Ternyata, Danau Toba tidak memberikan jaminan ketersediaan air (bersih) bagi masyarakat di Pulau Samosir. Desa Parmonangan yang ada di kecamatan Simanindo misalnya, baru-baru ini dikabarkan krisis air bersih (22/3/21). Meski perangkat desa telah mencoba membuat sumur galian atau bor, air bersih tetap saja sulit didapat. Masyarakat desa menggantungkan harapan akan air bersih pada hujan, air kemasan, dan pemerintah Samosir lewat mobil tanki air.Â
Hal yang hampir senada pernah saya alami dan amati sendiri ketika kerasulan di Kecamatan Ronggur Nihuta (satu kecamatan di Kabupaten Samosir). Saya tinggal di rumah Pak Camat yang juga seorang pengurus gereja di stasi Ronggur Nihuta. Boleh saya katakan bahwa kecamatan ini berada di puncak Pulau Samosir dan dari sini, tidak tampak lagi Danau Toba, sudah seperti dataran biasa. Suhu di sini tergolong dingin dan kering.
Ternyata, sudah cukup lama hujan tidak turun di kecamatan ini. Pasokan air bersih semakin sedikit. Masyarakat sungguh merasa kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan memasak, minum, mandi, dan sebagainya. Pasalnya, sungai dan air terjun (kecil) hampir berhenti mengalir.Â
Memang, di beberapa tempat masih ada beberapa kolam yang tidak terlalu luas dan boleh dikatakan airnya tidak terlalu kotor. Inilah yang dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk keperluan sehari-hari. Dari sini mereka mengambil air untuk dibawa ke rumah. Di tempat yang sama pula mereka mencuci pakaian dan ada pula yang mandi.
Pak Camat pun turut terlibat menjamin distribusi air bagi keluarga yang kesulitan mengakses air. Mobil tanki air datang membawa beberapa liter air yang diambil dari Danau Sidihoni (danau yang dijuluki 'Danau di atas danau', berada di Desa Salaon Toba, Kecamatan Ronggur Nihuta). Danau ini dapat dikatakan sebagai 'gudang air' ketika musim kemarau atau pancaroba melanda kecamatan ini, walau air tidak terlalu bersih sebab di sini masih ada masyarakat yang MCK (mandi cuci kakus). Akan tetapi, dalam keadaan yang sulit, hal itu menjadi masalah berikutnya.
***
Bagi masyarakat yang tinggal di pinggiran danau, barang kali perkara air tidak terlalu sulit. Mereka dapat membuat saluran air dari danau ke rumah sendiri. Bahkan, ketika musim kemarau, air masih bisa dijangkau dengan mudah. Tapi, bagi masyarakat yang tinggal di daerah dolok (dataran yang lebih tinggi) Samosir, pasokan air bisa menjadi terancam, terlebih pada musim kemarau. Begitulah kegiatan yang saya alami dan saksikan selama kurang lebih 2 minggu. Di sinilah saya begitu merasakan betapa mahalnya air.Â
Selama ini, saya hanya bersimpati kepada orang di daerah tertentu karena kesulitan mendapatkan air bersih. Saya hanya menonton dan terenyuh, tanpa merasakan penderitaan mereka, terutama yang ada di Afrika sana. Kini saya merasakan dan mengalaminya langsung. Pernah juga di sebuah cuplikan video, saya melihat bagaimana mereka memanfaatkan air bekas dari hewan peliharaan untuk dikonsumsi. Miris, bukan?
***
Kalau saya bandingkan pengalaman dua minggu yang tanpa air, belum ada apa-apanya dengan mereka yang sekarat berpuluh-puluh tahun karena tidak bisa menikmati setetes air bersih. Dalam kehidupan normal, kalau berkata jujur, terkadang saya masih lalai untuk menghargai air. Misalnya, kadang kran kamar mandi tidak tertutup rapat, banyak air yang terbuang kalau mencuci, bila ada pipa yang bocor didiamkan, dan abai kalau ada benda kotor di penampungan air. Egois, bukan?
Kemahalan air bukan hanya ada pada label rupiahnya. Kemahalan air berada pada kesulitan untuk mengakses, menikmati, dan menyimpannya. Akan menjadi lebih mahal lagi, ketika air bersih sudah sangat tercemar, kotor, dan bau. Sedangkan ikan saja dapat mati kalau ditempatkan di air seperti ini, apalagilah manusia. Tidak bisa dibayangkan betapa banyak penyakit yang timbul. Lebih parahnya, organ tubuh bagian dalam terinfeksi dan akhirnya tak berfungsi lagi. Matilah...