Pemilihan umum atau pemilu dilambangkan sebagai bertanda adanya demokrasi pada suatu negara yang menganut asas demokrasi. Sejatinya pemilu ialah suatu demokrasi yang tidak langsung. Dimana dalam konteks ini, dengan melalui pemilu suara rakyat mengantarkan pada pilihan mereka untuk memilih pihak yang akan mewakilinya dengan mekanisme atau proses pemilihan ini. Terhitung sejak negara Indonesia merdeka telah diadakan sebanyak 13 kali pemilu sampai tahun 2024 ini, dan tentu dalam prosesnya mengalami dinamika yang berbeda pada tiap rezimnya.
 Mengenai pemilu, terdapat ketentuan-ketentuan pada tiap-tiap rezim yang berkuasa. Salah satunya ialah ketentuan pada hak pembatasan dalam memilih dan dipilih. Fenomena pembatasan partisipasi dalam pemilu tentu menjadi pro dan kontra. Hak memilih dan dipilih seharusnya merupakan hak alami yang telah ada di dalam diri manusia dan sebagai wujud dari partisipasinya sebagai warga negara dalam kontribusi dinamika politik-pemerintahan negaranya. Akan tetapi sejumlah negara berpandangan diperlukannya pembatasan hak berpartisipasi dalam pemilihan umum terutama dalam hak memulih dan dipilih.
Indonesia pada masa reformasi saat ini menerapkan sistem pembatasan partisipasi militer dalam politik dan pemerintahan. Salah satu fokus utama reformasi adalah mengurangi dominasi militer dalam pemerintahan dan politik. Pengambilan keputusan tersebut tentunya berkaitan erat dengan sejarah dan situasi politik pada pemerintahan sebelumnya. Pada masa Orde Lama, hak memilih diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Melalui Undang-undang ini semua warga negara memiliki hak yang sama, termasuk angkatan militer untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Meskipun demikian, tetapi ABRI sebagai angkatan militer tidak memiliki banyak peranan dalam pemerintahan dikarenakan tidak adanya hak untuk dipilih atau mencalonkan diri sebagai kandidat dalam pemilu. Pengaruh militer dalam politik lebih terlihat melalui penunjukan posisi strategis oleh presiden.
Pada masa Orde Baru, TNI dan Polri yang tergabung dalam ABRI sebagai angkatan militer tidak memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Hal ini diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, yang menyatakan bahwa anggota angkatan bersenjata tidak boleh menggunakan hak politik mereka. Tujuannya adalah agar ABRI tidak berpihak pada golongan tertentu dalam masyarakat. Akan tetapi ABRI memiliki hak untuk dipilih secara tidak langsung melalui penunjukan posisi strategi dalam pemerintahan dan parlemen, yakni adanya Fraksi ABRI yang tertuang dalam Pasal 10, Pasal 14, dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, dan DPRD. Selain itu, ABRI diberikan peranan ganda oleh Presiden Soeharto, yakni sebagai kekuatan militer serta kekuatan keamanan. Konsep peranan ganda tersebut diperkenalkan oleh dengan sebutan dwi fungsi ABRI dengan tujuan untuk menjadikan ABRI sebagai salah satu pilar stabilitas nasional. Melalui adanya dwi fungsi ABRI ini membuat ABRI tidak hanya memiliki peranan dalam militer saja, tetapi turut terlibat dalam perekonomian, sosial, politik, dan pemerintahan. Bahkan ABRI dapat secara signifikan mengontrol jalannya pemerintahan. Konsep dwi fungsi ABRI menimbulkan berbagai kontroversi dan kritik dikarenakan dianggap mengaburkan batas antara peranan militer dan sipil, serta berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Adapun setelah memasuki masa reformasi, pada tahun 2000, MPR mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 sehingga menciptakan kebijakan untuk memisahkan peran TNI dan Polri dari politik praktis. Sebagaimana Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menetapkan bahwa anggota TNI dan Polri tidak diizinkan untuk berpartisipasi dalam politik praktis. Dengan demikian secara resmi TNI dan Polri tidak memiliki hak memilih dan dipilih (Faradillah, 2024). Kebijakan tersebut diciptakan dengan tujuan untuk memastikan netralitas dan profesionalisme TNI dan Polri dan prinsip bahwa bahwa militer dan kepolisian harus tetap netral untuk mencegah konflik kepentingan yang dapat mengancam stabilitas nasional. Pencabutan hak memilih dan dipilih TNI serta Polri merupakan salah satu upaya reformasi yang lebih luas untuk membangun demokrasi yang sehat melalui mengurangi potensi intervensi militer dalam pemerintahan sipil. Adapun dibatasinya hak berpartisipasi dalam pemilu bagi TNI dan Polri diperkuat pada pasal 200 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum.
