Mohon tunggu...
Tian Nugraha
Tian Nugraha Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada

Sebarkan Kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Keamanan Berbasis Institusionalisme Liberal untuk Menjaga Kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan

31 Mei 2024   23:28 Diperbarui: 1 Juni 2024   00:06 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini menghadirkan argumentasi penulis mengenai keamanan dan kedaulatan negara yang dapat dicapai melalui kerangka Institusionalisme Neoliberal (Neoliberal Institutionalism), terkhusus dalam konteks menjaga kedaulatan wilayah Indonesia yang berkonflik di Laut China Selatan (LCS). Penulis menghadirkan kerangka Institusionalisme Neoliberal sebagai kerangka analisis untuk mendalami strategi pemecahan masalah konflik yang terjadi di LCS. Melalui Institusionalisme Neoliberal, konflik dapat diselesaikan melalui kerjasama di antara negara-negara yang berkonflik.

Keamanan Tradisional: Realisme dan Liberalisme

Mengacu pada Smith (2020) bahwa perspektif realisme dan liberalisme -dalam Internasional Security Studies- berada dalam satu payung di bawah keamanan "tradisional". Mereka berbagi pemahaman yang sama mengenai negara sebagai satu-satunya objek analisis utama. Dengan kata lain, pendekatan tradisional dalam kajian keamanan cenderung memusatkan perhatian pada negara sebagai aktor sentral dan fokus utama dalam analisis keamanan. 

Dalam pandangan realis, kemampuan militer sebagai akumulasi kekuasaan merupakan hal yang penting. Termasuk kekuatan militer yang berguna bagi kelangsungan balance of power. Fenomena realis mengenai balance of power dapat ditemukan dalam konteks penerjunan militer dan kerjasama militer untuk mengamankan kepentingan masing-masing di LCS (Sarah dkk., 2022). 

Sementara, pandangan liberal mengedepankan kerjasama antar negara-negara. Liberal juga hadir untuk menentang konsep balance of power (Doyle, 1983:206). Liberal meyakini bahwa kerjasama, diplomasi, dan lembaga-lembaga internasional dapat menjadi alternatif yang lebih baik daripada strategi balance of power untuk menciptakan perdamaian dunia.

Pendekatan realis yang selama ini digunakan oleh negara-negara yang berkonflik belum menyelesaikan permasalahan yang terjadi di LCS. Penulis menawarkan cara pandang liberal yaitu Institusionalisme Neoliberal dalam melihat permasalahan ini. Institusionalisme Neoliberal berfokus pada dimensi ekonomi kerjasama dengan menentang pemikiran neorealis mengenai kerjasama yang tidak dimungkinkan untuk terjadi di antara negara-negara dikarenakan kondisi anarki internasional (international anarchy) (Smith, 2020:21). 

Pendekatan ini juga melihat kekuatan militer sebagai alat kebijakan luar negeri sedang mengalami penurunan karena negara-negara internasional memfokuskan pada kerjasama ekonomi untuk menghadapi globalisasi (Keohane & Nye, 2001).

Memperdalam Konteks: Konflik Laut China Selatan

Klaim atas wilayah menjadi isu kunci dalam konflik ini. Padahal hukum internasional telah mengatur batas yuridiksi wilayah laut melalui United Nations Conventions on the Law of The Sea (UNCLOS) 1982. Namun, ketegangan terkait klaim Nine-Dash Line (NDL) meningkat pada tahun 2009 ketika Tiongkok secara resmi mengajukan peta klaim tersebut kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, walaupun secara hitoris klaim Nine-Dash Line pertama kali diajukan oleh Republik Tiongkok pada tahun 1947 dan kemudian diadopsi oleh Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949. Nine-Dash Line atau Sembilan Garis Terputus merupakan garis yang menunjukkan batas teritorial Tiongkok di Laut China Selatan yang menjustifikasi kepemilikan Tiongkok atas Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, dan pulau karang di Laut China Selatan (Johannes, 2023).

Bila mengacu pada keputusan Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2016, klaim NDL Tiongkok tidak memiliki dasar hukum yang kuat (Koesmawardhani, 2016). Putusan tersebut diajukan oleh Filipina selaku negara yang keberatan atas terganggunya kedaulatan negara tersebut. Namun, Tiongkok menolak sepenuhnya atas gugatan yang diajukan oleh Filipina.  Bahkan, bukan hanya Filipina yang terganggu atas klaim NDL, melainkan Indonesia, Vietnam, Malaysia, dan Brunei.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun