Panas terik membakar telapak kakiku di siang bolong ini, hal ini mengingatkanku tentang seorang anak yang mengajarkanku bagaimana cara untuk bertahan hidup di dunia yang tak kenal rasa belas kasihan ini. Anak yang mengajarkanku bagaimana cara untuk menikmati hidup yang penuh dengan penderitaan ini.
Anak itu adalah anak yang sangat memotivasi hidupku hingga aku dapat menjalani hidupku sampai sekarang. Anak itu bernama Raisa Humaira, gadis berwajah cantik, berambut panjang yang memiliki tubuh mungil. Gadis yang menyusuri jalan setapak sambil memegang nampan yang berisi beberapa gorengan. Gadis yang menyusuri jalan setapak tanpa alas kaki walaupun terik matahari membakar tubuh mungilnya.
Saat pertama kali aku melihatnya, ia sedang menyusuri jalan dari gang ke gang sambil memegang nampan yang ada di kepalanya, terlihat dari jauh isi nampan itu masih banyak, seakan-akan belum ada yang membelinya. Walaupun gorengannya belum laku tapi ia terus berusaha dan berkata ,“ goreng,,,goreng,,” suaranya terdengar sedikit tertahan karena ada beberapa benjolan yang cukup menjijikan di bagian kiri wajahnya.
Saat aku melihatnya kali itu, entah kenapa aku sangat ingin mengenal anak ini lebih dekat. Jadi aku berinisiatif untuk mengikuti ia sampai dia pulang ke rumahnya, lagipula aku lagi tidak ada kerjaan. Aku mengikutinya sampai matahari mulai beranjak ke ufuk barat,aku mengikutinya dari gang ke gang, tapi aku belum melihat seorangpun yang membeli gorengannya. Saat ia memasuki gang berikutnya ada beberapa pekerja buruh bangunan yang memanggil anak itu, dan berkata , “ dek, bakwannya 5, tahu goreng 2, ee,,tempenya 3”. Tampak di wajahnya secuil harapan, matanya berbinar senang saat lembaran-lembaran rupiah menghampiri dompetnya yang lusuh.
Mataharipun terbenam dari ufuk timur ke ufuk barat, sehingga bulanpun mulai menunjukkan pesona indahnya di kegelapan malam, senja datang dengan keindahannya dan disertai dengan kedatangan azan yang saling bersahutan di setiap mesjid. Anak itupun mulai melangkahkan kakinya untuk pulang ke rumah. Aku terus mengikutinya detik demi detik berlalu dan akhirnya ku lihat langkah kaki anak itu berhenti di sebuah gubuk kecil dengan beberapa karung berisi botol yang terletak di depan gubuknya.
Ia masuk ke rumah dan seorang anak kecil berambut pendek menyambutnya pulang. Lalu ibunyapun menyusul dan langsung mengambil nampan yang berisi beberapa gorengan itu dari atas kepalanya. Kudengar ibunya berkata,” Apakah kau baik-baik saja? Kau masuklah dulu!.” Lau dia masuk bersama ibu dan seorang anak kecil yang sedang memegang tangannya ke dalam gubuk.
Hatikupun mulai tergoyah melihat kehidupan anak itu, akupun berniat di dalam hatiku akan membantunya agar dapat hidup lebih baik lagi kedepannya. Saat aku membalikkan badanku dan mulai mengayunkan kakiku untuk melangkah pulang, terdengar jeritan seorang ibu yang histeris, “Raisa,,,,” . akupun mulai melangkahkan balik kakiku menuju gubuk tua itu.
Saat aku membuka pintu, aku melihat satu keluarga yang duduk di atas tanah tampa alas dengan kecemasan yang sangat mencekam. Lalu ada laki-laki paruh baya berkata kepadaku ,” Tolong kami.” Katanya gemetar sambil mengangkat kepala anak perempuan yang bernama Raisa itu di pangkuannya. Tak habis pikir aku langsung membawanya ke rumah sakit.
Sampai di sana Raisa langsung di bawa ke UGD. Setelah beberapa menit berlalu dokter keluar dari ruangan dan berkata, Raisa tumor di wajahnya terkena infeksi dan dalam minggu ini kita harus melakukan operasi kepada Raisa. Saat itu juga ibu Raisa terduduk sambil melirik keruangan Raisa berada dan tangannya bergetar dengan kencang dan tetesan air matapun keluar dari wajah wanita paruh baya itu. Aku hanya dapat melihat tanpa berkata sepatah katapun.
Burung-burung mulai berkicauan di angkasa , matahari merah mulai menunjukkan dirinya dari ufuk timur dan kehangatan pagi menyapa keluarga ini dengan keramahannya. Ibu dari anak yang bernama Raisa itu manghampiriku, “ Tolong bawa pulang anakku, kami tidak dapat membayar biaya rumah sakit ini. Aku hanya seorang pembuat batu bata sedangkan suamiku hanyalah seorang buruh bangunan. Jadi kumohon kepadamu bawalah anakku kembali ke gubukku.” Lalu aku terdiam sambil menatap wajah sang ibu yang telah putus asa, karena tidak sanggup melihatnya, aku lalu beranjak pergi tanpa mendengarkan perkataan ibu itu.
Aku pergi ke ATM untuk mengambil beberapa uang dari tabunganku, yang awalnya tabungan itu untuk kuliah tahun depan ,tapi sekarang kugunakan untuk membayar biaya rawat inap Raisa sementara. Setelah itu aku pergi ke ruang administrasi.Ternyata uang itu hanya cukup untuk merawat Raisa di rumah sakit selama 3 hari. Lalu aku menghampirii ibu itu dan berkata, “ Ibu gak perlu khawatir, aku akan berusaha membantu Raisa.”