Mohon tunggu...
Tiara Dewi
Tiara Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - PNS sekaligus Mahasiswa S2 MPKP UI

Saat ini saya sedang melanjutkan studi pada Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, FEB, UI

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Tragedy of The Commons Penurunan Tanah Jakarta

12 November 2024   10:38 Diperbarui: 12 November 2024   11:19 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Provinsi DKI Jakarta terus mengalami penurunan permukaan tanah hingga terancam tenggelam. Dari tahun 1982 hingga 1991, Tingkat penurunan permukaan tanah mencapai 1- 9 cm pertahun. Selanjutnya, pada periode 1991 hingga 1997 dan 1997 hingga 2011, tingkat penurunan tanah meningkat menjadi 1 - 25 cm per tahun dan 1 - 28 cm per tahun (Abidin et al., 2011). 

Pada tahun 2023 dilakukan pengamatan di 255. Ratusan titik di DKI Jakarta itu mengalami penurunan muka tanah bervariasi hingga 10 cm dengan rata-rata penurunan mencapai 3,9 cm sepanjang tahun (Pemprov DKI Jakarta, 2024). Penurunan tanah di DKI Jakarta merupakan sebuah tragedy of the commons yang akan dibahas lebih lanjut penyebab dan rekomendasi kebijakannya dalam artikel ini.


Penurunan tanah DKI Jakarta terjadi dengan kecepatan bervariasi. Secara umum, penurunan tanah pada wilayah DKI Jakarta bagian utara lebih cepat daripada bagian selatan. Di bagian utara, muka tanah turun hingga sekitar 7 cm per tahun didasarkan pada data peta zona kerusakan air tanah Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta (Badan Geologi, 2019).

 Titik wilayah lokasi yang mengalami penurunan muka tanah cukup tinggi adalah Muara Angke, Penjaringan, dan Cilincing. Hal ini menyebabkan wilayah utara Jakarta sering mengalami banjir pada musim hujan, namun pada musim kemarau mengalami kelangkaan air tanah.


Ekstraksi air tanah merupakan penyebab utama terjadinya penurunan muka tanah di Jakarta. Faktor lain adalah kondisi alamiah tanah Jakarta yang terus bergerak dan pembebanan. Pengambilan air tanah tercatat meningkat dari 21.849.031 m3 per tahun pada tahun 2000 menjadi 22.629.468 m3 per tahun pada tahun 2008.

 Pada tahun 2020, angka turun menjadi 6.014.240 m3 per tahun karena pemberlakuan pajak pengambilan air tanah oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 2009. Namun, laporan berlanjutnya penurunan tanah masih terus diterima bahkan setelah tahun 2009, karena ekstraksi air tanah masih berlangsung, baik di sumur resmi maupun yang tidak terdaftar. (Taftazani et al., 2022).


Ekstraksi air tanah juga tetap terjadi di DKI Jakarta meski menurut Balai Konservasi Air Tanah, Kementerian ESDM, air yang di ekstraksi tersebut sudah tidak memenuhi standar baku mutu air minum yang disarankan oleh Menteri Kesehatan No. 492/MENKES/PER/VI/2010 tentang persyaratan kualitas air minum. Balai Konservasi Air Tanah (2024) melakukan pemantauan terhadap kondisi air tanah CAT Jakarta dengan mengamati 155 titik sumur pengamatan. 

Hasilnya sekitar 80% air tanah pada akuifer bebas (akuifer dangkal) tidak memenuhi standar, padahal air tanah pada akuifer dangkal ini masih menjadi andalan bagi sebagian masyarakat kalangan menengah ke bawah dalam pemenuhan kebutuhan air untuk minum dan MCK (mandi, cuci, kakus). Sedangkan pada akuifer tertekan (akuifer dalam), sekitar 85% kualitas air tanahnya tidak memenuhi standar baku mutu.


Ekstraksi air tanah berlebihan tersebut menyebabkan tragedy of the commons hingga membuat Jakarta terancam tenggelam. Pemodelan yang dilakukan oleh Bennett et al. (2023) memprediksi bahwa, kombinasi penurunan tanah dan kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim akan mengakibatkan sebagian besar wilayah Jakarta terendam air pada akhir abad ini. 

