Sepasang kaki tua melangkah terseok. Telapak kakinya tampak pecah-pecah. Tiap pecahannya penuh cerita hidup yang ia lalui. Betisnya terdapat bekas luka, terkena tembak katanya.
Ia lalu menginjak sampah botol plastik meninggalkan bunyi kratak, menarik perhatian berpasang mata yang berteduh di bawah bayang-bayang gedung menjulang. Kaki itu memakai sandal berbeda kiri kanannya. Sandal sebelah kiri berwarna biru dengan ukuran sedikit lebih besar daripada kakinya. Sedangkan sebelah kanan berwarna pink, terlihat terlalu sempit ketika ia pakai. Orang yang dilewatinya menatap penuh kebingungan.
"Apakah dia bodoh?" tanya seseorang yang duduk di atas motor sambil menyedot es warna-warninya sedikit demi sedikit.
"Kurasa dia gila," tangkis pria klimis sembari mengusap poninya. Bau rambutnya sanggup mengundang puluhan serangga.
Tidak, dia tidak gila. Dia hanya lelaki bodoh yang masa kecilnya tak memperoleh makanan bergizi. Ketika dilahirkan ke dunia, air susu ibunya tak keluar -- mungkin waktu hamil hanya makan gaplek atau mungkin stres. Setiap dia menangis kehausan, sesendok air tajin dimasukkan ke dalam mulutnya. Hanya air tajin, tak ada yang lain. Akibatnya dia mengalami gangguan kecerdasan. Kemudian nama Pandir disematkan untuk mengganti nama aslinya.
"Merdeka!" Pandir memekik keras pada kerumunan itu.
Pekikan itu tak bersambut. Mereka berdengung serupa lebah tanpa peduli apakah akan membuatnya marah. Mulut mereka terus berkomat-kamit menggumamkan ejekan. Yang hatinya merasa tak tega, hanya menggelengkan kepala.
"Apa sudah merdeka, Ndir?" ejek si pria klimis.
Sejenak tatapan Pandir kosong, alisnya hampir menyatu menuju titik temu. Dia ingin bertanya juga apakah sudah merdeka, sedangkan di sekitarnya masih saja ada mulut-mulut mengeluarkan keluh kesah. Tetangganya kemarin menangis menelungkup di tanah saat seseorang berkemeja rapi datang sambil membawa buku catatan. Dia sendiri belum terbebas dari kebodohan. Namun, kata almarhum bapaknya, negara ini sudah merdeka dan dia percaya saja.
Bapaknya adalah seorang pejuang yang memperistri aktivis Palang Merah Indonesia. Pandir kecil dilahirkan di tengah desing tembakan. Bahkan ketika usianya belum belasan, kaki kanannya terkena peluru nyasar. Sungguh kasihan.
"Kita sudah merdeka," jawabnya mantap. Matanya tertuju ke atas, ke arah bendera berkibar di tengah taman kecil.