Saat menyusuri jalanan perkotaan, sering kita jumpai manusia dengan berbagai aktivitas dan kesibukannya masing-masing. Ada yang mengendarai mobil, motor, bentor dan ada juga yang mengayuh sepeda. Tentu, dengan aktivitas yang berbeda masing-masing memiliki tujuan dan prioritas hingga pagi hari yang padahal bisa dinikmati dengan bersantai tetapi demi tujuan tadi, mereka rela mengorbankan waktu dan tenaganya. Di tepi jalan juga dapat kita amati bagaimana warung berjejeran mulai buka dan pedagang kaki lima yang mulai menempati emperan jalan.
Hai, perkenalkan aku Laila Hidayati. Salah satu mahasiswa yang berani membawa diri sendiri dari pedesaan menuju perkotaan demi mengejar sebuah gelar. Di perkotaan, aku belajar banyak hal. Manusia dengan berbagai karakternya yang beraneka ragam. Saat perkuliahan berlangsung, suasana kelas bagiku sungguh tampak sangat sesak ketika mulai membahas kuliah itu tujuannya untuk apa? Ada yang mulai membahas kuliah untuk mengejar gelar demi sebuah pekejaan, mendapatkan skill untuk bersaing di dunia pekerjaan hingga bekal untuk mengais materi di masa depan.
Awalnya, aku berpikir demikian. Sama halnya dengan teman-teman. Pada umunya doktrin semacam pembahasan tadi bagaikan katalis kompetitif untuk meraih gelar sarjana. Namun, tahun kedua aku mendiami kota, banyak momen yang menyadarkanku arti penting dari “menuntut ilmu”. Mungkin, ketika terbiasa hidup dengan privillage sebagai manusia beruntung yang punya warisan kekayaan, tuan tanah misalnya atau keturunan borjuis. Orang-orang semacam ini akan mudah terlupa satu hal bahwa mengejar pendidikan tidak melulu soal meraih materi di kemudian hari tetapi kembali lagi ketika ke desa atau berinteraksi dengan masyarakat lebih menjunjung tinggi moral dan memberi kebermanfaatan.
Pola pikirku berubah ketika menyaksikan momen yang jarang terpotret oleh lensa kamera atau momen langka yang tidak diabadikan di media-media. pada tahun kedua aku mendiami kota tepatnya di Makassar, Sulawesi Selatan yang cukup jauh dari daerah asalku Sulawesi Tengah. Satu momen yang membuatku menyadari arti cinta dan ketulusan tanpa memandang nilai rupiah. Saat merindukan ibu tercinta, yang sudah setahun tak bersua selama aku di perantauan. Saat itu, karena menghemat pengeluaran, mimpi untuk bertemu di momen idul fitri hingga idul adha selama dua tahun di simpan dulu hingga selesai perkuliahan, pikirku begitu.
Namun saat itu, rindu yang tak terbendung mendorong diriku ingin memberi hadiah kepada ibu. Aku pun akhirnya ingin mengirimi kerudung mocca favorit ibu secara diam-diam agar lebih surprise. Hingga terbesit ide untuk melakukan pengiriman barang melalui jasa pengiriman JNE di kota Makassar dengan tujuan Toboli, Sulawesi Tengah.
Namun, aku sedikit cemas karena uang yang aku bawa barangkali kurang cukup untuk membayar ongkos kirim barang yang dituju. Tetapi alhamdulillah ternyata PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir menyediakan jenis pengiriman ekonomis yang bisa di jangkau oleh kantung mahasiswa sepertiku. JNE sangat membantu untuk menyampaikan paket cinta ke orang tercintaku yaitu ibu.
Dari momen yang agaknya terlihat sepele ini justru sangat berarti buatku, akhirnya aku belajar bahwa menuntut ilmu itu agar bagaimana tujuan kita dari melakukan suatu pekerjaan dalam hidup tidak hanya mengejar materi melainkan bagaimana royalitas dan integritas, Sebagaimana JNE yang berusaha melakukan yang terbaik kepada pelanggan dan konsisten terhadap visi sesuai motto yang tercantum di bio media sosial JNE, “Menyambungkan Kebahagiaan Dari Generasi ke Generasi”. JNE hadir sebagai perantara pengantar paket cinta ke orang-orang terkasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H