Ada mobil besar melintas di depan perpustakaan. Mobil itu menderu-deru meminta perhatian. Suaranya bersahut-sahutan bersama gemuruh guntur awal musim hujan. Debu sisa musim kemarin beterbangan, berhimpitan masuk ke dalam ruangan meninggalkan sesak. Debu itu meliuk-liuk samar merupa bentuk.
Marwi terbatuk sejenak. Pandangannya tegak lurus penuh harap pada mobil besar. Mungkin saja mobil itu membawa banyak buku untuk perpustakaan kecilnya. Atau mungkin mengangkut pemustaka yang haus akan aksara.
Ia banyak berharap pada mobil besar itu. Ia bahkan berharap pada debu beterbangan yang mulai mewujudkan diri di depan matanya. Debu yang perlahan menyatu di tengah dua rak buku, menyerupai satu sosok yang ia kenal baik.
"Ibu!" pekik Marwi.
Buliran air mata tak mampu dibendungnya. Seperti sudah menjadi skenario sang pencipta, hujan akhirnya turun di luar sana. Air mata dan hujanpun berlomba menetes. Marwi mengerang lirih. Otaknya terasa membeku. Entah karena hawa dingin dari guyuran derasnya hujan ataukah efek obat yang bergelayut di sakunya -- sebutir sudah ia telan. Marwi menepuk pipinya sekali. Kesadaran adalah hal penting saat ini. Padahal tak satupun yang bisa ia pikirkan. Bentukan debu itu masih meliuk di hadapannya.
"Ayolah jangan seperti ini," bisiknya pada diri sendiri. Ia masih setengah tak percaya dengan debu yang meliuk-liuk tadi.
Pandangannya beralih pada deretan tulisan dalam komputer kotrek di hadapannya -- komputer turun temurun warisan kepala desa ini dulu, ketika Marwi mengajukan proposal pendirian perpustakaan. Begitupun penamaan kotrek sendiri yang ia dengar dari pendahulunya, pendahulu dari pendahulunya juga. Entah apa artinya, abaikan saja.
Yang jelas mata berkaca minus itu makin tertutup kabut. Tangan kurusnya mengusap sejenak butiran yang masih meleleh pelan di pipi. Sebaris tulisan yang ia ketik, timbul tenggelam dalam pandangannya. Memudar. Sedangkan daftar rencana pengadaan buku dan kodefikasi belum setengahnya ia kerjakan.
Perpustakaan yang ia dirikan memang kecil, tapi bagi Marwi aktivitas di dalamnya cukup menyita waktu. Seluruh isi ruangan ia perlakukan dengan sangat baik. Buku ia tata rapi, kertas terlipat diluruskannya pelan, dan rak ia bersihkan hingga sekat terkecil.. Ada beberapa coretan pensil tipis, ia hapus sebersih mungkin. Hah, pemustakalah yang paling membuatnya sibuk. Mereka mengambil buku, membacanya, dan meletakkan begitu saja seolah barang sudah tak berguna. Seandainya boleh memaki, Marwi ingin memaki mereka dengan julukan tak beradab. Namun ia sadar, tanpa mereka perpustakaan ini tak ada jiwanya.
Mereka tak pernah tahu betapa buku yang mereka tinggalkan di meja sekenanya, adalah harta berharga bagi Marwi. Ya, ia begitu mencintai buku-buku. Karena itulah dengan penuh perjuangan ia dirikan perpustakaan tersebut. Angan Marwi melayang pada masa kecilnya.