Adanya pembatasan partisipasi TNI dan Polri dalam pemilu terutama dalam pemberian hak memilih dan dipilih tentunya menciptakan berbagai pandangan pro dan kontra. Adanya pandangan bahwa keputusan ini adalah bentuk diskriminasi yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia dan menyuarakan untuk adanya pengembalian hak. Dengan alasan bahwa pengembalian hak ini dapat memberikan perspektif baru dan kontribusi positif dari kalangan militer dan kepolisian dalam pemerintahan sipil. Namun, di sisi lain, pihak yang menentang pengembalian hak memilih dan dipilih bagi TNI dan Polri khawatir bahwa langkah ini dapat mengancam netralitas dan profesionalisme mereka. Keterlibatan TNI dan Polri dalam politik praktis dikhawatirkan akan memicu konflik kepentingan dan memperbesar risiko intervensi militer dalam pemerintahan sipil. Kedua pandangan ini mencerminkan dilema yang dihadapi Indonesia dalam menjaga keseimbangan antara hak individu dan kebutuhan akan stabilitas nasional. Berdasarkan hal tersebut, artikel ini ditulis untuk memberikan dan memperkuat pandangan pro kontra dari pengembalian hak memilih dan dipilih bagi TNI dan Polri.
Pandangan Pro Atau Mendukung Pengembalian Hak Pemilih Dan Memilih Bagi TNI Dan Polri
Merujuk pada Undang-undang No. 7 Tahun 2017 dalam pasal 200, membuat suatu pandangan normatif yang membuat asas Indonesia sebagai negara yang berdemokrasi semakin menjauh dari demokrasi itu sendiri. Hal ini dikarenakan anggota militer termasuk juga bagian dalam warga negara Indonesia dan seharusnya ikut serta dalam partisipasi pemilu yang digambarkan sebagai perwujudan dari pesta demokrasi. Selain itu, dengan adanya uu tersebut juga bertentangan dengan HAM. Dalam perspektif HAM, hak politik individu adalah hak yang harus diberi dan digunakan oleh siapa pun, tak terkecuali anggota militer sekalipun. Apabila suatu bangsa gagal dalam pemenuhan HAM, maka bangsa tersebut bisa dikategorikan melanggar HAM. Seharusnya bangsa Indonesia dapat memenuhi hak berpolitik bagi anggota militernya, bukan malah memberikan batasan hak memilih dan dipilih bagi militer. Pada hakikatnya anggota militer juga merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak berpartisipasi dalam pemerintahan di negaranya, yaitu bangsa Indonesia. Sebagai negara yang berdemokrasi seharusnya pemerintah melihat negara adidaya dan contoh dari representasi negara yang berdemokrasi seperti Amerika Serikat yang membebaskan anggota militernya dalam melakukan partisipasi dalam pemilu.
Dalam pemilu di Amerika Serikat, anggota militer tidak dibatasi dalam pemilu, melainkan hal tersebut didukung oleh pemerintahannya. Hal serupa juga terjadi di negara seperti Brazil, dan Argentina. Hal yang menarik dari negara Brazil ialah adanya hak pembatasan memilih bagi militer, sehingga tidak semua anggota militer memiliki hak memilih tersebut dan hal ini juga pernah terjadi di Argentina. Dimana sebagian anggota militernya tidak bisa memilih dalam pemilu, hal ini berlaku pada prajurit wamil (wajib militer). Namun pasca tahun 1997, ketentuan tersebut dihapus, sehingga semua anggota bersenjata di Argentina memiliki hak dalam memilih.
Selain itu, adanya hak dalam memilih dinegara-negara lainnya ternyata juga memiliki ketentuan di dalamnya, seperti yang terjadi di Amerika Serikat Kanada, dimana tersedianya tempat memilih secara khusus bagi anggota militer, yaitu dengan mempergunakan hak memilihnya di barak militer, dan pada masa kepemimpinan Abraham Lincold proses memilih dalam partisipasi pemilu dilakukan melalui pos. Matt Reel, merupakan anggota militer AS yang mencalonkan diri dalam kontestasi anggota kongres. Ketika mencalonkan diri Matt masih aktif sebagai anggota militer, akan tetapi terdapat ketentuan dalam melakukannya yang tertuang dalam DOD Directive. Dalam ketentuan tersebut terdapat beberapa larangan seperti, dilarang berkampanye dan menggalang dana. Sehingga anggota militer tersebut tidak dikontrol oleh partai politik, melainkan atas dasar kontrol individual. Dimana anggota militer yang aktif tidak boleh melakukan kampanye sebelum statusnya tidak aktif.
Dari perbandingan yang telah dipaparkan seharusnya Indonesia bisa mengembalikan hak memilih dan dipilih bagi TNI-POLRI, terutama dalam hak memilih. Pembatasan hak memilih dan hak dipilih dalam militer tersebut, selain bertentangan dengan demokrasi sebagai asas negara Indonesia, hal ini juga bertentangan dengan HAM, dimana anggota militer juga merupakan manusia dan warga negara yang memiliki haknya yang setara dengan masyarakat lainnya. Ditinjau secara aspek historis juga, seharusnya Indonesia bisa mengembalikan hak memilih dan dipilih bagi militer seperti yang terjadi pada rezim Soekarno. Dengan tidak mengembalikan hak dipilih dan memilih bagi anggota militer merupakan hal yang tidak mencerminkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan berdemokrasi.