PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) rupanya juga sangat menuntut kaum intelektual untuk senantiasa melakukan perubahan-perubahan sebagai upaya adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Ilmu pengetahuan membuat orang jadi pandai, teknologi telah terbukti memberikan banyak kemudahan, inilah yang menjadi alasan para kaum intelektual untuk berlomba-lomba dalam mengembangkan penemuan-penemuan yang baru melalui penelitian-penetian ilmiah. banyaknya penemuan-penemuan yang baru tersebut memberikan manfaat yang besar baik bagi peneliti perorangan, kelompok, instansi maupun negaranya, selain mempermudah dalam menghadapi tantangan lingkungan, juga dapat dijadikan sebagai penambah khasanah ilmu pengetahuan sehingga dapat menjadi referensi bagi generasi berikutnya serta dapat meningkatkan daya saing bangsa.
Namun tidak semua kaum intelektual selalu ikut berpartispasi dalam melakukan perubahan-perubahan tersebut sehingga berakibat pada penurunan kualitas keilmuan. Pernyataan tersebut di benarkan oleh laporan UNDP (1996) dalam Yunsirno (2011) tentang anggota PBB, termasuk Negara-negara muslim. Disampaikan betapa rendahnya kualitas keilmuan di Negara-negara muslim saat ini. muslim
Dari total 260.000 artikel yang diterbitkan setiap tahun tentang riset sains, hanya sekitar 1% diterbitkan di Negara-negara muslim. Jumlah total alumni S3 atau Ph.D (doktor) yang dihasilkan 450 universitas di dunia muslim setiap tahun hanya lebih dari 500, sementara di Negara inggris jumlahnya mencapai 3.000. jumlah doktor di India saja lebih banyak dari total jumlah doktor diseluruh dunia muslim (Afifah, 2007).
Dilanjutkan dengan data jumlah total insinyur dan ahli sains di dunia muslim malah kurang dari jumlah ahli sains dan insinyur yang bekerja di perancis saja. Padahal penduduk prancis hanya sekitar 60 juta dibading muslim yang mencapai sekitar 1,3 milyar. Dari setiap 1 juta penduduk, jumlah ilmuan atau pakar ilmu AS mencapai 4.000 orang, di Jepang 5.000 orang sementara dunia muslim mencapai 230 orang (Brian, 2007).
Indonesia termasuk dalam salah satu Negara muslim sekalipun penduduk Indonesia terdiri dari berapa Agama namun jumlah penduduk Muslim yang tetap mendominasi. Hal ini berarti bangsa Indonesia tergolong dalam bangsa yang kualitas keilmuannya rendah seperti yang di paparkan pada data tersebut di atas. Kini Indonesia telah dihadapkan pada berbagai macam masalah, baik masalah di bidang sosial, politik, ekonomi, pangan, kesehatan, teknologi dan informasi. Peran mahasiswa sebagai agent of changes disinilah sangat dibutuhkan. Karena mahasiswa dikatakan sebagai kaum intelektualis, tingkatan tertinggi dalam struktur pelajar, dan merupakan penerus pemimpin negara ini. apalah jadinya suatu Negara jika penerusnya tidak memiliki potensi untuk melakukan perubahan.
BAGIAN ISI
Aksi Nyata Mahasiswa Dulu (Pra Kemerdekaan Hingga Kemerdekaan)Â
Mahasiswa berada didepan perubahan sebuah sejarah demokrasi dunia. Mahasiswa merupakan sebuah entitas spirit yang menggunakan intelektualitas dan dialektika yang maha dasyat kekuatannya. Mahasiswa memiliki kekuatan energi yang penuh dengan sifat kreatif, kritis dan dinamis serta kepekaan yang tinggi pada masalah sosial. Gerakan mahasiswa merupakan gerakan murni kepedulian yang penuh dengan analisis intelektual untuk perubahan dari persiapan kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan hingga pada masa reformasi. Mahasiswa masih tetap berada didepan setiap perubahan yang terjadi di bangsa Indonesia (Sinaga,2011).
Mahasiswa Indonesia telah berperan dalam menciptakan perubahan sebelum kemerdekaan NKRI. Hal tersebut dapat terlihat sejak tahun 1908 dengan berdirinya Boedi Oetomo, mahasiswa Indonesia mengadakan persatuan untuk mendiskusikan dan memperjuangkan nasionalisme bangsa Indonesia (Anggili,2011). Dalam artikelnya Anggili (2011) memaparkan bahwa mahasiswa-mahasiswa Indonesia mendirikan organisasi-organisasi pemuda Indonesia, seperti Indoneische Vereeninging, Indische Partij, Indische Sociaal democratische (ISDV) dan lainnya. Berawal dari kebangkitan pemuda yang dimotori mahasiswa tersebutlah, maka pada tanggal 28 Oktober 1928 pada kongres pemuda II, dicetuskanlah "Sumpah Pemuda". Ikrar yang menjadikan seluruh pemuda di Indonesia mengakui bahwa hanya ada satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yakni Indonesia (Hamzah,2010).
Peran gerakan pemuda tidak habis oleh waktu. Sejak tahun 1908, 1928 hingga 1945, pemuda tetap berkobar dengan pemikirannya yang berani dan kritis untuk memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia. Disamping itu, pada tahun 1974 dan 1975 terjadi peristiwa Malari yang juga dimotori oleh mahasiswa lewat demonstrasi besar. Menjelang Pemilu tahun 1977, pergerakan mahasiswa juga mengangkat isu berbagai penyimpangan politik. Gerakan ini telah mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional yang tidak berpihak pada rakyat dan tidak demokratis. Hingga tahun 1978, mahasiswa tetap bergerak dari dalam kampus, sehingga memaksa militer masuk kedalam kampus, dan dihapusnya Dewan mahasiswa (diganti dengan Normalisasai Kehidupan Kampus (NKK) / Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) secara paksa oleh pemerintah) diseluruh Indonesia (Rudin, 2011).
Gerakan mahasiswa pada tahun 1990-an menuntut kebebasan mimbar akademik. Setelah bersatunya seluruh element mahasiswa, setelah sebelumnya dibungkam oleh pemerintah lewat NKK/ BKK. Mahasiswa kembali menyuarakan suaranya. Pada tahun 1998, gerakan mahasiswa menuntut reformasi dan meninggalkan ORBA, yang telah melakukan banyak KKN (korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Lewat pendudukan gedung DPR/MPR, akhirnya mahasiswa berhasil memaksa presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Dan saat itu bangsa Indonesia memasuki sebuah era baru, era reformasi (Anggili, 2011).
Era reformasi mahasiswa mengambil peran sangat besar, sejak awal terjadinya perubahan, hingga pengawalan terhadap perubahan dalam masyarakat akibat reformasi. Gerakan mahasiswa masih tetap berpikir kritis dan memberikan pernyataan sikap terhadap kinerja pemerintah, serta kebijakan-kebijakan. Saat ini peran mahasiswa untuk terus mengawal reformasi masih berjalan.
Kenyataannya, sejak reformasi 1998 ada beberapa perubahan mendasar dan signifikan dalam relatitas sosial politik kita yang telah terjadi:
- Tidak adanya lagi Sosok Tunggal Sang Bapak yang sangat otoriter dan kuat yang bisa menjadi personifikasi kezaliman yang harus dilawan dan menjadi musuh bersama.
- Adanya pemilu yang lebih bebas (golongan putih bukan lagi sebuah 'kejahatan' dan yang tidak terdaftar sebagai pemilih malah bisa memprotes) dan bersih (dapat diawasi bersama-sama, ada penyimpangan tetapi kita kita bisa tahu berapa banyak kasus penyimpangan terjadi, berapa besar suara yang disimpangkan, dan memperkarakan penyimpangan itu).
- Konsekuensi Poin 2, telah hadir pula lembaga perwakilan yang relatif lebih representatif (dalam kaitannya dengan suara rakyat) dan independen (kaitannya dengan pemerintah).
- Hadirnya media yang lebih kuat (saat ini tidak mudah lagi menutup media dalam semalaman saja) dan lebih terbuka dalam melaporkan kondisi.
- Kebebasan berorganisasi yang lebih besar memberi ruang bagi menjamurnya aneka Lembaga Swadaya Masyarakat baik yang didirikan dan dikelola oleh pihak ketiga yang memberikan advokasi, maupun inisiatif masyarakat akar rumput sendiri. Khusus di sejumlah kota besar, profesional menengah atas pun sekarang tidak risih dan bahkan terkesan bangga jika mencantumkan atribut sosial sebagai aktivis LSM.
- Meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat secara umum. Sebagai ilustrasi kasar, supir angkot yang lulusan SMA saat ini lazim ditemui. Akibatnya pula, jumlah kelas menengah (berdasar tingkat pendidikan dan ekonominya) juga telah bertambah.
- Akses informasi dan juga sekaligus saluran aspirasi masyarakat yang lebih meluas dan kian beragam (termasuk internet dan jaringan sosial elektronik) membuat masyarakat juga lebih percaya diri unutk membentuk sikap tertentu serta opini yang beragam dan dinamis (Ver, 2011).
Aksi Nyata Mahasiswa Kini (Era Demokrasi dan Globalisasi)
Keberadaan pemuda memang penting bagi Bangsa Indonesia dalam rangka regenerasi serta upaya mewujudkan cita-cita bangsa. Untuk mencapai kondisi tersebut generasi muda Indonesia harus mempunyai jati diri yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Hal ini ditujukan supaya generasi muda tidak mudah terpengaruh oleh arus informasi global yang belum tentu bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia. Namun demikian, pada saat ini arus informasi global melalui media teknologi informasi diserap dan dicontoh secara "mentah-mentah" oleh generasi muda Indonesia.
Menurut Rudin (2011), mengungkapkan pendapatnya bahawa mahasiswa kini lebih cenderung apatis terhadap masalah-masalah yang melanda bangsa. Hal ini juga dipengaruhi kian maraknya pola pikir kapitalis. Sistem kapitalis yang kian menyeret mereka ke wilayah egosentris. Orientasi mereka pun berubah dari perjuangan demi bangsa ke perjuangan untuk memperkaya diri (Hamzah, 2010). Pendapat yang senada dari Surjomihardjo (2000) bahwa mahasiswa ingin cepat lulus, memanggul gelar sarjana dan cepat bekerja. Oleh karena itu, muncullah ide-ide instant dan tak mau repot. Mulai dari hal yang sangat kecil, seperti mencontek saat ujian, plagiat makalah, dan hingga jual beli skripsi dianggap halal asal nilai memuaskan
Melihat fenomena yang terjadi pada generasi muda saat ini, tidak berlebihan apabila jati diri mahasiswa yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dipertanyakan. Baumassepe (dalam Ifham, 2002) mengatakan bahwa konskuensi dari keraguan akan jati diri generasi muda Indonesia adalah akses bagi generasi muda untuk tampil sebagai pemimpin dan pemuda harapan bangsa sulit didapatkan. Imej mahasiswa sebagai agen perubahan tampaknya sudah mulai memudar.
Disisi lain, kebijakan pemerintah di bidang pendidikan juga mempersulit generasi muda untuk dapat mengakses dan memperoleh pendidikan yang berkualitas dan murah. Sehingga ruang-ruang ekspresi generasi muda di bidang ilmu pengetahuan tidak tersedia dan terlaksana dengan baik.
Pendidikan sebagai salah satu media yang cukup efektif dalam membangun kepribadian dan kreativitas generasi muda hanya menjadi harapan yang sulit mereka peroleh. Hal ini bisa dilihat dari semakin mahalnya biaya pendidikan bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Pendidikan yang berkualitas dan nyaman seolah-olah hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang mampu secara finansial. Dampak lanjutan yang terjadi akibat mahalnya biaya pendidikan di Indonesia menurut Surjomihardjo (2000) adalah perilaku mahasiswa yang cenderung pragmatis. Mereka akan berkalkulasi dengan masa studi yang relatif lebih cepat untuk memperoleh pekerjaan yang baik (gaji tinggi). Meskipun ilmu yang diperolehnya dapat memberikan manfaat kepada masyarakat atau tidak. Hal yang menjadi ukuran adalah dengan biaya pendidikan yang lebih mahal, maka tingkat ego mereka untuk sukses lebih tinggi tanpa melihat lingkungan sekitarnya seperti apa (Anggili, 2011).
Sebuah penelitian pada salah seorang instruktur lembaga terkemuka di Singapura memberikan fakta baru tentang sintem pendidikan formal, dimana 90% dari waktu dan biaya yang diarahkan untuk mendapatkan fakta-fakta dan hitungan matematis, hanya 10% untuk mengembangkan sikap, kemudian Universitas Harvard yang Nomor satu di dunia pun mengugngkapkan bahwa 85% yang menentukan kesuksesan, ketapatan keputusan, promosi jabatan dan lain-lain ditentukan oleh sikap-sikap seseorang. Hanya 15% yang ditentukan oleh kehalian atau komptensi tehnis yang dimilikinya, yang justru mempengaruhi 85% keberhasilan kita (Citra, 2010). Pernyataan tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Charles Scrciber (Buchori Alma, 2001:15) bahwa keberhasilan seseorang ditentukan oleh pendidikan formal hanya sebesar 15 % dan selebihnya (85 %) ditentukan oleh sikap mental atau kepribadian.
Fenomena lain yang mencerminkan perilaku mahasiswa Indonesia saat ini yaitu, maraknya tindakan anarkis dan kekerasan ditubuh mahasiswa Indonesia yang juga menjadi bukti bahwa mahasiswa Indonesia kehilangan arah dalam berpikir dan bertindak. Mahasiswa lebih menyukai cara-cara primitif dalam menyelesaikan sebuah masalah. hal ini di tandai dengan banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang berujung dengan rusuh dan banyaknya tawuran antar mahasiswa (Supriyadi, 2012).
Aksi Nyata Mahasiswa Nanti (Masa Depan Bangsa)
Lembar demi lembar perjuangan telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Keadaan bangsa yang sekarang ini merupakan warisan generasi 20 tahun yang lampau. Citra kejayaan dan keterpurukan bangsa bersatu dalam sebuah drama reformasi yang kian redup dan membawa kita kembali ke masa-masa yang telah berlalu. Peran mahasiswa di zaman sekarang bukanlah lagi mencapai kemerdekaan, ataupun mengangkat senjata untuk menyerbu benteng lawan. Peran riilnya adalah mahasiswa dapat berpartisipasi aktif dalam mewujudkan kestabilan dan kemantapan nasional.
Kini Indonesia telah dihadapkan pada berbagai macam masalah, baik masalah di bidang sosial, politik, ekonomi, pangan, kesehatan, teknologi dan informasi. Disinilah peran mahasiswa edukator sangat diperlukan untuk ikut andil dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang melanda bangsa kita saat ini. peran-peran yang harus di tumbuhkan dalam setiap diri mahasiswa adalah sebagai berikut:
Mahasiswa Sebagai MotivatorÂ
Sebagai generasi intelektual dan sebagai motivator, mahasiswa diharapkan dapat berperan untuk mendorong pembangunan perkenomian di pedesaan. Terutama, dengan disiplin ilmu yang dimiliki selama kuliah di perguruan tinggi, mampu menjadi modal memotivasi masyarakat agar bekerja keras membangun desa. mahasiswa merupakan motivator dan fasilitator pembangunan karena ilmu yang dimiliki, harus diterapkan dalam kehidupan dalam masyarakat di desa. Mengingat mahasiswa adalah generasi penerus bangsa yang mempunyai kualitas baik, maka dituntut untuk selalu bersikap kritis dalam proses pembangunan ekonomi bangsa (Wacik, 2006). Jadi, yang harus dilakukan mahasiswa sebelum banar-benar terjun kepada masyarakat terutama menjadi motivator adalah memiliki sejumlah kriteria, antara lain: kemampuan (ability), kapasitas (capacity), keahlian/kecakapan (skill) dalam berkomunikasi, memotivasi, dan yang lainnya adalah; pengetahuan/wawasan (knowledge); pengalaman (experience); kemampuan mengembangkan pengaruh (influence); kemampuan menggalang solidaritas (Solidarity maker); serta kemampuan memecahkan masalah (decision making) (Haris, 2001).
Mahasiswa Sebagai AkseleratorÂ
Sebagai akselerator, banyak orang mengatakannya sebagai agent perubahan, memiliki ide-ide cemerlang dan kapasitas intelektual, pembangun peradaban, hingga kata-kata lainnya yang menunjukan kepahlawanan mahasiswa. Disebutlah mahasiswa sebagai pengawal kemerdekaan republik Indonesia tahun 45, meruntuhkan rezim orde lama tahun 65, hingga melahirkan reformasi dan meruntuhkan rezim orde baru tahun 98. Semua itu, pada dasarnya adalah sebuah atribut yang melekat pada mahasiswa. Sama halnya dengan kata mahasiswa itu sendiri yang hanyalah berarti sebuah atribut dalam difrensiasi sosial yang terjadi di masyarakat. Mahasiswa pada dasarnya sama dengan kata pedagang, petani, atau pemulung sampah (Firdaus, 2004).
Mahasiswa Kunci Pembangunan Ekonomi Bangsa
Mahasiswa sebagai ujung tombak yang menjelma menjadi sebuah amunisi dari maju mundurnya sebuah bangsa harus senantiasa siap untuk selalu berkiprah dan memberikan sumbangsihnya untuk kemajuan Negara kita. Sebagai mana yang telah diharapkan oleh proklamator tanah negeri ini. Dengan harapan mudah-mudahan semua mahasiswa dan generasi penerus harapan bangsa, dapat menjelma menjadi Bil Gates-Bil Gates masa depan, yang senantiasa menjadi motor pergerakkan kemajuan bangsa. Kalau dulu, pahlawan adalah yang gugur di medan pertempuran, kini pahlawan adalah yang mampu membawa rakyat menuju kesejahteraan yang hakiki. Kita semua tentu berharap para mahasiswa berada kembali di garis depan dalam menaklukkan dan memanfaatkan tantangan global.
PENUTUP
Sekelumit permasalahan yang membelenggu tubuh mahasiswa Indonesia adalah sebuah gambaran bahwasanya pola pendidikan yang ada selama ini telah gagal membentuk mahasiswa Indonesia yang tangguh dan bermoral. Pola kaderisasi yang pro kepentingan politik tertentu membawa mahasiswa selalu berpikir praktis, hal ini dibuktikan dengan banyaknya organisasi-organisasi mahasiswa yang merupakan underbow partai-partai politik tertentu. Sehingga mahasiswa menjadi terkotak-kotak dengan warnanya masing-masing. Faktanya saat ini, kondisi mahasiswa sedang mengalami kemerosotan. Ini disebabkan karena adanya miss management yang terjadi di tingkat elit maupun bawahan. Stagnasi dan ketidakjelasan yang terjadi jelas menelantarkan sebagian aktifis-aktifis mahasiswa yang sebetulnya mempunyai potensi yang cukup bisa diandalkan, sehingga mahasiswa saat ini menjadi pohon yang rindang tetapi tak berbuah atau sebait puisi tanpa kata-kata bermakna.
Agar bangsa dan negara ini tidak semakin terpuruk karena terpaksa mengalami "learned helplessness" seharusnya pemerintah dan masyarakat mampu menumbuhkan motivasi berprestasi tinggi atau dikenal sebagai need for achievement (Mc Clelland). Menurut teori Maslow, manusia Indonesia harus didorong sampai pengembangan motivasi untuk mampu mengaktualisasi diri dan tidak terhenti pada motivasi pemenuhan kebutuhan hidup yang mendasar saja.
Salah satu bentuk konkritnya untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dan tingkat kepekaan mahasiswa terhadap lingkungan terutama masalah-masalah yang melanda bangsa Indonesia saat ini dengan motivasi untuk senantiasa meningkatkan budaya menulis dan reaserch mahasiswa, bukan hanya sebagai provokator dalam melakukan aksi unjuk rasa yang lebih mengutamakan emosi saja. Karena tuntutan globalisasi ke depan bukan lagi mengandalkan otot namun lebih memanfaatkan jasa otak karena disanalah akan muncul kreativitas dan ide-ide cemerlang yang akan mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia serta yang akan mengakhiri sejarah keterpurukan bangsa ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H