Di sebuah ruangan yang penuh dengan sorot lampu lembut, duduklah seorang psikolog bernama Ardi Dwi Afandi. Kata-katanya mengalir, tidak terburu-buru, tapi penuh makna, seolah ingin menggambarkan hubungan yang sering terlewatkan oleh banyak orang: kesehatan mental dan fisik. Layaknya dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, keduanya berjalan berdampingan, saling mempengaruhi, dan dalam diam, bisa membentuk diri seseorang baik atau buruk. Telkom University.
"Pikiran dan tubuh," kata Ardi dengan nada tenang, "adalah satu kesatuan. Jika salah satu terganggu, yang lain juga akan terpengaruh." Ia memperkenalkan konsep yang dikenal sebagai psikosomatis. Dalam penjelasannya, Ardi membimbing kita melewati lorong-lorong rumit antara pikiran, emosi, dan tubuh. Bahwa saat pikiran dipenuhi kecemasan, tubuh mulai merespons, kadang dengan cara yang tidak kita duga. Ada pasien yang mengeluhkan nyeri dada atau sakit perut, tetapi ketika diperiksa, secara fisik mereka sehat. Semua karena jalinan halus antara apa yang ada di dalam pikiran dan apa yang dirasakan oleh tubuh.
"Stres," lanjutnya, "sering kali menempatkan beban pada tubuh tanpa kita sadari." Ardi memberikan contoh nyata GERD, atau asam lambung naik. Banyak yang mengira ini murni masalah lambung, tetapi stres bisa menjadi pemicu. Seperti ketika seseorang merasa tertekan, tubuhnya bereaksi, meningkatkan produksi asam lambung. Asam itu kemudian naik, melewati sfingter esofagus yang seharusnya bertindak sebagai penjaga gerbang, tetapi ketika gerbang itu lemah akibat stres, gejala seperti heartburn atau rasa panas di dada pun muncul. Maka, kata Ardi, untuk menangani masalah seperti ini, dibutuhkan pendekatan yang holistik memahami tubuh dan pikiran sebagai satu kesatuan, bukan entitas yang terpisah.
Dari tubuh yang menderita, percakapan beralih ke pikiran yang terluka mahasiswa, para pemuda yang kerap kali berdiri di persimpangan harapan dan tekanan. Ada satu istilah yang sering muncul dalam dunia perkuliahan: demotivasi. Ardi menjelaskan fenomena ini dengan tenang, "Demotivasi adalah ketika seorang mahasiswa mulai kehilangan semangat dalam kuliah. Mereka lelah, jenuh, bahkan putus asa." Ada kesan, seolah-olah bayangan itu begitu akrab di kalangan para mahasiswa, berjalan dengan leher tertunduk di koridor panjang universitas, menatap kosong pada tumpukan tugas yang entah kapan akan selesai.
Bayangkan seorang mahasiswa yang duduk di depan layar laptop, kursor berkedip tanpa henti, menunggu sesuatu yang tak pernah datang: inspirasi. Hari demi hari berlalu, tetapi hanya kebosanan yang semakin membesar. Tugas-tugas menumpuk, tetapi semangat semakin menipis, seperti lilin yang terbakar habis di kedua ujungnya. Burnout, begitulah istilahnya, sebuah kelelahan mental yang tidak terlihat dari luar, tapi merongrong dari dalam.
Namun, bukan hanya tumpukan tugas yang menjadi beban. Hubungan interpersonal para mahasiswa juga berperan besar dalam kesejahteraan mental mereka. "Putus cinta, misalnya," ucap Ardi, "sering kali dianggap sepele, tetapi kenyataannya, patah hati bisa memicu depresi." Begitu dalamnya rasa kehilangan dan kesedihan yang dirasakan, kadang-kadang begitu membekas hingga mereka yang terluka tidak sadar bahwa luka itu sudah berakar di dalam pikiran, merusak motivasi, dan menciptakan lingkaran setan antara emosi dan mental yang sulit diputus.
Ardi tidak hanya berbicara tentang masalah, tetapi juga solusi. Ia menawarkan jalan keluar yang sederhana namun bermakna: mengakui perasaan yang ada, tanpa mencoba melawan atau menyalahkan diri sendiri. Langkah awal menuju penyembuhan, katanya, adalah menerima bahwa kita terluka. Karena dengan mengakui, kita memberi kesempatan pada diri untuk sembuh. Ia juga menyarankan untuk detoks dari media sosial sebuah dunia maya yang sering kali memperburuk rasa kesepian atau iri hati. Mencari dukungan dari orang-orang terdekat, mencoba hal-hal baru yang belum pernah dilakukan, bahkan sekadar melakukan hal kecil yang tertunda bisa membantu memulihkan kembali semangat yang hilang.
Di akhir pembicaraannya, Ardi mengingatkan kita semua bahwa menjaga kesehatan mental bukanlah hal yang mewah, tapi suatu keharusan. Sama pentingnya dengan menjaga tubuh tetap bugar, makan dengan baik, berolahraga, dan tidur cukup. Semua itu, katanya, adalah bagian dari menjaga keseimbangan antara tubuh dan pikiran sebuah keharmonisan yang rapuh, tetapi sangat berharga.
Kata-kata Ardi seakan mengudara, meresap ke setiap sudut ruangan. Pesannya begitu jelas: kita adalah makhluk yang terbuat dari pikiran dan tubuh, dan keduanya harus dijaga dengan penuh kesadaran. Lalu ia menutup dengan senyum lembut, memberikan undangan yang tulus kepada semua yang hadir untuk mulai hidup sehat secara fisik dan mental sekarang juga. Tepat seperti matahari yang mulai terbenam di luar jendela, mengingatkan kita bahwa meskipun hari ini mungkin terasa berat, esok adalah kesempatan baru untuk menjadi lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H