"Jadi pulangnya kapan?"
Aku masih ingat, pertanyaan ini selalu muncul di Libur Akhir Tahun. Menjadi anak rantau itu sulit. Apalagi setiap akhir tahun harus pulang ke kampung halaman. Aku kuliah di Jakarta sedangkan keluarga ku berada di Solo. Aku harus menghabiskan dua belas jam lamanya berada di dalam kereta ekonomi. Berbagi tempat dan ruang bersama orang lain, berdesak desakan dengan tas dan barang bawaan mereka. Pada masa itu tidak semua orang mendapatkan tempat duduk, ada yang duduk di bawah beralaskan koran, tidur di kolong tempat duduk atau bahkan memilih berdiri selama dua belas jam
Yang aku suka dengan suasana seperti ini adalah aku menjadi tahu sisi lain dari kehidupan yang belum aku ketahui, semua orang memiliki karakternya masing masing dan menjadi dirinya masing masing. Ada si bapak bapak berpakaian rapih yang tidak bisa lepas dari handphone nya, ada juga ibu ibu yang memilih duduk di pinggiran kursi agar anak kecil yang dibawanya bisa tidur nyenyak, ada juga pasangan muda yang menikmati perjalanannya dengan bercanda canda dan masih banyak lagi orang yang menghabiskan dua belas jam perjalanan ini dengan melakukan hal yang berbeda.
Aku memilih naik bis bersama saudara saudara ku ke Wonogiri, sedangkan orang tua ku sudah duluan mengendari mobil pribadi dengan adik sepupuku yang masih kecil kecil. Satu jam ku habiskan di dalam bis. Dari sinilah perjalanan ku mengeksplore desa Karang Duwet dimulai, untuk mencapai rumah aku harus jalan kaki ke pedalaman selama tiga puluh menit. Jalan setapak yang kulalui, hanya cukup untuk dilewati satu mobil atau dua motor. Di samping kanan dan kiri ku masih ditumbuhi pohon jati yang sangat tinggi, jalananya juga masih sepi dan jarak antara rumah satu dengan rumah yang lainnya masih sangat jauh.
Keadaan rumah disini juga seperti rumah jaman dulu, belum memakai tembok tapi masih memakai kayu sebagai pengganti tembok. Bawahnya pun belum memakai lantai, masih memakai tanah yang dilapisi terpal sebagai alas dan tempat tidur. Cara mereka memasak juga belum menggunakan kompor, masih menggunakan kayu bakar dan batu bata di sampingnya.
Ketika malam hari tiba, angin kencang terus melanda bahkan terkadang cendela pun tebuka karna tiupan angin. Setiap malam hari air yang dialiri dari gunung selalu berhenti, aku masih belum paham itu karna apa, jadi sebelum menjelang sore bak mandi harus sudah terisi penuh. Kalau tidak, kita harus berjalan masuk menuju hutan ke tempat kamar mandi umum. Air nya sangat banyak dan bak nya juga sangat besar, tapi gelap gulita membuat aku menjadi merinding serta masih banyak babi hutan yang berkeliaran. Yang selalu membuat ku tenang dan takjub adalah bintang dilangit terasa sangat dekat, tidak seperti ketika aku tinggal di kota metropolitan itu, bintang hanya terlihat satu atau dua buah saja. Tapi disini tidak, setiap malam, langit selalu ditaburi oleh banyaknya bintang bintang ditambah lagi ketika om ku menyalakan api unggun dengan makanan camilan serta teh hangat sebagai temannya.
ketika pagi hari tiba, kita bisa melakukan jalan jalan pagi keatas. kenapa disebut "keatas" karna di desa ini jalannya menanjak dan di atas itu ada sebuah sungai yang airnya benar benar jernih, air disini sangat dingin mungkin karna dari pegunungan tapi walaupun dingin airnya tetap menyegarkan. kalau kita mau berjalan kaki ke atas lebih jauh, disana ada gua dan ada banyak sekali pohon pinus yang tentunya sangat bagus untuk background foto yang instagramable bangeeet.