Kembali pada proses impeachment, yang mana proses impeachment di Indonesia ialah setidaknya melalui proses di 3 (tiga lembaga) negara secara langsung. Pertama ialah proses di DPR, dengan DPR melalui hak pengawasannya melakukan proses penelusuran (investigasi) atas dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakaan pelanggaran hukum, sehingga dapat tergolong dalam alasan-alasan impeachment.
Selanjutnya setelah proses di DPR selesai, yang dalam Rapat Paripurna DPR bersepakat untuk menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan perbuatan yang dapat dikategorikan ke dalam alasan untuk di-impeach maka putusan Rapat Paripurna DPR itu harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Sebelum pada proses akhir dari proses impeachment yang ditangani oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mendapat keputusan akhir dari nasib Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Proses impeachment di Mahkamah Konstitusi merupakan diprosesnya pendapat DPR oleh MK dan/atau memutus benar atau salahnya dugaan terhadap Presiden yang dilihat dari perspektif hukum. Dalam proses ini, MK memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili serta memberi putusan terhadap pendapat DPR. Sebab sebagai institusi peradilan dan/atau salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, nantinya putusan yang dijatuhkan oleh MK terhadap pendapat DPR ini bertujuan untuk memberikan justifikasi secara hukum.
Dalam proses impeachmement di MK, DPR dan Presiden masing-masing berhak untuk didampingi oleh kuasa hukumnya. Kemudian selanjutnya dalam hal pemeriksaan syarat formil terhadap permohonan memutus pendapat DPR atas dugaan (tuduhan) terhadap Presiden dan/atau wakil Presiden, terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu (1) perihal legal standing (2) perihal kewenangan MK untuk mengadili dan (3) perihal prosedur yang mesti dipenuhi DPR dalam mengambil keputusan atas pendapat tersebut.
Apabila salah satu persyaratan tersebut tidak dipenuhi konsekuensinya maka amar putusan MK akan menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima. Ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 dan UU MK seakan menciptakan klasifikasi terhadap pokok perkara dugaan atau dakwaan terhadap Presiden menjadi dua, yaitu (a) Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan (b) Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Namun pembagian tersebut tidak memberikan konsekuensi hukum yang berbeda sebab apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan salah satu dari dua pokok perkara tersebut, maka amar putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR.
Dalam proses beracara di MK, Batasan mengenai waktu yang diberikan oleh UU MK ialah 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan didaftar ke MK untuk memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang kurun waktu tersebut terdapat beberapa tahapan persidangan yang wajib dilalui dan/atau dilakukan oleh MK sebelum mengambil putusan. Dimulai dari tahapan sidang pertama yakni pemeriksaan pendahuluan, lalu tahapan sidang kedua yaitu pemeriksaan persidangan serta di dalamnya termasuk juga sidang pembuktian sebelum diakhir digelar sidang pembacaan putusan yang merupakan tahapan akhir dari persidangan.
Akhirnya dapat dipahami bahwa yang menjadi obyek dalam proses impeachment di MK itu bukanlah fokus ke mengadili Presiden, akan tetapi obyeknya ialah pendapat DPR dan/atau memutus benar atau tidaknya dugaan pelanggaran hukum terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diajukan oleh DPR ke MK.
Itulah mengenai peran Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadili dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (Impeachment).
Terakhir, terdapat kutipan dalam pengantar Buku Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Tahun 2005 yang ditulis oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi ialah sebagai berikut:
“Dalam ayat yang berbeda dari 4 kewenangan Mahkamah Konstitusi lainnya yang disebutkan dalam pasal 24C ayat (1), pada ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.