Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat di Indonesia termasuk masyarakat di negara-negara berbagai belahan dunia dihadapkan pada kondisi pandemi Corona Virus Disease 19 (COVID-19). Penyakit yang diakibatkan virus corona jenis baru (SARS CoV-2) yang pertama kali terdeteksi di kota Wuhan, Cina. Selain itu, penularan dan penyebaran COVID-19 cukup cepat ke berbagai negara, sehingga status pandemi pun ditetapkan World Health Organization (WHO) pada 11 Maret 2020 silam.
Sejak terdeteksinya COVID-19 di China, pemberitaan media massa mulai menyoroti isu tersebut. Bahkan beberapa perbincangan di dunia maya pun turut membahas hal-hal terkait COVID-19. Pemberitaan media, produksi dan konsumsi informasi tentang COVID-19 terus semakin intens. Apalagi ketika Indonesia pertama kali mengonfirmasi adanya pasien positif yang terpapar COVID-19 pada 2 Maret 2020 lalu.
Ketika berbagai informasi tentang COVID-19 terus-menerus menerpa kita, baik di media mainstream maupun media sosial, berpotensi memunculkan berbagai efek mulai dari sikap waspada, cemas, panik, takut, punic buying, dan lain-lain. Padahal informasi yang beredar tersebut, khususnya di media sosial dan aplikasi pesan instan, belum tentu sepenuhnya mengandung kebenaran.
Bagi beberapa kalangan yang terbiasa begitu saja "menelan" informasi yang diterima, apalagi informasi itu misalnya mengarah seperti menganggap enteng atau bahkan menakut-nakuti tentang COVID-19, berpotensi menimbulkan efek ketakutan berlebihan atau bahkan menyepelekan upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Bijak mengonsumsi informasi memang menjadi kunci utama menghadapi situasi ini. Meskipun memang menjadi "perkerjaan rumah" tersendiri untuk mewujudkan masyarakat yang bijak mengonsumsi informasi.
Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Meutya Hafid saat pelaksanaan Web Seminar (Webinar) peringatan Hari Keterbukaan Informasi (30/4) mengemukakan bahwa informasi yang berkaitan dengan COVID-19 sebenarnya dapat menyelamatkan nyawa kita.
Pernyataan Meutya Hafid ini menjadi hal yang harus digarisbawahi oleh berbagai pihak, baik pemerintah, legislatif, masyarakat, aparat penegak hukum dan pihak terkait lainnya. Meskipun memang menurut Meutya, ketika keterbukaan informasi telah dilakukan, maka memang akan menjadi pilihan para pihak dalam merespons informasi tersebut.
Penulis memandang, ketika semua mind set para pihak tertanam bahwa ini sebagai bagian untuk kita lebih waspada agar mampu menyelamatkan nyawa, maka efek yang timbul seperti menganggap enteng atau bahkan menakut-nakuti tentang COVID-19, berpotensi menimbulkan efek ketakutan berlebihan atau menyepelekan upaya pencegahan penyebaran COVID-19 bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan.
Menurut Meutya strategi komunikasi memainkan peranan penting dalam penyampaian informasi. Tidak harus ditutup-tutupi karena khawatir akan menimbulkan ketakutan, justru ketika menyampaikan informasi tersebut harus disertai dengan tindakan nyata apa yang sedang, akan dan telah dilakukan. Dengan demikian masyarakat mengetahui apa yang sedang dan akan dilakukan. Selain itu, media juga menjadi pihak yang penting pada situasi ini,melalui perannya dalam keberimbangan pemberitaan, pemberitaan yang bijak sehingga menumbuhkan harapan dan rasa solidaritas atau menunjukkan transparansi.
Jika merujuk pada penjabaran ini, sejatinya konsumsi informasi oleh masyarakat di masa pandemi memang harus dilakukan karena dapat menyelamatkan nyawa, tapi tentu dengan beberapa syarat seperti yang tersirat di atas. Seperti halnya yang kerap digaungkan oleh pemerintah #BersatuLawanCorona, maka untuk menciptakan agar masyarakat merasa harus mengonsumsi informasi juga dibutuhkan kontribusi berbagai pihak untuk bersatu dalam memproduksi dan mengonsumsi informasi terkait COVID-19.
Pemerintah, legislatif, media, penegak hukum dan bahkan masyarakat itu sendiri harus menunjukkan perannya dengan selalu mengingat dan menekankan bahwa ketika memproduksi dan mengonsumsi informasi sejatinya mampu menyelamatkan nyawa banyak pihak. Namun ini tentu bukan hal yang mudah, apalagi Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki begitu banyak tantangan baik dalam hal sarana prasarana, infrastruktur, maupun literasi informasi dan digital.
Masifnya arus informasi terkait COVID-19 memang tak jarang membuat kita lelah, bahkan enggan untuk mengetahui atau mengonsumsi kembali. Berhenti sejenak untuk mengonsumsi informasi itu pun tak sepenuhnya salah, namun tak dapat dibiarkan berlarut sehingga terkesan menutup diri agar tak terterpa informasi sama sekali tentang Covid-19 dan segala hal yang menyertainya.