Pagi adalah batas, dan tentu hari butuh realitas meskipun mentari merupa tapal batas mimpi. Dan, pagi ini saya bangun kesiangan, jam tergantung diatas lemari di dinding menunjukan jam 08.45, begitu keluar dari kamar mandi, ada kopi, rokok yang hanya tinggal tiga batang sisa malam tadi, koran lokal yang masih terikat dengan gelang karet tersedia di meja makan. Realitas pagi ini yang tersedia di halaman depan koran, Hadiah Ulang Tahun Kota Bengkulu. Petingginya dijadikan tersangka kasus korupsi bantuan sosial. Saya tidak terlalu excited baca berita ini. Selain tidak ada hubungannya secara langsung dengan saya, berita ini biasa-biasa saja. Karena setiap hari berita-berita serupa disajikan oleh berbagai media, tentu lokus dan fokus korupsinya macam-macam, tetapi tetap saja korupsi. āpenetapan tersangka itu sama seperti proses bersalin untuk kelahiran koruptor lainnyaā kata istriku.
Hari ini, saya dan teman-teman menuju Timur Bengkulu, ada dua Kabupaten yang akan kami sasar, pertama tentu akan mengunjungi Kabupaten Rejang Lebong, Desa Tebat Pulau dan Air Pikat. Ini kunjungan untuk kesekian kalinya, kali ini saya akan memperkenalkan dua orang baru yang akan terlibat pada program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang telah saya dan teman-teman laksanakan sejak 4 tahun. Sekaligus memperkenalkan kepada mereka, iya mereka berdua. Ā Paling tidak pada kunjungan perdana ini bisa membantu stage of mind bagi aktivitas mereka selanjutnya. Orang dua ini memiliki tipe yang sedikit berbeda, tidak hanya perbedaan dari jenis kelamin. Basis intelektual berbeda, yang satu basis hukum dan satunya basis sosial. Persamaannya adalah sama-sama pintar, logis dan punya semangat yang luar biasa untuk terlibat pada kerja-kerja pembebasan. Persamaan inilah yang aku suka.
Titik nol keberangkatan ini adalah Rumah Akar, rumah tempat kami beraktivitas, sebuah rumah tua yang statusnya masih kami sewa, saya betah di rumah ini selain tersedia beberapa buku. Dan buku-buku ini seperti pajangan saja, kasian sekali jarang disentuh. Ruangan perpustakaan ini luar bisa panasnya. Sebelum berangkat kami diskusi singkat mengenai agenda selama 2 hari di timur Bengkulu. Kami mulai dengan mengantar pulang salah seorang keuangan Akar, biasanya dia selalu ikut dalam perjalanan seperti ini, Yelita nama Keuangan Akar ini, kami antar dia pulang sambil menjemput Dinar. Iya, Dinar namanya lengkapnya Pramesty Ayu Kusdinar. Dia masih kuliah, mahasiswi yang agak āanehā, penyuka buku-buku sastra, terobsesi pada pembebasan perempuan yang katanya semakin tengelam dalam pusaran patriarki. Dan, terobsesi dengan orang Batak yang berbintang Cancer. Dari kesukaannya saya tahu dia tentu tidak suka sastra surealis. Dia sepertinya lebih suka hal-hal yang berterus terang tapi romantis. SayaĀ sudah lama kenal dia, itu sejak dia aktif melakukan pembelaan pedagang pasar subuh, karena itulah saya membuka diri untuk terlibat bekerja sama dengan dia, ada banyak hal yang bisa dipelajari dari sikap, ucap dan bacaan perempuan yang berbintang Taurus ini. Taurus, dalam kajian astrologi tentu tidak cocok bersatu dengan Cancer.
Lelaki satunya adalah Satria Budi Pramana, kami biasa pangil dia Bram. Hidupnya dihabiskan dengan setumpuk buku-buku hukum. Awalnya, ketika awal-awal kenal, saya tahu dia pembela positivisme hukum. Setelah ketemu dengan banyak masyarakat yang sebagian besar adalah korban dari positivisme, cara pandangnya berubah total, dia menyakini bahwa hukum positive ini biang dari kerancuan hukum dan kekacauan sosiologis. Dia mulai memalingkan mukanya pada pluralisme hukum, bahwa pluralisme hukum, termasuk hukum adat dan hukum rakyat adalah hukum yang bisa memastiakan konsef keadilan dan keseimbangan sosiologis karena hukum model begini hidup dan berkembangan dinamis seiring perkembangan manusia meskipun sifatnya sangat lokalistik. Hubungan sistem hukum dengan manusia mutualisme simbiosis, manusia melahirkan hukum untuk dirinya, lalu hukum membuat sistem āperekayasaanā sosial manusia, ini pendapat terakhir Bram, dan ini sangat kuat dan melekat dalam di alam pikiran intelektualnya.
Beriring dengan lagu Try and Love Again-nya The Eagles dan lengkingan Adele di lagu Someone Like You, kami berlima menuju Curup Rejang Lebong, dan saya yang bawa mobil. Dari kaca spion yang tergantung di depan saya lihat wajah mereka seperti kepiting rebus, mereka tentu kepanasan. Mobil boros yang saya punyai ini tidak ber-AC, tepatnya ACnya dimatikan karena terlalo boros BBM. Sepanjang jalan saya banyak bererita tentang pengalaman lapangan, Dinar duduk di samping kiri. Dia tentu binggung dengan alur cerita saya yang loncat-loncat. Setelah pengisian BBM di salah satu SPBU di Bengkuu Tengah, Bram yang duduk tepat belakang saya mulai merah dan berair matanya. Dia pemabuk, tentu tidak appropriate dengan tubuhnya yang tinggi besar dan berewokan.
Kami sampai di areal pengunungan, disepanjang jalan banyak sekali petani yang berjualan durian, ini komoditas utama Bengkulu Tengah, kami akhirnya berhenti di salah satu penjual durian, dia seorang ibu. Ibu muda, cantik dan manis. Dia duduk dan menawari durian dagangannya, suami dan anaknya tidak kelihatan. Saya tidak tahu apakah Dinar yang pegiat Perempuan mampu melihat posisi dan kondisi ibu ini. Bukankah dulu saya pernah cerita dengan Dinar soal bagai mana āmembaca yang tidak tersurat dan mendengar yang tidak terucapā, ini kearifan falsapah aplikatif di kampung. Ibu pedagang durian ini bukan hanya duduk dan berjualan durian, tetapi dia memposisikan peran dirinya sebagai perempuan yang berjualan untuk menghidupi keluarganya. Saya berpikir jangan-jangan suaminya sedang tidur siang atau berjudi atau jangan-jangan istrinya yang cantik dan terbuat dari tulang rusuk ini telah bermetamorposa menjadi tulang punggung. Atau, dialah bentuk nyata kesetaraan gender yang setiap hari kita diskusikan. Lalu, saya hilangkan pikiran itu, durian yang dibelahnya berwarna kuning, baunya masuk lewat hidung dan berhenti di paru-paru, segera direspon otak, lalu secara biologis muncul perintah ke tanganku untuk memasukan segera durian ini kemulut. Begitu masuk mulut, aroma rasanya segera menyebar, sensasi sebarannya membuat kita terus mensuplai durian ini ke dalam mulut, saya berhenti ketika kepala mulai pusing dan kepanasan, ini reaksi penolakan tubuh akibat dari trigliserida, salah satu jenis lemak yang terdapat dalam darah dan berbagai organ dalam tubuh. Dari sudut ilmu kimia, trigliserida merupakan substansi yang terdiri dari gliserol yang mengikat gugus asam lemak dan terdapat dalam durian yang berpotensi terbentuknya aterosclerosis pada pembuluh darah.
Melihat tanda-tanda pengaruh trigliserida, wajahkupun memerah. Hesty, perempuan yang berkawat giginya, dia ini adalah aktivis Akar dan kunjungan kali ini merupakan kunjungan yang kesekian kali ke wilayah Timur Bengkulu. dia lalu segera berhitung dengan perempuan pedagang durian yang cantik ini. Dia bayar, dan ibu itu tertawa karena tidak saya dengar negosiasi harga seperti ibu-ibu yang harus berhitung hemat di tengah naiknya semua kebutuhan dasar ini.
