Anak yatim merupakan anak yang ditinggal wafat oleh ayahnya. Tidak hanya kehilangan dari segi fisik, namun anak yatim juga kehilangan lima peran ayah dalam hidupnya. Karena dalam hidup ini ada 5 peran penting sosok ayah bagi anak, yaitu: (1) Pencari dan pemberi nafkah, (2) Pelindung, (3) Pendidik, (4) Pemberi contoh atau tauladan, dan (5) Wakil keluarga di masyarakat. Maka dari itu dalam islam, merawat dan menjaga anak yatim merupakan anjuran yang memiliki nilai pahala yang sangat besar.
Pengasuhan anak yatim adalah proses mengasuh, menjaga, dan membimbing yang dilakukan oleh orang dewasa (perorangan), keluarga atau kerabat, masyarakat dan lembaga khusus kepada anak yang rela hidup tanpa adanya figur atau sosok ayah dalam hidupnya. Pengasuh atau yang biasa disebut wali yatim atau wali asuh harus menjamin seluruh kebutuhan anak yatim mulai dari kebutuhan fisik dan psikis sebagai upaya untuk membentuk pribadi yang kamil (sempurna) baik lahir maupun batin. Proses pengasuhan dari wali asuh akan memberi dampak positif bagi perkembangan mental mereka, sebab eksistensi wali asuh akan mengurangi jumlah anak yatim yang terlantar.
Tidak hanya mengurus fisik dan psikis anak yatim, wali asuh juga diberi amanat untuk mengurus dan menjaga harta yatim. Idealnya harta yatim dapat diurus oleh lembaga, sebab pengurusan harta yatim sangat bergantung pada kejujuran. Dalam Al-Qur'an surah An-Nisa' ayat 6, Allah SWT menjelaskan tentang pendidikan anak yatim, hukum memakan harta yatim, dan penyerahan harta yatim. Allah SWT berfirman:
"Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkan) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hedaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas." (Q.S. An-Nisa/4:6)
Dalam ayat ini, Allah SWT melarang wali asuh menyerahkan harta yatim jika anak tersebut belum memenuhi syarat, yaitu: dewasa, matang, cerdas, dan terbimbing. Allah SWT melarang wali asuh untuk menyerahkan harta yatim sebelum anak yatim tersebut baligh atau cukup usia untuk menikah. Selain itu, harta yatim juga dilarang diserahkan jika anak yatim tersebut belum pandai dalam mengelola hartanya sendiri. Allah SWT menggunakan kalimat ujilah yang memiliki arti bahwa wali asuh harus menguji akal pikiran, emosi agama, dan kemampuan mengelola harta dari anak yatim, sebab usia tidak otomatis menunjukan kematangan.
Selain menjelaskan larangan tergera-gesa dalam menyerahkan harta yatim, Surah An-Nisa' ayat 6 ini juga menjelaskan tentang larangan memakan harta anak yatim. Wali asuh dilarang untuk memakan, menggunakan, dan memakai harta yatim bahkan menghabiskannya. Bagi wali asuh yang berkehidupan cukup atau kaya (Ghaniyan), Allah memerintahkan mereka untuk menahan diri dari memakan harta anak yatim itu. Wali asuh tersebut diamanatkan cukup untuk menjadi relawan yang menjaga harta yatim. Sedangkan, bagi wali asuh yang berkehidupan kurang atau miskin (Faqiran), Allah membolehkan mereka untuk memakan, memakai, dan menggunakan harta yatim tersebut namun secara baik, secara patut, dan tidak melampui batasnya (menghabiskannya).
Allah juga menjelaskan didalam surah ini tentang waktu penyerahan harta yatim. Jika anak yatim tersebut sudah memenuhi semua syarat yang dijelaskan di atas, maka wali asuh dapat menyerahkan harta yatim tersebut kepada anak yatim. Pengecualian jika anak tersebut sudah cukup usia namun belum pandai dalam mengelola hartanya sendiri, wali asuh diperintahkan untuk tidak tergesa-gesa menyerahkan hartanya. Dijelaskan dalam surah ini, jika wali asuh ingin menyerahkan kembali harta yatim tersebut, maka hendaklah hadirkan saksi-saksi atau dokumen-dokumen yang bisa dijadikan saksi. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari adanya perselisihan, pengingkaran, dan bantahan bahkan fitnah dari semua pihak di kemudian harinya. Ayat ini juga menjelaskan tentang Allah yang akan selalu menjadi pengawas dari proses penjagaan dan penyerahan harta yatim tersebut. Allah selalu menyaksikan dan mengawasi apa yang dikerjakan oleh manusia dan tidak ada hal yang tersembunyi bagi-Nya di bumi maupun di langit.
Mendapatkan kesempatan untuk menjaga dan merawat anak yatim adalah sebuah keberuntungan bagi seseorang. Orang-orang yang menjaga dan merawat anak yatim tentu akan mendapatkan balasan istimewa dari Allah SWT. Dan sebaliknya, orang-orang yang menelantarkan bahkan merusak kehidupan anak yatim akan mendapatkan balasan yang sangat pedih seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (Q.S. An-Nisa'/4:10)
Jadi, seseorang yang diamanatkan untuk menjaga dan merawat anak yatim dengan segala urusan kehidupannya terutama menjaga harta yatim tentu akan mendapatkan balasan yang sangat mulia bahkan dijanjikan pahala berupa surga dari Allah SWT. Sedangkan, orang-orang yang dengan berani menelantarkan dan tidak merawat anak yatim dengan cara yang benar, akan mendapatkan balasan dan siksaan yang sangat pedih bahkan perbuatan tersebut akan membawa mereka ke neraka.
Dosen Pengampu: Dr. Hamidullah Mahmud, M.A.Â