20 Tahun Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Peran Mahkamah Konstitusi Memeriksa & Mengadili Dugaan Pelanggaran Hukum oleh Presiden (Impeachment)
keyword: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Presiden, Impeachment.
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan suatu lembaga peradilan di Indonesia, yang kedudukannya ialah sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia, telah mencatatkan sejarah bahwa Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk lembaga Mahkamah Konstitusi dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang membentuk Mahkamah Konstitusi pada abad ke-21. Pada tanggal 13 agustus tahun 2003 menjadi momentum yang disepakati para Hakim Konstitusi, dalam menetapkan hari lahir Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
Terdapat landasan filosofis dari dibentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia, yang diantaranya ialah terdapat mekanisme penegakan hukum, mekanisme untuk memutus sengketa yang mungkin terjadi di lembaga negara, urgensi adanya lembaga peranan hakim dan politik terhadap produk-produk hukum, dan adanya mekanisme untuk memutus berbagai sengketa. Tak terkecuali juga adanya peran lembaga yang dapat memeriksa dan mengadili dugaan pelanggaran hukum atau dakwaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, atau yang dikenal dengan istilah impeachment.
Lebih lanjut mengenai impeachment, bahwa sesungguhnya arti dari impeachment adalah dugaan atau dakwaan, yang mana impeachment lebih menitik-beratkan terhadap ‘proses’ dan tidak harus selalu berakhir dengan berhenti dan/atau turunnya jabatan Presiden. Kemudian terdapat definisi atas alasan impeachment di Indonesia yang dituangkan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Adapun selengkapnya mengenai ketentuan-ketentuan peran MK dalam memeriksa dan mengadili impeachment, diantaranya:
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10:
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a) Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
b) Korupsi dan Penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
c) Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d) Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e) Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemudian dicantumkan pula kewenangan MK berikutnya pada Pasal 11 UU MK, yaitu:
“Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan”.
Undang-Undang No. 24/2003 inilah yang menjadi aturan dasar yang pada awalnya menjadi penjabaran mengenai ketentuan konstitusional atas peran dan/atau kewenangan MK yang diberikan oleh UUD 1945 sebelum akhirnya diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2):
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus persilisihan tentang hasil pemilihan umum.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Pasal 24C UUD 1945 inilah yang menjadi ketentuan yang paling mendasar bagi MK untuk menyelenggarakan peran dan wewenangnya dalam memeriksa dan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, serta memberikan putusan yang bersifat final. Pasal ini pula yang menegaskan kewajiban MK dalam memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Maka atas ketentuan Pasal 24C UUD 1945, MK berkekuatan untuk berperan dalam menjalankan wewenangnya sebagaimana mestinya.
Kembali pada proses impeachment, yang mana proses impeachment di Indonesia ialah setidaknya melalui proses di 3 (tiga lembaga) negara secara langsung. Pertama ialah proses di DPR, dengan DPR melalui hak pengawasannya melakukan proses penelusuran (investigasi) atas dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakaan pelanggaran hukum, sehingga dapat tergolong dalam alasan-alasan impeachment.
Selanjutnya setelah proses di DPR selesai, yang dalam Rapat Paripurna DPR bersepakat untuk menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan perbuatan yang dapat dikategorikan ke dalam alasan untuk di-impeach maka putusan Rapat Paripurna DPR itu harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Sebelum pada proses akhir dari proses impeachment yang ditangani oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mendapat keputusan akhir dari nasib Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Proses impeachment di Mahkamah Konstitusi merupakan diprosesnya pendapat DPR oleh MK dan/atau memutus benar atau salahnya dugaan terhadap Presiden yang dilihat dari perspektif hukum. Dalam proses ini, MK memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili serta memberi putusan terhadap pendapat DPR. Sebab sebagai institusi peradilan dan/atau salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, nantinya putusan yang dijatuhkan oleh MK terhadap pendapat DPR ini bertujuan untuk memberikan justifikasi secara hukum.
Dalam proses impeachmement di MK, DPR dan Presiden masing-masing berhak untuk didampingi oleh kuasa hukumnya. Kemudian selanjutnya dalam hal pemeriksaan syarat formil terhadap permohonan memutus pendapat DPR atas dugaan (tuduhan) terhadap Presiden dan/atau wakil Presiden, terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu (1) perihal legal standing (2) perihal kewenangan MK untuk mengadili dan (3) perihal prosedur yang mesti dipenuhi DPR dalam mengambil keputusan atas pendapat tersebut.
Apabila salah satu persyaratan tersebut tidak dipenuhi konsekuensinya maka amar putusan MK akan menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima. Ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 dan UU MK seakan menciptakan klasifikasi terhadap pokok perkara dugaan atau dakwaan terhadap Presiden menjadi dua, yaitu (a) Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan (b) Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Namun pembagian tersebut tidak memberikan konsekuensi hukum yang berbeda sebab apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan salah satu dari dua pokok perkara tersebut, maka amar putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR.
Dalam proses beracara di MK, Batasan mengenai waktu yang diberikan oleh UU MK ialah 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan didaftar ke MK untuk memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang kurun waktu tersebut terdapat beberapa tahapan persidangan yang wajib dilalui dan/atau dilakukan oleh MK sebelum mengambil putusan. Dimulai dari tahapan sidang pertama yakni pemeriksaan pendahuluan, lalu tahapan sidang kedua yaitu pemeriksaan persidangan serta di dalamnya termasuk juga sidang pembuktian sebelum diakhir digelar sidang pembacaan putusan yang merupakan tahapan akhir dari persidangan.
Akhirnya dapat dipahami bahwa yang menjadi obyek dalam proses impeachment di MK itu bukanlah fokus ke mengadili Presiden, akan tetapi obyeknya ialah pendapat DPR dan/atau memutus benar atau tidaknya dugaan pelanggaran hukum terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diajukan oleh DPR ke MK.
Itulah mengenai peran Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadili dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (Impeachment).
Terakhir, terdapat kutipan dalam pengantar Buku Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Tahun 2005 yang ditulis oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi ialah sebagai berikut:
“Dalam ayat yang berbeda dari 4 kewenangan Mahkamah Konstitusi lainnya yang disebutkan dalam pasal 24C ayat (1), pada ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Adanya ketentuan ini tentu memancing perdebatan dan perbedaan penafsiran atas setidaknya 2 (dua) masalah yaitu pertama mengapa penyusun Perubahan UUD 1945 memisahkan kewenangan MK dalam memeriksa perkara ini? Dan kedua mengenai objek dari perkara ini, apakah MK memeriksa pendapat DPR ataukah MK juga berwenang untuk “mengadili” Presiden dan/atau Wakil Presiden? Permasalahan ini memancing perdebatan dan perbedaan penafsiran secara akademis. Oleh sebab itu, banyak yang bisa digali dan diteliti mengenai penafsiran ketentuan hingga proses teknis dari mekanisme impeachment ini”.
Maka dari itu, dalam rangka memperingati 20 Tahun MK, hal ini menjadi salah satu harapan publik yang tak kalah pentingnya dari berbagai permasalahan yang timbul dan menumbuhkan banyak harapan pula untuk mendapatkan penyelesaiannya, semoga peran MK dalam memeriksa dan mengadili dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat semakin mendapatkan kepastian atau ketetapan yang tidak lagi diperdebatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H