Bebarapa hari yang lalu ramai diberitakan mengenai adanya rencana dana zakat dan wakaf yang akan dipungut oleh pemerintah sebagaimana layaknya dana pajak. Pada awalnya hal tersebut mungkin terlihat menggembirakan karena pemerintah dapat melihat potensi yang cukup besar dari dana zakat akhir-akhir ini. Di Indonesia ekonomi berbasis Islami serta keuangan syariah memang sudah mulai berkembang beberapa puluh tahun belakangan ini hanya saja mungkin perkembangannya belum seluas sistem konvensional. Dengan sistemnya yang khas mengenai zakat dan wakaf sistem tersebut telah banyak berkontribusi terhadap pertumbuhan maupun pembangunan ekonomi salah satunya pengentasan kemiskinan, meskipun tidak dalam bilangan yang besar seperti anggaran dana pajak saat ini. Dana zakat adalah dana yang didapatkan dari hasil yang dikumpulkan oleh kaum muslimin dalam rangka perintah sekaligus kebaikan sosial bagi setiap orang yang telah mencukupi nisab sebagai seorang muzakki. Â
Zakat adalah poros dan pusat keuangan negara Islam. Didalamnya terdapat nilai pendidikan moral, sosial dan ekonomi. Pada bidang moral zakat mengikis ketamakan dan keserakahan si kaya. Zakat dalam bidang sosial bertindak sebagai alat khas yang diberikan Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan si kaya akan tanggung jawab sosial yang mereka miliki. Zakat dalam bidang ekonomi memiliki tujuan untuk mencegah penumpukan kekayaan yang mengerikan dari tangan segelintir orang dan memungkinkan kekayaan untuk disebarluaskan  sebelum sempat menjadi besar dan sangat berbahaya di tangan para pemiliknya, ia merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk perbendaharaan negara. Dalam sistem pemerintahan Islam dana zakat benar-benar mampu mensejahterakan umat, tidak hanya umat muslim tetapi non muslim juga ikut merasakan kesejahteraan dari terdistribusinya dana zakat pada orde pemerintahan saat itu. Jika sampai saat ini dana zakat di Indonesia masih belum optimal dalam mengcover pembangunan ekonomi, hal ini bisa jadi karena dana zakat masih belum dijadikan instrumen dalam pemerintahan.
Tidak dipungkiri bahwa dana zakat memiliki potensi dengan jumlahnya yang  sangat tinggi jika dapat dikelola dengan baik bahkan ia mampu melebihi dana yang dikumpulkan dari hasil pajak. Dengan kacamata analisis bahwa Indonesia memiliki penduduk muslim mayoritas dari total keseluruhan penduduk yang ada dan terdata dengan berbagai agama, hal ini menjadi catatan pemerintah bahwa jika pemungutan zakat dapat di akomodir oleh pemerintah maka tidak mustahil jumlah yang terkumpul akan sangat besar. Permasalahannya adalah jika dana zakat dipungut layaknya dana pajak, maka apakah keduanya dapat bersinergi dalam mencapai tujuan negara yakni pembangunan ekonomi yang merata, apakah dengan adanya pemungutan tersebut pemerintah mampu menjamin bahwa kesejahteraan lebih mudah dicapai, serta mampukah pemerintah menjamin bahwa tidak akan terjadi penyelewengan dana zakat kepada pihak yang tidak berhak menerimanya. Jika sistem pemungutan dana zakat diterapkan sesuai dana pajak maka  hal ini menunjukkan bahwa akan terjadi regulasi yang hampir sama dengan sistem yang diterapkan pada dana pajak, misalnya denda keterlambatan dan sistem lainnya yang ada pada peraturan pajak.
Bagi pemerintah prioritas utama bukan hanya orang-orang muslim saja meskipun dana zakat tersebut dikumpulkan dari pangku tangan masyarakat muslim, tetapi seluruh warga negara yang terlahir di Indonesia menjadi tujuan pembangunan dan peradaban. kekakhawatiran yang timbul adalah semakin banyaknya peluang korupsi para oknum pemerintahan yang tidak bertanggung jawab dalam mengelola dan menyalurkan dana zakat maupun pajak. Dapat kita lihat bagaimana korupsi besar-besaran dana pajak cukup menyengsarakan rakyat sampai hari ini, banyak diantara mereka tidak dapat menikmati dan mendapatkan pendidikan yang layak, kesehatan, kenyamanan yang seharusnya mereka dapatkan, penyebabnya bukan karena negaranya miskin tetapi karena miskinnya moral orang-orang yang tak bertanggung jawab dalam menditribusikan amanah sampai ke tangan rakyat yang membutuhkan. Miskin moral inilah yang perlu dibenahi dalam jajaran pemerintahan, sebab tidak ada kehancuran yang paling mengerikan selain pemimpin  yang menzhalimi rakyatnya.
