Indonesia merupakan negara hukum, hal ini sesuai dengan UUD 1995 pasal 1 ayat 3 hasil amandemen. Oleh karena itu, berbagai permasalahan yang ada di Indonesia diselesaikan melalui hukum, mulai dari persoalan sepele yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan hingga persoalan besar yang menyangkut negara.
Mungkin kita semua masih ingat kasus-kasus seperti pencurian sandal jepit oleh seorang bocah, pencurian singkong oleh seorang nenek karena kelaparan, hingga seorang ibu yang dilaporkan anak kandungnya sendiri ke polisi dengan tuduhan mencuri kayu dan kasus lainnya yang berujung di meja hijau. Mungkin bagi sebagian kita ada yang setuju jika kasus-kasus tersebut berujung di pengadilan sementara sebagian yang lain menolak karena menganggap kasus tersebut seharusnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan tanpa melibatkan pihak yang berwajib. Semua bebas bependapat.
Sekarang, coba kita bandingkan dengan kasus-kasus besar yang sering kita dengar seperti korupsi yang seakan telah mendarah daging. Ya, para pelaku tersebut memang akhirnya berujung pada pengadilan dan bui, namun tetap saja menyisahkan tanda tanya bagi kita para penonton. Proses pemberkasan dan pengadilan yang lama, tuntutan hukuman yang seringkali kita temukan masih dapat terus ditawar, hingga telah berada di balik jeruji besi pun masih bisa berpergian kemana saja.
Kebobrokan hukum di Indonesia tak hanya samapai di situ. Bahkan para penegak hukum yang diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan baik ternyata tetap saja dapat tergoda dengan materi yang ditawarkan kepadanya. Mereka yang berbuat demikian berlaku layaknya seorang pedagang dan hukum yang menjadi barang dagangangnya.
Benarkah hukum hanya barang dagangan?
Coba kita lihat! Materi menjadi pemicu munculnya dan selesainya kasus di pengadilan, sekecil apapun nilai materi tersebut, seperti kasus-kasus di atas tersebut. Dia menjadi primadona di mana saja dia berada, menutup mata setiap orang. Tak ada lagi yang namanya ikatan darah, tak ada lagi yang namanya penjahat yang telah merugikan rakyat, jika semua telah menyangkut materi. Ironis memang ketika di satu sisi dia menjadi pemicu dan di sisi lain ia menjadi solusi.
Hukum dan materi. Mungkinkah itu hukum di Indonesia?
Entahlah.
Di akhir kalimat, saya hanya dapat katakan, bahwa hukum yang dibuat di dunia ini tidak ada yang sempurna karena mereka dibuat oleh manusia yang tidak sempurna. Namun, bukan berarti kita pasrah. Dekatkan diri dengan Tuhan, semoga kita tak hanya mengkritik tapi kita juga tidak melakukan hal-hal tersebut. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang tergoda oleh kesenangan dunia semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H