Hal tersebut dapat terjadi jika laju penurunan tanah saat ini yang diasumsikan rata-rata 10 cm per tahun dan berlanjut tanpa perubahan. Selain itu juga tidak ada perbaikan pada struktur pertahanan Pantai di DKI Jakarta.


Air tanah merupakan salah satu Common Pool Resources (CPR) yaitu sumber daya alam atau buatan manusia yang dimanfaatkan bersama oleh kelompok pengguna (Libecap, 2003). CPR memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
*Sulit untuk menghalangi pengguna lain mengakses dan mendapatkan manfaat dari sumber daya tersebut
*Sumber daya yang memberikan manfaat bagi sekelompok orang, tetapi memberikan manfaat yang berkurang  jika masing-masing individu mengejar kepentingan pribadinya
*Biaya untuk menegakkan batas-batas restriktif tinggi. 

Ditengah mahalnya biaya hidup di DKI Jakarta, masyarakat tentu lebih memilih menggunakan air tanah daripada air PAM. Masyarakat harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk kebutuhan air dengan tarif PAM Jaya sebesar Rp 1.050-7.450/kubik. 

Jika dibandingkan dengan air tanah yang gratis, tentu masyarakat kelas menengah ke bawa akan tetap memilih air PAM. Namun pipa PAM Jaya masih menggunakan pipa jaman Belanda, sehingga tingkat kebocoran pipa tinggi dan kualitas pipa buruk. Tidak mengherankan jika hanya sekitar 44-64% populasi DKI Jakarta yang menggunakan air PAM, sisanya menggunakan air tanah.


Ekstraksi air tanah di DKI Jakarta yang berlebihan tersebut menyebabkan tragedy of the commons, yaitu penurunan muka tanah dan penurunan kualitas air tanah tersebut. Tragedy of the commons, sebuah konsep yang dipopulerkan Hardin (1968) menunjukkan situasi pemanfaatan sumber daya bersama (CPR) di mana setiap individu bertindak demi keuntungan pribadi sehingga menyebabkan berkurangnya sumber daya tersebut. 

Tragedi ini akan timbul saat setiap manusia berusaha mengambil sumber daya alam yang menjadi milik bersama untuk kepentingan pribadinya bahkan hingga merugikan mahluk hidup lain. Salah satu karakteristik kunci dari tragedy of the commons menurut Ophuls (1977) yaitu merupakan sesuatu kegiatan yang terlihat biasa, dilakukan oleh orang biasa tetapi kegiatan tersebut dilakukan terus-menerus tanpa kontrol.

 Hal ini dapat terjadi karena manusia bersifat oportunis, yaitu mementingkan keuntungannya sendiri. Selain itu manusia juga hanya bounded rational, sehingga tidak dapat memerkirakan bahwa pada masa depan air tanah akan semakin habis hingga menyebabkan penurunan muka tanah.

Menurut Libecap (2003) terdapat tiga solusi untuk mencegah atau mengatasi tragedy of the commons. Yang pertama adalah melalui privatisasi (private ownership) yaitu pemberian hak milik yang lebih pasti atas sumber daya, di mana hanya pemilik swasta yang diberi akses. 

Kedua melalui negara (state ownership) sehingga negara mempertahankan hak milik formal dan mengendalikan akses dan penggunaan individu melalui berbagai pembatasan. Keputusan penggunaan sumber daya akan dibuat oleh pejabat pemerintah, baik politisi maupun birokrat. 

Solusi ketiga adalah dengan hybrid ownership, yaitu dimana individu memegang hak properti, tetapi rentang pilihan sumber daya sangat dibatasi oleh pembatasan regulasi dan pajak. 

Jika dilihat lebih lanjut, saat ini pemerintah DKI Jakarta menggunakan metode hybrid ownership dimana sumur masih dimiliki secara individu dan pemerintah hanya mengenakan pajak pengambilan air tanah. Namun hal ini masih belum cukup untuk mengatasi tragedy of the commons yang telah terjadi. 


Rekomendasi Kebijakan

Sistem pemanfaatan air tanah memang perlu dilakukan reformasi. Pemerintah DKI Jakarta saat ini telah menerbitkan Peraturan Gubernur DKI Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah. Peraturan ini mengatur dua hal utama: 1) pengetatan pemantauan pengambilan air tanah; dan 2) pelarangan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 

Diharapkan melalui peraturan baru ini sistem pemanfaatan air tanah di DKI Jakarta khususnya untuk gedung-gedung, dapat diminimalisasi. Konsumsi air tanah rumah tangga juga tak kalah penting untuk diminimalisasi. Penggunaan instrumen insentif dan disinsentif dalam pengendalian pengambilan air tanah juga perlu dilakukan.


Hal tersebut sesuai dengan himbauan Badan Geologi (2019) kepada masyarakat bahwa pengurangan penggunaan air tanah dapat menaikkan kembali muka air tanah dan mengembalikan muka tanah, meskipun tidak sampai ke posisi semula. Hal ini telah dibuktikan dengan pengurangan besar-besaran terhadap penggunaan air tanah di kota Tokyo dan Bangkok. 

Tidak mustahil, Jakarta bisa melakukan itu jika kita mampu berusaha untuk mengurangi penggunaan air tanah. Selain itu perlu juga dibangun sumur-sumur resapan dan sumur injeksi untuk menambah volume air tanah.


Pemenuhan kebutuhan air bersih di DKI Jakarta melalui Perusahaan Daerah Air Minum, dalam hal ini PAM Jaya juga sangat penting. Menurut Taftazani (2022) kebutuhan air di DKI Jakarta mencapai 1.878.899 m3 per hari, melebihi kapasitas PAM Jaya saat ini. Rendahnya cakupan dan efisiensi dari jaringan pipa air bersih, bersama dengan lemahnya penegakan perizinan, telah mendorong penggunaan air tanah yang berlebihan oleh industri dan rumah tangga. 

Untuk mengatasi masalah ini, perlu pengembangan sumber air permukaan tambahan guna memenuhi kebutuhan pasokan air bersih di Jakarta. Pengembangan dilakukan melalui perluasan jaringan pipa air bersih dan mengurangi kebocoran dari pipa air yang rusak.


Meskipun berbagai kebijakan dan regulasi telah diperkenalkan untuk mengelola sumber daya air dan mengatasi penurunan tanah, masih banyak inkonsistensi dan hambatan dalam eksekusi dan bahkan pada tataran substansi dari kebijakan. 

Oleh karena itu, diperlukan reformasi mekanisme pemanfaatan air tanah, perbaikan dan perluasan infrastruktur PAM, implementasi kebijakan insentif dan disinsentif yang efektif, pembangunan sumur resapan dan sumur injeksi, serta peningkatan kesadaran publik untuk mengurangi penggunaan air tanah secara drastis. Diharapkan, melalui implementasi rekomendasi kebijakan - kebijakan tersebut, penurunan muka tanah di DKI Jakarta dapat diatasi secara berkelanjutan.

Referensi
Abidin, H. Z., Andreas, H., Gumilar, I., Fukuda, Y., Pohan, Y. E., & Deguchi, T. (2011). Land subsidence of Jakarta (Indonesia) and its relation with urban development. Natural hazards, 59, 1753-1771.
Badan Geologi. (2019). Penurunan Tanah Jakarta Terjadi Dengan Kecepatan Bervariasi. https://geologi.esdm.go.id/media-center/penurunan-tanah-jakarta-terjadi-dengan-kecepatan-bervariasi (diakses 11 November 2024)
Balai Konservasi Air Tanah, KESDM. (2024). Masalah Air Tanah Jakarta. https://bkat.esdm.go.id/node/157 (diakses 11 November 2024)
Hardin, G. (1968). The Tragedy of the Commons. Science, New Series, 162(3859), 1243--1248.
Libecap, G.D. (2003). State Regulation of Open-Access, Common-Pool Resources. ICER Working Papers 19-2003.  International Centre for Economic Research.
Ophuls, W. (1977). Cology and the politics of scarcity: Prologue to a political theory of the steady state.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (2024). Jakarta Alami Penurunan Tanah Rata-rata 3,9cm Sepanjang 2023. https://siga.jakarta.go.id/berita/view/25 (diakses 11 November 2024).
Taftazani, R., Kazama, S., & Takizawa, S. (2022). Spatial analysis of groundwater abstraction and land subsidence for planning the piped water supply in Jakarta, Indonesia. Water, 14(20), 3197.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun