Malam itu, setelah seharian penuh mengeksplorasi berbagai tempat wisata di Bali, tubuh terasa lelah, tetapi semangat kami untuk menjelajahi lebih banyak tak pernah surut. Saya dan teman-teman memutuskan untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Kami berkumpul di kamar nomor 31, ruang favorit untuk rapat kecil dadakan. Suasananya riuh, penuh obrolan bercampur tawa, sementara jari-jari kami sibuk scrolling media sosial mencari inspirasi destinasi berikutnya.
Beragam ide bermunculan, dari tempat makan hingga kafe estetik, namun tidak ada yang langsung disepakati. Waktu berlalu tanpa terasa tiba-tiba jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Setelah berdiskusi cukup lama, kami akhirnya sepakat untuk menjajal daerah Canggu, sebuah kawasan yang sering disebut-sebut sebagai pusat gaya hidup modern di Bali. Tanpa rencana pasti, kami berniat pergi saja dulu ke sana dan mencari tahu apa yang bisa menarik perhatian kami di malam itu. Ini bukan sekadar perjalanan biasa, ini adalah cara kami mengisi malam dengan petualangan spontan yang penuh harapan akan kejutan menyenangkan.
Jam sembilan malam, angin Bali berhembus lembut mendampingi motor sewaan kami meluncur memulai perjalanan impulsif menuju Canggu, sebuah destinasi penuh janji. Mengandalkan Google Maps, kami menempuh perjalanan sekitar 30 menit yang terasa lebih panjang dari perkiraan. Udara malam Bali cukup bersahabat, tidak terlalu dingin untuk berkendara tanpa jaket, namun pengalaman ini menjadi unik karena kami harus menyesuaikan diri dengan gaya pengemudi berplat DK yang gesit dan cenderung lebih spontan dibandingkan pengemudi di Yogyakarta. Jarak yang jauh membuat waktu terasa melambat, namun setiap tikungan jalan membawa kami semakin dekat ke Canggu, ditemani lampu-lampu jalanan yang memantulkan suasana khas Bali.Â
Ketika sudah tidak ada lampu merah dan jalanan mulai menyempit, motor kami akhirnya melambat di jalanan yang dipenuhi toko-toko unik, kafe-kafe dengan desain Instagrammable, dan restoran berkonsep modern, saya langsung tahu bahwa kami telah sampai di daerah Canggu. Suasananya terasa begitu hidup, meskipun malam sudah larut. Di antara deretan kafe yang sering saya lihat berseliweran di media sosial, sayangnya kebanyakan sudah menutup pintunya untuk hari itu karena kami terlalu malam. Namun, rasa penasaran mendorong kami untuk terus berkeliling, mencoba menemukan tempat menarik yang masih buka.Â
Kami terus menyusuri Jalan Subak Canggu, lalu berbelok ke Jalan Pantai Batu Bolong ditemani hembusan angin malam dan motor yang masih ramai melintas. Kami sama sekali tidak membuka peta, memilih menyerahkan diri pada kebebasan jalan yang terbentang di depan mata. Ada sesuatu yang menyenangkan dalam ketidaktahuan ini, seolah-olah malam itu kami adalah penjelajah, bukan wisatawan, yang sedang mencari hal-hal kecil yang tak tertulis dalam panduan perjalanan. Lampu-lampu jalan menjadi bintang kecil yang memandu kami, jalanan yang awalnya terasa asing perlahan menjadi familiar, kami mulai hafal setiap belokan dan tikungan, seolah jalanan Canggu berusaha mengenalkan dirinya kepada kami di malam ini.
Akhirnya, sebuah kafe dengan konsep khas Meksiko bernama Lola’s Cantina Mexicana menarik perhatian kami. Lampu-lampu temaram bergaya rustic menggantung rendah, dan meja-meja kayu yang tertata rapi, menciptakan atmosfer yang hangat sekaligus mengundang. Sebelumnya, saya, Khanza, Ratu, dan April sudah sepakat untuk bertemu di Canggu dengan Cinta, Lea, dan Siska, yang sebelumnya menghabiskan waktu di mall. Setelah saling mencari di tengah keramaian, kami akhirnya bertemu di Lola’s Cantina Mexicana, di mana kami langsung memesan meja untuk tujuh orang.
Karena malam sudah cukup larut dan kami semua sudah makan sebelumnya, kami memutuskan untuk hanya memesan minuman. Namun, ada kejutan kecil yang menyenangkan: pelayan dengan ramah memberikan complimentary tacos untuk kami. Tacos itu sederhana tapi lezat, terutama sausnya yang berasa asam dan segar, memberikan sensasi cita rasa khas Meksiko yang ringan namun memikat.
Saya memesan cinnamon latte, minuman hangat dengan aroma kayu manis yang langsung mengusir dinginnya malam. Namun, karena harganya terbilang overpriced untuk kantong mahasiswa seperti kami, saya memilih untuk berbagi dengan Ratu. Meski begitu, rasanya cukup memuaskan, apalagi ketika dinikmati sambil berbagi cerita dan tawa dengan teman-teman di tengah suasana cozy kafe yang mulai sepi. Malam itu terasa spesial, bukan hanya karena tempatnya, tetapi juga karena kebersamaan yang membuat semua terasa lebih berarti.
Setelah puas berbincang dan menikmati minuman di Lola’s Cantina Mexicana, kami kembali keluar untuk menyusuri jalanan Canggu. Meski malam semakin larut, suasana di sana tetap ramai. Para wisatawan mancanegara berlalu-lalang, sebagian besar bersiap mencicipi gemerlap nightlife Bali yang tak pernah tidur. Jalanan dipenuhi cahaya lampu kafe dan bar, suara musik terdengar dari kejauhan, menciptakan atmosfer yang terasa hidup meskipun kami sudah mulai merasa lelah.
Kami sempat menuju salah satu tempat yang ada di wishlist saya, sebuah spot yang terkenal dan sering muncul di rekomendasi media sosial. Namun, sesampainya di sana, kami baru menyadari bahwa ada tiket masuk untuk bisa masuk ke dalam. Mengingat waktu yang terbatas dan kami tak bisa berlama-lama karena harus segera kembali ke hotel, kami sepakat bahwa tidak worth it untuk membayar HTM hanya untuk kunjungan singkat. Rasanya sedikit kecewa, tetapi kami mencoba untuk tetap menikmati malam itu.