Menghadapi Ketimbang Menyambut
Astrid Savitri (2019) dalam bukunya menjelaskan banyak tentang bagaimana pemuda sangat krusial untuk menyambut bonus demografi. Kini, terjadi perubahan paradigma dari menyambut bonus demografi ke menghadapi bonus demografi. Semantik dalam kata 'menyambut' sendiri memiliki kecenderungan positif, mempersiapkan diri sebelum suatu okasi tiba. Sedang 'menghadapi' cenderung terarah pada kontestasi antara dua pihak, dan ini menjadi masalah dalam menyikapi demografi.
Ketika sebuah negeri sudah siap untuk menyikapi demografi, maka kebangkitan dan kemajuanlah yang jelas akan dialami. Sebaliknya, bonus demografi juga dapat menjungkirbalikkan derajat sebuah negeri ketika tindak lanjut yang diambil tidak tepat. Indonesia, pada titik ini, seperti kata Menteri Pendidikan Menengah baru dalam Kompas 21/10, tengah berjuang meningkatkan aspek dasar pendidikan, literasi dan numerasi.
Bahkan untuk aspek itu kita masih berjuang bersama, bukan sembarang menaikkan skor PISA, namun membuat perpustakaan tempat yang ramai jadi tongkrongan. Jika kondisi demikian masih terjaga kala bonus demografi menerjang, bagaimana Indonesia dapat mengambil langkah? Sama saja skakmat bukan? Literasi menjadi jembatan untuk menyikapi berbagai isu lain yang ada dalam menindaklanjuti bonus demografi.
Menjadi Pengguncang Dunia
Permasalahannya, jika seorang pemuda tidak memiliki literasi yang cukup untuk menilai zaman, bagaimana ia menyikapinya? Hal ini terbukti, Indonesia hanya mampu mencetak skor 19 dari keseluruhannya, 60 dalam berpikir kreatif di tes PISA dalam OECD.org. Dengan bekal semacam ini, masih mampukah para pemuda mengguncang dunia?
Dengan berbagai permasalahan yang ada di Indonesia, pemuda nampaknya belum mampu mengakomodasi masalah dengan kapasitasnya. Keprihatinan ini muncul dari sikap tidak berpendirian dan ikut-ikutan, fenomena FoMO. Dengan pendirian yang tidak teguh, problem solving yang timbul dari penalaran seseorang kian buram dan tak kontekstual. Akibatnya, aksi yang pada akhirnya mereka hasilkan menjadi irelevan.
Akhirnya, yang ditakutkan, para pemuda malah menjadi pengguncang diri sendiri dalam arus bonus demografi. Padahal bonus demografi mampu meningkatkan potensi Indonesia yang sudah sedemikian rupa diupayakan. Bahkan kini, Indonesia telah dipandang lebih serius oleh negara-negara adikuasa, macam Cina dan Amerika Serikat.Â
Pada akhirnya, Indonesia dengan pemudanya, tak boleh berpuas dengan menjadi anggota G20. Akan tetapi, para pemuda perlu memiliki aspek kritis, inovatif, dan kreatif sehingga kita tak berpuas hanya menjadi anggota, namun menjadi rotor penggerak G20. Di masa depan yang jauh, mungkin pula Indonesia menjadi rotor ekonomi Asia, yang mulai dianggap sebagai hemisfer dunia menurut Kishore M. Maka, mari menjadi pemuda yang selayaknya pemuda seperti pesan Ir, Soekarno!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H