Wajahnya kentara sekali sedang terpapar kekhawatiran yang teramat sangat.
Sejujurnya - karena memandang paras tampan yang menjadi pucat pasi - menjadikan kuingin mengelusnya, meluruskan kembali kerutan kebimbangan di wajahnya.
Alih-alih berani menyentuhnya, aku hanya bertanya,”Ada apa, kasih?"
Mengudar rasa, ia sedikit memarahiku,”Jangan sekali lagi mengulanginya.”
Ouch.
Ternyata masalah teknis.
Aku pun coba menjelaskan, bahwa menghentikan mendadak percakapan melalui Skype tadi malam, bukan karena kesengajaanku. Internet memang sedang lamban, sehingga terpenggal, alias DC - disconnected.
Padahal kala itu kami sedang asyik-asyiknya mengobrol, chatting, melalui komputer.
Ia terdiam beberapa jenak, mencoba menata rasa dan kata.
Lalu ia pun kembali larut mencurahkan kata-katanya.
Ah, proses putus-nyambung dalam hubungan kami-lah yang menjadi pokok masalahnya. Ia menuntut perbaikan dan kenyamanan dalam interaksi kami.
Aku mencoba menelan semua kata-katanya dengan rasa gamang.
Hal yang paling menakutkan baginya adalah jika ikatan ini menjadi permanen usai.
Logis, karena latar belakang kami adalah asmara yang kerap kandas. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali.
Tak ada penyangkalan dariku. Kesemua ucapannya benar belaka.
Terkadang aku merasa lelah dengan semua ini. Kata perpisahan acap terngiang di benakku, terbenam dalam kegalauan di hatiku.
Maafkan aku, ya kasih…
Namun apapun, itu takkan sirna ikatan kasih yang sejati, yang telah diuji berkali-kali kesungguhannya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H