Mohon tunggu...
Dymas Saputra
Dymas Saputra Mohon Tunggu... Lainnya - Pendidik

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peran Mahasiswa dalam Meningkatkan Kompetensi Diri Guna Membuat Daya Saing Lulusan dalam Lingkungan Masyarakat

18 April 2024   13:35 Diperbarui: 18 April 2024   13:35 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerakan mahasiswa pada tahun 1990-an menuntut kebebasan mimbar akademik. Setelah bersatunya seluruh element mahasiswa, setelah sebelumnya dibungkam oleh pemerintah lewat NKK/ BKK. Mahasiswa kembali menyuarakan suaranya. Pada tahun 1998, gerakan mahasiswa menuntut reformasi dan meninggalkan ORBA, yang telah melakukan banyak KKN (korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Lewat pendudukan gedung DPR/MPR, akhirnya mahasiswa berhasil memaksa presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Dan saat itu bangsa Indonesia memasuki sebuah era baru, era reformasi (Anggili, 2011).

Era reformasi mahasiswa mengambil peran sangat besar, sejak awal terjadinya perubahan, hingga pengawalan terhadap perubahan dalam masyarakat akibat reformasi. Gerakan mahasiswa masih tetap berpikir kritis dan memberikan pernyataan sikap terhadap kinerja pemerintah, serta kebijakan-kebijakan. Saat ini peran mahasiswa untuk terus mengawal reformasi masih berjalan.

Kenyataannya, sejak reformasi 1998 ada beberapa perubahan mendasar dan signifikan dalam relatitas sosial politik kita yang telah terjadi:

  1. Tidak adanya lagi Sosok Tunggal Sang Bapak yang sangat otoriter dan kuat yang bisa menjadi personifikasi kezaliman yang harus dilawan dan menjadi musuh bersama.
  2. Adanya pemilu yang lebih bebas (golongan putih bukan lagi sebuah 'kejahatan' dan yang tidak terdaftar sebagai pemilih malah bisa memprotes) dan bersih (dapat diawasi bersama-sama, ada penyimpangan tetapi kita kita bisa tahu berapa banyak kasus penyimpangan terjadi, berapa besar suara yang disimpangkan, dan memperkarakan penyimpangan itu).
  3. Konsekuensi Poin 2, telah hadir pula lembaga perwakilan yang relatif lebih representatif (dalam kaitannya dengan suara rakyat) dan independen (kaitannya dengan pemerintah).
  4. Hadirnya media yang lebih kuat (saat ini tidak mudah lagi menutup media dalam semalaman saja) dan lebih terbuka dalam melaporkan kondisi.
  5. Kebebasan berorganisasi yang lebih besar memberi ruang bagi menjamurnya aneka Lembaga Swadaya Masyarakat baik yang didirikan dan dikelola oleh pihak ketiga yang memberikan advokasi, maupun inisiatif masyarakat akar rumput sendiri. Khusus di sejumlah kota besar, profesional menengah atas pun sekarang tidak risih dan bahkan terkesan bangga jika mencantumkan atribut sosial sebagai aktivis LSM.
  6. Meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat secara umum. Sebagai ilustrasi kasar, supir angkot yang lulusan SMA saat ini lazim ditemui. Akibatnya pula, jumlah kelas menengah (berdasar tingkat pendidikan dan ekonominya) juga telah bertambah.
  7. Akses informasi dan juga sekaligus saluran aspirasi masyarakat yang lebih meluas dan kian beragam (termasuk internet dan jaringan sosial elektronik) membuat masyarakat juga lebih percaya diri unutk membentuk sikap tertentu serta opini yang beragam dan dinamis (Ver, 2011).

Aksi Nyata Mahasiswa Kini (Era Demokrasi dan Globalisasi)

Keberadaan pemuda memang penting bagi Bangsa Indonesia dalam rangka regenerasi serta upaya mewujudkan cita-cita bangsa. Untuk mencapai kondisi tersebut generasi muda Indonesia harus mempunyai jati diri yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Hal ini ditujukan supaya generasi muda tidak mudah terpengaruh oleh arus informasi global yang belum tentu bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia. Namun demikian, pada saat ini arus informasi global melalui media teknologi informasi diserap dan dicontoh secara "mentah-mentah" oleh generasi muda Indonesia.

Menurut Rudin (2011), mengungkapkan pendapatnya bahawa mahasiswa kini lebih cenderung apatis terhadap masalah-masalah yang melanda bangsa. Hal ini juga dipengaruhi kian maraknya pola pikir kapitalis. Sistem kapitalis yang kian menyeret mereka ke wilayah egosentris. Orientasi mereka pun berubah dari perjuangan demi bangsa ke perjuangan untuk memperkaya diri (Hamzah, 2010). Pendapat yang senada dari Surjomihardjo (2000) bahwa mahasiswa ingin cepat lulus, memanggul gelar sarjana dan cepat bekerja. Oleh karena itu, muncullah ide-ide instant dan tak mau repot. Mulai dari hal yang sangat kecil, seperti mencontek saat ujian, plagiat makalah, dan hingga jual beli skripsi dianggap halal asal nilai memuaskan

Melihat fenomena yang terjadi pada generasi muda saat ini, tidak berlebihan apabila jati diri mahasiswa yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dipertanyakan. Baumassepe (dalam Ifham, 2002) mengatakan bahwa konskuensi dari keraguan akan jati diri generasi muda Indonesia adalah akses bagi generasi muda untuk tampil sebagai pemimpin dan pemuda harapan bangsa sulit didapatkan. Imej mahasiswa sebagai agen perubahan tampaknya sudah mulai memudar.

Disisi lain, kebijakan pemerintah di bidang pendidikan juga mempersulit generasi muda untuk dapat mengakses dan memperoleh pendidikan yang berkualitas dan murah. Sehingga ruang-ruang ekspresi generasi muda di bidang ilmu pengetahuan tidak tersedia dan terlaksana dengan baik.

Pendidikan sebagai salah satu media yang cukup efektif dalam membangun kepribadian dan kreativitas generasi muda hanya menjadi harapan yang sulit mereka peroleh. Hal ini bisa dilihat dari semakin mahalnya biaya pendidikan bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Pendidikan yang berkualitas dan nyaman seolah-olah hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang mampu secara finansial. Dampak lanjutan yang terjadi akibat mahalnya biaya pendidikan di Indonesia menurut Surjomihardjo (2000) adalah perilaku mahasiswa yang cenderung pragmatis. Mereka akan berkalkulasi dengan masa studi yang relatif lebih cepat untuk memperoleh pekerjaan yang baik (gaji tinggi). Meskipun ilmu yang diperolehnya dapat memberikan manfaat kepada masyarakat atau tidak. Hal yang menjadi ukuran adalah dengan biaya pendidikan yang lebih mahal, maka tingkat ego mereka untuk sukses lebih tinggi tanpa melihat lingkungan sekitarnya seperti apa (Anggili, 2011).

Sebuah penelitian pada salah seorang instruktur lembaga terkemuka di Singapura memberikan fakta baru tentang sintem pendidikan formal, dimana 90% dari waktu dan biaya yang diarahkan untuk mendapatkan fakta-fakta dan hitungan matematis, hanya 10% untuk mengembangkan sikap, kemudian Universitas Harvard yang Nomor satu di dunia pun mengugngkapkan bahwa 85% yang menentukan kesuksesan, ketapatan keputusan, promosi jabatan dan lain-lain ditentukan oleh sikap-sikap seseorang. Hanya 15% yang ditentukan oleh kehalian atau komptensi tehnis yang dimilikinya, yang justru mempengaruhi 85% keberhasilan kita (Citra, 2010). Pernyataan tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Charles Scrciber (Buchori Alma, 2001:15) bahwa keberhasilan seseorang ditentukan oleh pendidikan formal hanya sebesar 15 % dan selebihnya (85 %) ditentukan oleh sikap mental atau kepribadian.

Fenomena lain yang mencerminkan perilaku mahasiswa Indonesia saat ini yaitu, maraknya tindakan anarkis dan kekerasan ditubuh mahasiswa Indonesia yang juga menjadi bukti bahwa mahasiswa Indonesia kehilangan arah dalam berpikir dan bertindak. Mahasiswa lebih menyukai cara-cara primitif dalam menyelesaikan sebuah masalah. hal ini di tandai dengan banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang berujung dengan rusuh dan banyaknya tawuran antar mahasiswa (Supriyadi, 2012).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun