim yang didasarkan pada teologi yang lebih mengedepankan Tasamuh (toleransi) dan Wasathan (Moderat), dibandingkan sebuah BC gugatan yang hanya bersifat defensif seperti yang ditampilkan pada awal tulisan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun