Museum merupakan salah satu cara untuk mempertahankan suatu budaya. Di Jakarta ada beberapa Museum yang dinaungi oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta antara lain, Museum Sejarah Jakarta, Museum Joang'45, Museum M.H. Tamrin dan Taman Prasasti.
Museum-Museum yang dikelola UP (Unit Pengelola) Museum Kesejarahan Jakarta ini memiliki sejarah yang cukup panjang.
Berikut sejarah dari bangunan Museum-museum tersebut:
Staadhuis (balai kota) diawali pembangunanya tahun 1620, sejak J.P Coen menjadi Gubernur Jenderal VOC., lalu ia menjadikan Staadhuis ini sebagai pusat pemerintahannya. Lantai atas/ lantai duanya dipergunakan sebagai kantor Dewan Pengadilan Hindia Belanda. Gedung ini dibuat seperti Istana Dam di Amstredam. Pada masa Hindia Belanda gedung ini digunakan sebagai kantor, ruang sidang, dan ruang-ruang bawah tanah yang difungsikan sebagai penjara. Staadhuis mulai diperluas tahun 1707 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johan van Hoorn dan oleh Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck gedung ini diresmikan pada 10 Juli 1710. Pada masa pemerintahan Jepang, gedung ini digunakan untuk kantor pengumpulan logistik Jepang. Gedung ini juga pernah dipakai sebagai Kodim 0503 Jakarta Barat pada tahun 1952-1968. Lalu bekas gedung balaikota ini diresmikan sebagai Musuem Fatahillah pada 30 Maret 1974.
Museum Fatahillah, begitulah yang biasa orang kenal, memiliki koleksi yang berasal dari warisan Museum Djakarta Lama, yang sekarang menjadi Museum Wayang, sekitar lebih dari 23.000 koleksi. Salah satu koleksi unggulan Museum Sejarah Jakarta adalah lukisan S. Sudjojono yang berjudul Pertempuran Sultan Agung Melawan Jan Pieterzoo Coen yang berukuran panjang 290,5 cm dan lebar 964,5 cm. lukisan tersebut telah dikonservasi, dengan bantuan konservator ahli dari Heritage Conservation Centre (HCC) Singapura, Mr. Lawrence Chin dan Mr. Anthony Lau, serta dukungan kedutaan besar Belanda di Jakarta. Yang membuat bangunan ini tekenal adalah penjara bawah tanahnya. Tokoh-tokoh yang pernah dipenjarakan di sini antara lain Untung Surapati dan Pieter Zieberveldt atas tuduhan pemeberontakan, sebelum akhirnya dibuang ke Manado.
- Gedung Joang' 45
 Beralamatkan di Jalan Menteng Raya, No. 31, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Awalnya gedung ini adalah Hotel Schomper milik seorang perempuan berkewarganegaraan Belanda. Hotel Schomper saat itu termasuk hotel yang cukup megah dan terkenal untuk sebuah bangunan yang terletak di pinggiran Selatan Batavia.
Pada masa pemerintahan Jepang, hotel ini dijadikan Pusat Pendidikan Politik oleh para pemuda Indonesia. Para pengajarnya dipilih beberapa tokoh besar Indonesia seperti Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, Ki Hajar Dewantara dan lain sebagainya. Lalu pada tahun 1974, gedung ini diresmikan sebagai Museum oleh Presiden Soeharto.
Jejak perjuangan kemerdekaan RI bisa kita lihat di Museum ini melalui koleksi benda peninggalan para pejuang Indonesia benda-benda peninggalan tersebut antara lain kursi dan meja yang dipakai Drs. Muhammad Hatta saat sedang menulis karya atau membaca buku
- Gedung Muhammad Hoesni Thamrin
Gedung Muhammad Husni Thamrin merupakan salah satu museum sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Museum ini berlokasi di Jalan Kenari 2, nomor 15, Jakarta Pusat. Awalnya, gedung MH Thamrin merupakan gedung multifungsi. Gedung ini biasa dipakai untuk berbagai pertemuan dan berbagai macam pergerakan rakyat Indonesia dalam memperjuangan kemerdekaan.
Museum ini memarekan koleksi benda-benda pribadi milik MH Thamrin, seperti dokumen berisi pemikiran-pemikirannya, replika sepeda yang dipakainya selama hidup, blangkon serta benda-benda bersejarah lainnya yang dipakai beliau semasa hidupnya.
- Museum Taman Prasasti
Museum yang terletak di Jalan Tanah Abang No. 1, Jakarta Pusat, atau dikenal juga dengan sebutan kawasan Kebon Jahe ini telah ditetapkan sebagai situs bersejarah peninggalan masa kolonial Belanda.
Taman ini awalnya adalah sebuah lahan dengan luas sekitar 5 ha digunakan sebagai pemakaman orang Belanda dan Eropa. Sekarang yang tertinggal di bekas lahan pemakaman ini hanyalah prasasti atau Nissan orang-orang Belanda dan Eropa yang cukup berpengaruh di zaman Hindia Belanda dulu, seperti HF. Roll yang mempunyai pengaruh terhadap sejarah perkembangan pendidikan Ilmu Kedokteran di Indonesia. Ia adalah penggagas berdirinya sekolah Stovia, dan lain sebagainya. Serta terdapat pula satu- satunya nisan milik warga Indonesia yang pernah dimakaman di taman prasasti ini yaitu nisan milik Soe Hok Gie seorang Humanis Radikal. Ia pernah menjabat sebagai ketua senat Mahasiswa Fakltas Sastra Universitas Indonesia serta merupakan salah satu pendiri MAPALA UI.
Nah, itulah sejarah singkat dari keempat Museum yang ada di Jakarta. Dengan belajar sejarah kita bisa lebih menghargai perjuangan para tokoh pejuang bangsa serta kita bisa mengetahui identitas bangsa kita sendiri, karna "Tanpa ingatan tidak ada budaya, tanpa ingatan tidak akan ada peradaban, tidak ada masyarakat, tidak ada masa depan." (Elie wiesel)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H