Banyaknyaperbedaan putusan hukuman di Indonesia yang berbeda-beda, dalam jenis perkarayang sama menjadi keresahan bagi pemerhati hukum. Tidak terlepas darimasyarakat yang merasa adanya ketidakadilan. Akibat hukuman yang kadang-kadang terlalurendah, jikalau dibandingkan dengan hasil Korupsinya.Â
Hal itu pernah di telitipada laporan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), yang membuktikan ada  600-an kasus korupsi, yang memunculkan perbedaan hukuman dalam jenis kasus yang sama.
Masalahadanya disparitas (Perbedaan) hukuman pada jenis perkara yang sama. sudah adasejak lama. Andi Samsan Nganro selaku Juru bicara Mahkamah agung, pernahmengatakan tentang adanya putusan hakim yang berbeda-beda kepada koruptor padasetiap daerah.Â
Padahal kerugian negara terbilang sama, tetapi hukumannya malahjomplang. Oleh sebab itu keluarlah Perma Nomor 1 tahun 2020. Sebagai pedomanatau petunjuk bagi hakim, untuk bisa memberikan keadilan dan kepastian hukumpada kasus-kasus korupsi.
PeraturanMahkamah Agung (Perma) Nomor 1 tahun 2020, tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Menjadi harapan baru adanyakeadilan dan kepastian hukum bagi penggiat anti korupsi dan masyarakat. Terlihatdalam Perma ini ada kategori khusus, yang mengatur hukuman penjara berdasarkankerugian negara yang di buat oleh koruptor.
Adanyakategorisasi disusun ke dalam beberapa tingkatan. Mulai dari Kategori palingberat dengan kerugian negara lebih dari Rp 100 miliar, Kategori berat: kerugiannegara Rp 25 miliar-Rp 100 miliar, Kategori sedang: kerugian negara Rp 1miliar-Rp 25 miliar. Kategori ringan: kerugian negara Rp 200 juta-Rp 1 miliar,Kategori paling ringan: kurang dari Rp 200 juta. Hukumannya juga bervariasidari 1 tahun sampai hukuman mati. Yang semua disesuaikan dengan kerugian negarabeserta dampak yang ditimbulkan.
Pembagiankategori-kategori ini yang dianggap bisa menjadi landasan masyarakat untukmenilai putusan hakim dalam menghukum koruptor. Pada kasus-kasus korupsi yangberkaitan dengan pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi(Tipikor). Sehingga bisa mengawal dan menilai putusan hakim secara langsung.
Dimana sebelumnya tidak diaturnya secara pasti, hukuman berdasarkan kerugiannegara dalam pasal 2 dan 3 Undang-Unang Tipikor. Seperti pasal 3 yang menghukumpaling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun. Akibatnya terjadi jarak yangjauh antara hukuman minimal dan maksimal. Pada akhirnya hakim dalam menghukum koruptorberbeda-beda panjang hukumannya, tanpa adanya pedoman dalam memutus perkarasebelumnya.
Jadiwajar, jika kehadiran Perma ini menjadi kabar gembira bagi masyarakat maupun penggiatanti korupsi.  Yang selama ini resah,karena terdapat disparitas putusan hakim dalam perkara yang mempunyai kesamaankarakter, tetapi hukumannya berbeda-beda. Boleh dikatakan Perma ini merupakanlangkah maju dari Mahkamah Agung dalam memunculkan kepastian hukum dalam kasus-kasusTindak Pidana Korupsi.
Denganadanya perma ini diharapkan penjatuhan hukuman dapat proporsional. Yaituputusan hukuman yang sesuai dengan tingkat kerugian negara, dampaknya sertakeseriusan kejahatan yang dilakukan oleh koruptor. Proporsionalitas juga termuatdalam perma tersebut dengan mensyaratkan skala nilai, untuk menimbang danmenilai berat ringannya hukuman. Dikaitkan  dengan kejahatannya sesuai  kategori kerugian negara. Sehingga memilikiefek jera terhadap para koruptor dan efek pencegahan karena adanya kategorisasihukuman.
Denganadanya kategorisasi hukuman berdasarkan kerugian, serta dampak dari perbuatanKoruptor. Kedepannya semoga Mahkamah Agung dapat mengeluarkan gebrakan-gebrakanPerma lain yang memihak kepada keadilan. Agar masyarakat luas bisa semakin percayabahwa hukum itu dibuat untuk adanya keadilan dan kepastian hukum.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H