Mohon tunggu...
Tiara Purnamasari
Tiara Purnamasari Mohon Tunggu... -

an inspiring writer be..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hanya Perlu Menyadari

2 Oktober 2013   13:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:06 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ruang tamu, aku duduk sendiri. Mondar-mandir ga jelas. Aku sedang memikirkan sesuatu. “Apa yang harus aku lakukan. Aku harus segera mengambil tindakan sebelum batas waktunya tiba.” Gumamku.

Aku lalu mengambil HP. Aku ketik sms. “Re, besok sore kita ketemu di taman yah?” sms itu kukirim pada Rea.

Beberapa lama, ada balasan. “Ada apa Yo?”

“Ga, pokoknya besok kita ketemu yah?!”

“iya deh, aku pasti dateng.”

* * *

Hujan sangat deras hari ini, padahal nanti sore aku ada janji untuk bertemu dengan Rea di taman. “Bagaimana kalau sampai nanti sore hujan belum juga reda? Ahh, tapi biarlah! Meskipun hujan, tapi aku tetap harus bertemu dengan Rea sore ini juga. Aku harus mengatakannya hari ini juga.”

Rea adalah pacarku, entah pacar yang keberapa. Yah, karena mungkin itu saking seringnya aku bergonta-ganti pacar. Batas waktuku pacaran dengan satu wanita adalah paling lama tiga bulan. Tapi, sampai saat ini aku belum pernah pacaran dengan seorang wanita sampai selama itu. Belum juga satu bulan, sudah bubaran. Aku tak pernah tahan berlama-lama pacaran dengan wanita-wanita itu. Mereka semua itu hampir sama. Banyak maunya, minta antar jemput lah, nuntut ini itu lah, bikin ribet. Meskipun aku selalu menghargai dan berbuat baik pada mereka, tapi tetap saja aku tidak bisa kalau harus pacaran lama dengan wanita-wanita merepotkan itu.

Aku tidak pernah benar-benar mencintai mereka. Deklarasi cinta yang aku ucapkan waktu nembak mereka, itu hanya berdasar atas rasa suka dan ketertarikan luar diri mereka saja. Tak pernah lebih, karena tak pernah juga ada sesuatu dari mereka yang membuat aku bisa bertahan di samping mereka. Aku lebih senang bermain-main untuk itu. Cinta seperti itu hanya sebuah kebohongan. Sama halnya dengan hubungan sesaatku dengan mereka, itu hanya sebagai pelepas rasa penatku saja.

Sampai hari ini, hampir tiga bulan aku pacaran dengan Rea, tepatnya satu minggu lagi genap tiga bulan. “Bisa juga aku pacaran selama ini?!” pikirku dalam hati.

“woi, ngelamun aja Yo? Kenapa lo?” tiba-tiba Tomi mengagetkan aku.

“elo Tom. Ngagetin gue aja..!”

“abiz elo ngelamun aja gue liatin. Emang ngelamunin apa sih? Si Rea yah?” Tomi menyelidik.

“sotoy lo..!”

“lah, kalau bukan si Rea, lo ngelamunin apaan donk. Yah udah pasti mikirin dia lah...” dia makin sok tau.

“lah, terserah lo deh. Gue mau mandi dulu.” Ujarku sambil melemparkan bantal kursi ke mukanya Tomi.

“jangan terlalu keras sama hati lo Yo! Belajarlah menyadari sesuatu yang belum pernah lo dapetin sebelumnya.” Tiba-tiba Tomi berceloteh. Aku hanya menoleh, lalu berbalik kembali menuju kamar mandi.

“Apa maksudnya si Tomi ngomong kayak gitu. Sok bijak?!” gumamku dalam hati.

Tapi, aku jadi teringat kembali pada Rea. Aku suka sekali dengan sikapnya. Dia tegas, sederhana, ramah, pengertian, dewasa dan kadang manja. Dia wanita yang berbeda dengan pacar-pacarku yang sebelumnya. Bagiku, dia sama sekali tidak merepotkan. Dia tak pernah membiarkan aku menunggu, tak pernah membiarkan aku merasa tidak nyaman. Dia menjadi pacar yang baik untukku, padahal sebelumnya dia belum pernah berpacaran. Aku ini pacar pertamanya. Dan tanpa disadari, akupun menjadi pacar yang baik untuknya.

Tapi, meskipun menyenangkan pacaran dengan Rea, aku tetap tak bisa melebihi batas waktu pacaranku. Aku tidak bisa menjadikan dia sebagai pelepas penatku saja. Aku harus menyudahi main-mainku dengannya hari ini. Aku tidak bisa kalau harus menunggu satu minggu lagi. Hari ini, aku harus memutuskan dia. Aku harus segera mengakhiri kebohonganku ini. Walaupun, sebenarnya aku tak yakin akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari saat bersamanya.

* * *

Sudah satu jam aku menunggunya di taman ini, hujan tak juga reda. Mungkin dia tak akan datang. Tapi aku akan tetap menunggunya, aku harus segera bicara padanya.

“Rio.. kenapa kau nekat menungguku disini? Kenapa tidak kau batalkan saja janjimu itu? Nanti juga kita bisa janjian lagi disini.” Aku dengar suara Rea memarahiku. Ternyata memang dia sudah ada dibelakangku.

“Aku tidak bisa, aku harus bertemu kau hari ini juga.” Jawabku sambil berdiri mendekatinya.

“Kau memang keras kepala. Selalu bertindak semaumu.” Rea terlihat menggerutu.

“Re, hari ini aku mau kita putus.” Seperti bom waktu yang ditunggu untuk meledak, akhirnya kata-kata itu terucap juga dari bibirku. Meskipun aku harus terbata-bata, karena sulit sekali rasanya kata-kata itu untuk aku keluarkan dari bibirku, tertahan di tenggorokan, hingga terasa sesak di dadaku. Baru kali ini aku merasakan sulitnya mengucapkan kata-kata putus pada seorang wanita.

“Aku sudah tahu pasti hal ini akan terjadi juga padaku, tapi aku tidak menduga hari inilah waktunya kau kembalikan lagi hatiku yang selama ini kau pinjam.” Aku tak kuasa melihat Rea saat ini. Dia hanya berdiri lemah, suaranya agak parau. Meski hujan begitu deras, tapi aku bisa melihat bahwa dia meneteskan air mata. Aku telah menyakitinya. Selama ini, aku selalu menahan air matanya agar tidak menetes saat ia sedang bersedih, tapi hari ini aku yang telah menjatuhkan air mata itu.

“Re, aku minta maaf. Aku tidak ingin menyakitimu.” Tenangku padanya.

“Terlambat, aku sudah sakit. Dan kau tak perlu minta maaf, karena kau tak bersalah.” Jawabnya tegas.

“Tapi sebelum kita pacaran kau sudah tahu bagaimana aku kan?” tanyaku lemah.

“Justru itu, aku terlalu naif dengan membiarkan kau berbuat kejam padaku. Kau tahu, hal paling kejam yang dilakukan seseorang ialah membuat orang lain jatuh cinta sementara kau tak berniat menerimanya langsung saat ia terjatuh. Dan itu yang kau lakukan padaku.” Aku tidak mengerti yang ia katakan.

“Maksudmu?” tanyaku minta penjelasan.

“Selama ini kau selalu membuat aku merasa seperti sebuah bunga yang amat kau cintai, tapi kau hanya menganggapku tak lebih dari sebuah boneka. Kau ulurkan tanganmua saat aku terjatuh, tapi ternyata kau hanya berniat melukaiku. Kau berikan senyummu saat aku bersedih, tapi itu hanya untuk membuatku lebih sakit. Kau selalu menggenggam erat tanganku, tapi hari ini kau akan melepasnya lagi setelah aku menggenggammu.” Aku hanya diam mendengar perkataannya itu. Memang benar yang dia katakan itu, tapi aku sama sekali tak berniat menyakitinya. Saat di dekatnya, itulah yang ingin aku lakukan padanya. Aku tidak tahu akan jadi begini. Sebenarnya, ada apa denganku ini?

“Re, aku tidak berniat seperti itu. Sungguh, aku tidak tahu kalau itu akan membuatmu jatuh cinta padaku.” Jelasku padanya.

“Sudahlah, aku memang bodoh membiarkan kau mengambil alih hatiku. Dan karena aku telah jatuh cinta padamu, maka aku akan melepaskanmu saat ini juga. Aku harap kau tahu bahwa aku ingin melihatmu bahagia.” Ucapnya dengan senyuman dan tangisan yang bersamaan.

* * *

Setelah beberapa lama kami hanya berdiam diri di tengah derasnya hujan, akhirnya dia berbalik dan melangkahkan kakinya untuk keluar dari permainan cintaku. Tapi, rasanya nuraniku tak bisa terima kalau dia akan pergi, hatiku sakit sekali jika dia melangkahkan kakinya semakin jauh dariku. Aku benar-benar tak ingin dia melepaskanku begitu saja. Aku sama sekali tak rela.

“Jika seseorang menyadari sesuatu tapi terlambat bagaimana? Jika aku hanya bahagia saat bersamamu bagaimana?” spontan aku mengucapkan kata-kata itu.

“Maksudmu?” tanyanya sambil membalikan badan.

“Jika aku memintamu untuk tetap disampingku bagaimana?” aku tidak bisa menahan perkataan itu keluar dari bibirku.

Dia mendekat dan dengan senyuman serta kata-kata yang tegas mengatakan, “Akan aku pikirkan.” Aku lalu memeluknya dengan erat. Hampir saja aku akan kehilangan mentari pagiku ini.

“kau sudah jatuh cinta Rio...” ujarnya lembut.

Aku tersenyum. Akhirnya, di tengah hujan yang deras ini, aku menyadari satu hal, aku sama sekali tak bisa untuk kehilangan Rea. Aku benar-benar tak rela lepas darinya. Dan aku menyadari, bahwa tanpa disadari aku telah jatuh cinta padanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun