"Saya mau mengambil jurusan hukum, Yah. Kan sepertinya negeri ini lagi in-demand terhadap penegak-penegak hukum yang 'ga terpengaruh oleh budaya korupsi?"
Ayah saya yang mendengar perkataan tersebut langsung mengerenyitkan dahinya.
"Ngapain kamu mau berkecimpung ke gitu-gitu'an? 'Dah lah! Hukum di Indonesia itu sudah terlanjur kotor. Mendingan kamu lari ke bisnis aja."
Saya pun terinspirasi untuk menanggapi tulisan yang telah dibuat oleh Pak Thamrin Sonata yang mengutip suatu kalimat yang kurang lebihnya mendefinisikan dilema yang sedang dihadapi oleh banyak anak-anak muda idealis, seperti contohnya saya.
“Sayangnya, banyak anak muda menjauhi politik karena politik dinilai kotor. Kalau semua seperti itu, apa jadinya negara kita?”- KOMPAS, 11 Mei 2014.
Ketahuilah, masih ada kami, anak-anak muda, yang peduli. Dan sayangnya, seringkali hati kami pun miris saat melihat headlines yang sehari-hari terpampang di surat kabar. Korupsi? Bah, hampir makanan cekokan sehari-hari. Yang barusan terjadi, kasus pelecehan seksual di JIS, yang secara tidak mengejutkan mendorong media untuk mengekspos kasus-kasus serupa yang sebelumnya tidak mempunyai nilai berita "tinggi", hati seakan bertanya, "Selengah itu kah penegakkan hukum di negara kita?" Belum lagi, tindakan Kemendikbud dalam menghapuskan segala unsur kampanye tersembunyi dari naskah Ujian Nasional SMP. Naasnya, bukannya dengan sukses dan mantap menutupi adanya nama Jokowi dalam naskah tersebut, pemerintah malah membingungkan murid dengan perintah mengerjakan soal yang tidak bersampul vs yang bersampul, yang bercover vs yang tidak bercover, dan yang bernomor vs yang tidak bernomor.
Dalam buku-buku psikologi yang saya baca, sering disebutkan bahwa tingkat idealisme seseorang saat mencapai umur 16-25 adalah yang tertinggi. Maklumlah, di posisi tersebut, Anda diperhadapkan dengan berbagai jalan yang semuanya penuh dengan kemungkinan. Itu adalah saat-saat dimana seseorang lagi hijau-hijaunya. Apalagi, kita kaum muda belum cukup tahun mengalami hubungan timbal balik antara aksi dan konsekuensi. Ini adalah saat-saat untuk bermimpi setinggi-tingginya.
Ayah saya sudah cukup sinis dengan dunia ini. Sikap beliau sering kali berkonflik dengan pandangan saya. Saya pun dibilang terlalu naif karena mempercai bahwa the world can be a better place (dunia dapat menjadi tempat yang lebih baik), asalkan kita mengusahakannya. Mungkin beliau ada benarnya. Mungkin juga tidak.
Mungkin disitu letak indahnya idealisme anak muda, dengan sigapnya yakin bahwa dengan keteguhan yang cukup, situasi yang ideal pun dapat terciptakan. Apapun faedahnya dalam beridealisme, saya pun tidak tahu. Namun, di tengah kekotoran dan kesuraman politik di negeri ini, tidak ada salahnya untuk masih berharap. Mau berharap dan mau mengusahakan, bagaimanapun caranya dan sesulit apapun medannya, untuk hal yang lebih baik di depan.
Menurut saya, idealisme itulah yang dapat menjadi titik cerah masa depan bangsa. Ayolah, kawan! Memang yang sekarang kotor, bukan berarti yang selanjutnya harus kotor. Kembangkan idealisme, setidaknya....sebelum sinisme pertambahan usia datang menyergap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H