Indonesia dikenal dengan negara hukumnya diharapkan mampu mengatasi hal-hal yang berkaitan dengan  keadilan. Tidak seperti mata pisau makin kebawah semakin tajam dan runcing, istilah hukum inilah yang dipikirkan rakyat miskin sampai hari ini hingga mereka hidup dalam ketakutan dan keterkungkungan karena merasa tak ada tempat untuk berlindung. Pemerintah seharusnya mampu menyelesaikan permasalah hukum sesuai dengan tingkat kesalahan tanpa melihat latar belakang kedudukannya. Perilaku manusia memainkan peranan mutlak dalam pembangunan ekonomi. Namun pembentukan perilaku manusia di negara terbelakang moral adalah suatu proses yang menyakitkan. Karena memerlukan penyesuaiaan dengan lembaga-lembaga ekonomi, sosial, hukum dan politik. Tetapi Islam mengakui kebutuhan metafisik maupun material dari kehidupan, karena hal tersebut masalah penempaan perilaku manusia di suatu negara tidak sesulit di negara-negara sekuler.
Dengan adanya sistem zakat yang mengadaptasi sistem pajak maka pemerintah harus memastikan terlebih dahulu langkah-langkah strategis apa yang akan dilakukan terhadap seseorang yang telah membayar zakat dan toleransi apa yang diterima dari pembayaran pajak bahkan Indonesia perlu belajar lewat sistem negara Malaysia yang sudah lebih lama menerapkan sistem tersebut. Kita tahu bahwa antara zakat dan pajak terdapat perbedaan yang sangat pokok mengenai sumber-sumber modern keuangan negara, bagaiamana zakat dapat dihubungkan dalam empat norma perpajakan menurut Adam Smith yakni persamaan, kepastian, kemudahan dan ekonomi.
Norma persamaan artinya setiap warga negara sedapat mungkin harus menyumbang dan menyokong pemerintah, berbanding lurus dengan pedapatan yang mereka peroleh, setiap orang harus menyumbang sesuai kemampuannya. Menurut norma kepastian pajak yang dibayar seseorang adalah pasti dan tidak dapat ditetapkan sewenang-wenang. Waktu pembayaran, jumlah yang akan dibayar, harus jelas dan nyata bagi siwajib pajak. Seperti setiap pajak lainnya, prinsip penaksiran biasa akan memungkinkan negara memastikan jumlah penghasilan yang diperoleh dari zakat. Selanjutnya norma kemudahan dimana pajak harus direncanakan sedemikian rupa sehingga hanya mengambil dan menyingkirkan dari kantor rakyat sesedikit mungkin, dilakukan dengan sukarela. Â Sementara tambahan bagi zakat ada dua norma lagi yakni keproduktivitasan serta norma elastisitas. Zakat terkenal sangat konsisten dengan norma produktifitas karena dikenakannya pada uang yang menganggur dalam bentuk zakat dengan sendirinya menyalurkan pajak pada bidang produksi, sehingga pada akhirnya menambah kekayaan nasional suatu negara. Zakat sebagai suatu sistem perpajakan tidak hanya memenuhi sebagian besar prinsip perpajakan, tetapi memiliki keuntungan tertentu dibandingkan dengan pajak modern. Dipandang secara empirik, pendapatan pajak tidak selalu dibelanjakan untuk tujuan produksi. Disamping itu zakat tidak terasa seperti pajak penghasilan, karena pembayaran zakat merupakan perintah Ilahi yang akan dibayarkan orang dengan sukarela, sehingga muslim yang taat tidak akan menunggu sistem yang harus berubah dan resmi terlebih dahulu seperti sistem pajak baru akan menjalankan kewajibannya.
Opini oleh : Tiara Rachmawati
Mahasiswa Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H