Udara mulai dingin , kami memasuki perbatasan Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kepahiang. Di gapura tapal batas yang dibuat semegah mungkin itu, Ā sayangnya di tumbuhi tanaman parasit eksotik, kebanyakan berjenis mistletoe atau loranthus. Sepertinnya tidak pernah dibersihkan, saya bercanda dengan Dinar dan Bram. āinilah bentuk Pemerintahan Daerah yang Pro Greenā mereka tertawa. Udara mulai stabil, dinginnya segar, udaranya bersih dan sepanjang jalan hutan dan kabut karena wilayah ini termasuk dalam hutan montana(montane forest), salah satu formasi hutan tropika basahyang cirinya, hutan ini kerap diselimuti awan pada ketinggian atap tajuk, saya lebih suka menyebutnya hutan kabut atauhutan awan(cloud forest). Akibat langsung ke tubuh adalah respon otak dan perut menyatu, terobsesi pada makanan.
Habis magrib, kami sampai di Desa Air Pikat, desa ini berada di buffer zone hutan lindung Bukit Daun salah satu desa yang kami dampingi untuk reposisi ruang kelola rakyat di sana sejak 4 tahun lalu. Kami langsung menuju rumah Magdalena, dia adalah perempuan yang pertama kami saya kenal ketika kunjungan pertama saya, hubungan kami belakangan ini tidak hanya seperti pendamping dengan masyarakat dampingan, tetapi lebih kuat dari itu, dia dan tentu saja teman-teman lain sudah seperti bagian dari kami. Ikatan ini sangat kuat. Begitu kami sampai, kami langsung di sediakan makan malam. Sore tadi dua ekor ayam peliharaan anaknya yang baru saja mengalami kecelakaan di potong demi menyuguhi makan malam kami. Udara dingin dan memang sudah lapar kami makan dengan lahapnya. Setelah makan malam kami duduk, mengobrol dan menikmati kopi produk tangan kecil dan kasar Magdalena. Ibu ini banyak cerita, dia Ā single parent penyebabnya karena ketidaknyamannya terhadap maskulinitas. Setelah lama beraktivitas di Akar, lembaga yang saya bentuk 9 tahun lalu, dia juga satu-satunya perempuan adat yang dimiliki Bengkulu dan kemudian bergabung di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Jujur, sayalah yang merekomendasikan dia beraktivitas di AMAN. Ternyata, luar biasa peningkatan pemahaman, kapasitas dan sikap dia terhadap hidup. Dia banyak bercerita tentang pengalaman dan interaksinya bersama masyarakat adat Talang Mamak, Suku Anak Dalam, Suku Using, Kepercayaan Karingan, Rejang dan dia dengan lancar menjelaskan posisi perempuan dalam struktur adat. ārevitalisasi peran perempuan merupakan keniscayan yang harus dilakukan, agar perempuan adat tidak larut dalam subordinat patriarki baik di wilayah publik maupun wilayah domestikā katanya sambil menyulut asap rokok kretek kesukaannya.
Tentu saja di kediaman Magdalena ini, ada Em Dahril. Si ice breaker, cenderung white lie atau ada juga yang bilang dia si angin surga. Saya meyakini bahwa darah Akar lebih kental dalam dirinya dibanding saya sebagai pendiri Akar. Dialah yang paling besar kontribusinya terhadap suksesnya program reposisi ruang kelola rakyat dalam kawasan hutan negara ini. Dialah yang pertama kali menerima Stap Akar yang aku kirim di tahun 2010 lalu dan dialah, tentu dengan kepasitas ārayuan parian white lieā bawaan orok mampu menkonsolidasi 1.200 KK desa yang tesebar di 6 Desa. Luar biasanya. Dinar, mampu menarik hati Magdalena dan Em Dahril, Dinar ini belum sembuh total dari kecelakaan yang dialaminya tahun lalu. Dia masih berjalan dengan bantuan tongkat, cuaca dingin membuat tulang-tulangnya ngilu. Magdalena sibuk, dia berjanji akan mencari obat kampung untuk mengurangi Ngilu tulang Dinar.
Malam ini kami menginap di kediaman Em Dahril, desa tetangga berjarak 5 km dari kediaman Magdalena. Desa Em Dahril ini dulunya dikenal dengan petalangan Karang Jaya, secara legal adminsitratif namanya Desa Tebat Pulau. Desa Tebat Pulaulah simpul dan lokus konsolidasi 6 desa ini, fokusnya tentu di kediaman Em Dahril, semua kami yang pernah ke sini memangi dia Kak Em. Semakin malam cuaca semakin dingin kami mengobrol sampai larut malam. Hanya Dinar yang keluar kamar, katanya tidak bisa tidur, sempat kuatir saya jangan-jangan tulangnya semakin ngilu. Malam ini Em Dahril banyak cerita dengan Bram dan Dinar tentang suka dukanya ketika melakukan konsolidasi sampai pengurusan izin kelola bagi masyarakatnya. Salah satu pengalaman lucu yang dia ceritakan ketika sering kali masyarakat bertanya dengan Stap Lapangan Akar. Namanya Rahabilah Firdha. āapa akronim atau kepanjangan dari Akar?ā karena memang tidak ada akronim maka tidak ada jawaban, tetapi justru karena itu pertanyaan itu semakin sering di pertanyakan. Ketika tengah malam, cerita Kak Em. Karena kecapekan pertanyaan itupun di jawab oleh Rahabilah āakronim Akar itu Anak Kurang Ajar!ā jawaban spontan itu membuat masyarakat yang sedang berkumpul di kediaman Kak Em tertawa. āia, itu karena Akar ini yang mau berlama-lama, bersusah-susah bersama untuk pembebasan rakyat, apalagi mau menguasai hutan yang sudah menjadi milik Negara maka Akar itu seperti Anak Kurang Ajarā jelas Rahabilah. Jawaban ini efektif kata Kak Em, setelah itu tidak ada yang bertanya apa akronim Akar.
Malam itu menunjukan jam 02.45. Saya harus tidur, karena pagi besok kami harus ke Kabupaten Lebong, saya dipangil Bupati untu berdiskusi tentang Lebong ke depan. Celakanya, malam ini saya tidak bisa tidur. Dengkuran Bram diatas 6 x 10ā¶ N/mā¶ dalam dB-SPL (dB Sound pressure level). Ini menganggu telinga dan kelopak mataku, kelopak mataku seperti hi-hat (2 cymbals) pada alat drum setiap kali merespon dengkuran Bram. Menjelang pagi saya pindah ke kursi yang ada di ruang tamu rumah Kak Em. Dinginnya pagi membuat mataku tetap siaga.
Jam 10.00 pagi kami pamitan dengan Kak Em, dan berjanji akan ketemu malam nanti di Kota Curup. Dia dan Magdalena akan memberikan obat anti Ngilu ke Dinar, telur ayam sembilan biji. Saya berjanji akan mengantikan nominal untuk sembilan biji ini, begitulah biasanya adat dengan orang-orang pintar atau dukun kampung, ini agar khasiatnya tidak luntur dan keampuhan ritual dan jampi-jampi berfungsi dengan baik.
Kami menuju Lebong, saya yang bawa mobil, perjanjiannya Bram akan bawa mobil ketika kami pulang nantinya. Kami pilih rute lewat Bermani Ulu, melewati beberapa kampung tampak senyum damai penduduknya. Sebaran sawah dan petani yang sedang bekerja membuat saya ingat ibuku, petakan dan dangau kecil tengah sawah bak setapak rindu yang mampu melegahkan raga lelah. Kami memasuki wilayah Kabupaten Lebong. Cek point pertama kami di Danau Tes tetapi masih di wilayah Desa Kota Donok, Desa leluhurku. Kami berlima duduk di bangku bambu yang disediakan oleh ibu-ibu yang ramah menyapa kami. Menyapa dengan cara komunikasi masyarakat perkampungan Lebong. Di tengah danau tampak nelayan dengan perahu kecilnya mengais rezeki. Saya bercerita tentang mitos Danau Tes, ular kepala tujuh sampai terowongan kuno yang menembus sampai Desa Tapus, Desa tempat ibuku menumpahkan darah pertamaku. Sambil duduk, di ujung bangku. Aku suruh Dinar healing dengan teknik relaksasi sederhana. Pejamkan mata, tarik napas dalam-dalam dan pelan, kosongkan pikiran, lalu biarkan berlahan bayangan apa saya muncul dan nikmati sensasinya. Ini peyederhanan meditas vipassana.
Kami sampai di Muara Aman, pusatnya ekonomi Kabupaten Lebong kami makan siang. Lalu ketemu dengan teman seperjuangan saya, namanya Kamedan āekaā Wijaya. Setalah makan kami langsung menuju Rumah Dinas Bupati Lebong. Kami langsung masuk tanpa protokoler, tidak ada pertanyaan dari penjaga yang piket, dan duduk-duduk santai diruang tamu. Kami harus menunggu 3 jam di ruang tamu rumah Dinas Bupati ini. Saya mulai kesal, tetapi masih bertahan, Bupatinya sedang istirahat dan anehnya kami dibiarkan bebas saja di rumahnya. Ini ternyata aksi balas dendam, paginya dia sudah 3 jam juga menunggu kedatangan kami. Setelah keluar kamar dia langsung mendatangi saya dan minta maaf sambil tertawa, lalu saya dan rombongan di ajak ke areal kolam yang baru saja dia bangun. Saya diajak satu mobil dengan dia, ketika mau menaiki mobil mahal bermerk Rubicon. Saya tidak bisa buka pintu, Bupati lalu turun dan membuka pintu, di dalam mobil dia tertawa dan bilang āselama menjadi Bupati baru kali inilah saya yang menjadi pembuka pintu mobilā. Sampai di areal Kolam sudah banyak orang yang menunggu dia, aku hitung tidak kurang dari 20 orang. Saya langsung minta waktu bicara 4 mata, kami masuk kamar sederhana berdinding bambu dan kami berdiskusi tentang Lebong ke depan termasuk soal Pilkada. Tidak lama, kami diskusi cuma sekitar 30 menit. Kemudian saya langsung pamit pulang ke Bengkulu.
Kami pulang ke Bengkulu menjelang Magrib, awalnya cuaca cerah namun ketika pertengahan jalan hujan turun dengan deras dan berkabut jarak pandang cuma 2 meter. Bram yang mulanya bawa mobil menyerah. Kendali stir pindah tangan, sayalah yang kemudian bawa mobil, Dinar yang duduk disamping sibuk menyapu dan membersihkan kabut di bagian dalam kaca mobil. Sejujurnya saat itu saya mengalami regresi psikologis, takut dengan kondisi berkabut dan jarak pandang yang terbatas, tapi saya coba merekaya ketakutan ini dengan tertawa dan cerita, dan mereka yang didalam mobil tidak tahu betapa takutnya saya. Sekitar 15 km kami harus melewati jalan gelap berkabut ditengah derasnya hujan. Kami sampai di Kota Curup jam 8 malam, malam ini Curup gerimis dan mendung. Kami langsung ketempat makan, tempat dimana kami berjanji akan ketemu Kak Em dan Magdalena. Habis makan dan serah terima obat lengkap dengan cara meminumnya oleh Kak Em kami menuju ke Bengkulu.
Sampai di Kepahiang kami mesti mengantar Hesty yang mau menghabiskan weekend dengan keluarganya. Di mobil ada 4 orang dan saya pindah duduk di Belakang. Elsa temannya Dinar mengantuk berat tapi tidak bisa tidur nyenyak, saya lalu merelakan bagian tubuhku untuk tempat dia bersandar dan tidur. Kami sampai Bengkulu jam 12.00 setelah mengantar Bram, saya harus mengantar Elsa dan Dinar. Elsa saya drop off di tempat kosannya. Dan Dinar langsung saya antar ke Ibunya, dalam perjalanan pertanyaan saya ke Dinar āapa pelajaan dan pengalaman penting selam perjalanan singkat ini.?ā Jawabanya sederhana sekali dia rindu Kak Em dan Magdalena, saya tertawa dalam hati, ini permulaan yang bagus, ikatan emosionalnya mulai terbangun dan ini awal yang baik buat pendamping lapangan meskipun terbagunnya lewat telur 9 biji. Malam ini tentu kami tidur dengan pulas di rumah masing-masing.
Catatan perjalanan, 18-19 Maret 2015 Rejang Lebong dan Lebong
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H