Mohon tunggu...
tiara lathifah
tiara lathifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Airlangga

Hobi saya adalah membantu orang lain dan juga mengedukasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan bagi Perempuan: Masa Lalu dan Masa Kini

2 Juni 2022   18:19 Diperbarui: 2 Juni 2022   18:23 1698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan adalah kegiatan yang berlangsung di berbagai tempat dan dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, cara menghargai, proses bertumbuh, sikap peduli, serta berperilaku pada diri seseorang. Pendidikan merupakan suatu komponen penting dalam kehidupan tiap-tiap insan manusia. Di Indonesia sendiri, wajib bagi seluruh rakyatnya untuk setidaknya dapat mengenyam pendidikan selama 12 tahun. Lalu, apa sih alasan dibalik pentingnya pendidikan ini? Ketika seseorang memperoleh pendidikan, secara tidak langsung, hal ini turut membentuk pola pikir mereka. Pendidikan dapat membantu seseorang membedakan mana yang benar dan mana yang salah, membantu untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, dan masih banyak lagi.

Namun, mengenyam pendidikan sesungguhnya bertujuan agar seseorang dapat memiliki hidup yang lebih baik, bukan? Pendidikan yang berkualitas dapat membentuk seseorang menjadi pribadi yang berkualitas pula, dan dapat memperoleh kualifikasi pekerjaan yang kiranya dapat menjadi pekerjaan yang stabil, demi menyokong kehidupannya. Seseorang dengan pendidikan tinggi berkemungkinan cukup besar untuk dapat mendukung perekonomian keluarganya, khususnya laki-laki, sebagai kepala keluarga. Laki-laki nampaknya selalu dituntut untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin demi keberlangsungan keluarganya. Namun, pada perempuan? Pendidikan tinggi hanyalah sebuah opsi yang bahkan cenderung dipandang negatif. "Perempuan nggak usah sekolah tinggi-tinggi, lah. Toh, ujungnya di dapur juga," begitu kira-kira perkataan yang seringkali para perempuan dapatkan sebagai respon ketika mereka memutuskan untuk lanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Mengapa pendidikan pada perempuan seringkali dipandang negatif? Mengapa ketika laki-laki ada di posisi yang sama, strata sosial justru memberikan dukungan penuh? Ternyata hal yang melatarbelakangi fenomena ini adalah faktor ekonomi masyarakat dan sejarah kelam budaya patriarki di Indonesia. Ketika perekonomian Indonesia masih belum bertumbuh, pendidikan bagi perempuan hanyalah sebuah angan-angan. Jika suatu keluarga memiliki dana untuk pendidikan, anak laki-laki tentu saja akan menjadi prioritas utama mereka. Laki-laki tulang punggung keluarga, jadi mereka harus berpendidikan dan punya pekerjaan. Lalu, bagaimana nasib anak-anak perempuan? Mereka akan cenderung 'diserahkan' kepada keluarga lain melalui jalur pernikahan, untuk mengurangi beban keluarga, kata orang-orang jaman dulu. Apakah tindakan ini menyelesaikan masalah perekonomian? Tidak. Pernikahan dini justru dapat menimbulkan masalah-masalah baru bagi kedua belah keluarga. Hal ini berlangsung cukup lama, sampai muncul tokoh-tokoh baru pemegang kunci perubahan atas pendidikan perempuan di Indonesia, seperti yang paling kita kenal, Raden Ajeng Kartini.

Awal Mula Ideologi tentang Pendidikan Perempuan di Indonesia

Pada akhir abad ke-19, kehidupan perempuan Indonesia masih sangat terikat dengan adat istiadat. Di masa itu, perempuan tidak berhak mendapatkan pendidikan, terkecuali bagi mereka yang berasal dari keluarga bangsawan. Perempuan yang bukan dari keluarga bangsawan hanya mendapat pendidikan di rumah, dan yang diajarkan tidak jauh dari 'bagaimana menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik'. Untuk perempuan bangsawan pun, pendidikan hanya dibatasi sampai usia 12 tahun. Setelahnya, mereka harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya mereka dinikahkan. Selama masa pingitan, para perempuan tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan ataupun berlatih keterampilan. Hal ini menyebabkan para perempuan menjadi bergantung pada suami mereka.

Ialah Raden Ajeng Kartini, seorang perempuan muda berdarah biru, yang turut merasakan pedihnya warisan turun temurun berlandaskan kebudayaan ini. Berbekal kemampuan berbahasa belandanya, Kartini menulis surat-surat untuk sahabat karibnya di Belanda sana. Ia kerap kali menyampaikan keresahannya terhadap sistem kehidupan yang tak pernah memihak perempuan. Kumpulan surat-surat ini, oleh sang kawan diterbitkan menjadi buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang pada tahun 1911. Sebagai langkah awal, Kartini mendirikan kelas khusus bagi para perempuan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan dasar di rumahnya, atas izin sang suami. Gebrakan baru Kartini inilah yang memotivasi para tokoh perempuan lain untuk melakukan hal yang sama. Ada nama Raden Dewi Sartika, yang mendirikan Sekolah Istri di Jawa Barat pada tahun 1904 dan Maria Walanda Maramis yang mendirikan sekolah Percintaan Ibu Terhadap Anak Temurunnya (PIKAT) pada tahun 1917.

Selain kemunculan sekolah-sekolah, terdapat juga pembentukan organisasi perempuan seperti Poetri Mardika, Pawijitan Wanita, Aisiyah, dan organisasi lainnya yang bertujuan sama, yakni membentuk tali persaudaraan demi memajukan harkat martabat perempuan, memberi kesempatan lebih banyak bagi perempuan memperoleh pendidikan, dan mendorong penghapusan ketidakadilan bagi perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Pergerakan perempuan terus berlanjut, bahkan pada tahun 1928 dilaksanakan Kongres Perempuan pertama di Yogyakarta yang memperjuangkan isu-isu kesetaraan, seperti pelibatan perempuan dalam pembangunan bangsa, pemberantasan buta huruf dan kesetaraan dalam hak memperoleh pendidikan, hak-hak perempuan dalam perkawinan, pelarangan perkawinan anak, dan upaya menghancurkan ketimpangan dalam kesejahteraan sosial melalui perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita.

Pendidikan Perempuan di Masa Kini

Setelah melalui berbagai macam tantang di masa terdahulu, pendidikan bagi perempuan di Indonesia sudah cukup membaik. Ya, jika dibandingkan dengan masa-masa kelam pra kemerdekaan, tentu saja pendidikan bagi perempuan dapat dikatakan semakin membaik. Namun, siapa sangka bahwa kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam hal pendidikan masih begitu-begitu saja? Berdasarkan data BPS pada tahun 2015 bahwa pada kelompok usia 20-44 tahun, laki-laki buta huruf sebesar 4 dari 100 orang, sedangkan perempuan sebesar 9 dari 100 orang. Menurut World Education Report (1995), banyak anak perempuan yang meninggalkan sekolah di tingkat dasar pertama pada usia 11 tahun, dikarenakan kesulitan ekonomi yang memaksa mereka putus sekolah.

Tak beda jauh dengan masa lalu, pendidikan perempuan masih cukup sulit, khususnya di daerah-daerah terpencil. Perbedaan status sosial ekonomi dan faktor geografis sangat berperan penting terhadap kemungkinan para perempuan untuk melanjutkan pendidikannya, atau bahkan hanya sebatas menyelesaikan pendidikannya saat itu. Banyak pula perempuan masa kini yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena harus menikah. Meskipun saat ini tren menikah dini di Indonesia sudah menurun, angka tersebut masih cukup tinggi.

Apa Perbedaan Signifikan Pendidikan Perempuan di Masa Lalu dan Kini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun