[caption id="attachment_220174" align="alignnone" width="75" caption="bi.go.id"][/caption] Kejadiannya di C****mart Empang Tiga, Jaksel, belum lama ini. Begitu aku keluar minimarket itu, sehabis beli barang keperluan sehari-hari, aku "ditodong" tadahan tangan seorang pengemis. Seorang perempuan usia 30-40-an. Aku menolak dengan baik-baik. Dia menunggu di depan pintu kaca. Tak lama kemudian, mbak kasir keluar menyodorkan uang. Setelah menerima uang, pengemis itu kembali "menodongku" dengan tadahan tangan berisi koin pemberian dari toko tersebut. Ketahuan, jumlahnya Rp 200. Aku kembali menolaknya. Beberapa detik kemudian... Sebuah "insiden" kecil yang benar-benar mengejutkanku: uang Rp 200 itu dicampakkannya dengan keras ke lantai semen! Pengemis itu pun berlalu. "Astaghfirullah!" aku terkaget-kaget dalam hati. Bukan kaget karena bunyi uang dihantamkan ke lantai beton, melainkan kaget karena pengemis itu tak punya rasa syukur atas pemberian kecil itu. (Aku membayangkan pengamen di bus atau kereta, yang menerima recehan-demi recehan. Dia kumpulkan, menjadi banyak, dan bisa menghidupi atau sekadar untuk uang saku hariannya). Ya Allah, aku bersyukur tadi sudah menolak memberi pada pengemis profesional itu. Kalau ternyata yang dicampakkan itu uangku yang baru diberikan padanya, jelas, aku benar-benar tersinggung! Selanjutnya, terserah anda. Menjelang Ramadhan, apakah anda akan memberikan sedekah pada pengemis profesional --yang biasanya makin ramai di bulan suci ini-- atau pada sebuah badan yang mengelola uang ZIS (zakat-infaq-shodaqoh) secara profesional. Pilihannya terserah pada anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H