*Malang* -- Dalam dekade terakhir, neurofinance semakin menarik perhatian di kalangan akademisi dan praktisi keuangan. Bidang studi interdisipliner ini, yang menggabungkan ilmu saraf dan keuangan, berusaha memahami bagaimana otak manusia memproses informasi dan membuat keputusan finansial. Munculnya neurofinance memberikan wawasan baru yang melampaui sekadar analisis angka, membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang respons emosional serta mekanisme kognitif di balik setiap pilihan investasi. Peningkatan teknologi, seperti fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging), memungkinkan para peneliti memantau aktivitas otak saat seseorang menghadapi keputusan finansial yang rumit.
Sejarah neurofinance sendiri tidak bisa dilepaskan dari perkembangan keuangan perilaku atau *behavioral finance* yang berkembang pesat pada akhir abad ke-20. Tokoh-tokoh seperti Daniel Kahneman dan Amos Tversky menjadi pionir dalam memahami bagaimana bias kognitif memengaruhi perilaku investasi. Dengan teori yang menunjukkan bahwa manusia sering kali tidak rasional dalam mengambil keputusan, mereka menekankan bahwa investor dapat terpengaruh oleh berbagai bias psikologis, seperti terlalu percaya diri dan kecenderungan pada informasi yang sudah diketahui atau familiar (*anchoring*). Teori-teori inilah yang akhirnya mendorong munculnya neurofinance, sebuah disiplin yang mengedepankan analisis terhadap fungsi otak dalam merespons keputusan-keputusan finansial.
Seiring dengan perkembangan teknologi dalam ilmu saraf, penelitian neurofinance pertama kali memperoleh momentum ketika teknologi fMRI mulai diaplikasikan dalam studi ekonomi pada awal 2000-an. Studi awal oleh peneliti seperti Read Montague mengungkapkan bahwa otak manusia bereaksi secara berbeda terhadap risiko dan hadiah, mengaktifkan area tertentu di otak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dalam situasi berisiko. Temuan ini membuktikan bahwa pengambilan keputusan keuangan bukan sekadar hasil proses rasional, melainkan juga melibatkan respons emosional yang terkadang tak terhindarkan. Di sinilah peran neurofinance dalam memahami bagaimana emosi, baik positif maupun negatif, memengaruhi pola pikir investor ketika menghadapi situasi di pasar yang penuh ketidakpastian.
Sejumlah penelitian berikutnya semakin memperkuat temuan tersebut, menunjukkan bahwa respons otak terhadap sinyal keuntungan dan kerugian tidak hanya berbeda, tetapi juga memicu kecenderungan perilaku tertentu. Ketika investor menghadapi sinyal keuntungan, misalnya, area otak yang terkait dengan kepuasan dan penghargaan menjadi aktif, mendorong mereka untuk lebih berani mengambil risiko, yang dapat menyebabkan perilaku spekulatif. Sebaliknya, ketika investor dihadapkan pada sinyal kerugian, otak cenderung merespons dengan kecemasan, yang menyebabkan investor menjadi lebih defensif dan cenderung menjual saham untuk menghindari risiko lebih lanjut. Kondisi ini menunjukkan bahwa investor tidak selalu bertindak rasional, bahkan ketika mereka memiliki data atau informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang logis.
Penelitian terbaru di bidang neurofinance juga telah membuka peluang baru dalam dunia investasi digital. Saat ini, platform investasi mulai menggunakan kecerdasan buatan untuk mendeteksi pola perilaku investor, sebagian besar berdasarkan pengetahuan yang dikembangkan dalam neurofinance. Dengan algoritma yang dapat mengenali respons emosional, investor diberi peringatan jika mereka cenderung bertindak secara emosional, yang bisa saja mengarahkan pada keputusan investasi yang impulsif. Aplikasi praktis dari neurofinance ini menunjukkan potensi besar untuk membantu masyarakat umum dalam mengelola investasi mereka secara lebih bijaksana. Di Indonesia sendiri, perkembangan ini masih dalam tahap awal, namun potensi penerapannya sangat menjanjikan untuk masa depan investasi yang lebih cerdas.
Namun, meskipun neurofinance menjanjikan pemahaman yang lebih mendalam, bidang ini juga menghadapi tantangan besar, terutama dalam aspek privasi dan etika. Penggunaan data biometrik dan pemantauan otak untuk keperluan analisis perilaku mengundang kekhawatiran terkait penyalahgunaan informasi. Banyak pihak yang khawatir bahwa data ini bisa digunakan oleh institusi keuangan untuk memengaruhi atau bahkan memanipulasi keputusan finansial individu. Hal ini membuka perdebatan mengenai regulasi dan perlindungan data dalam penggunaan neurofinance, serta pentingnya menjaga transparansi agar teknologi ini tetap digunakan dengan etis.
Ke depannya, neurofinance masih memiliki potensi besar untuk berkembang, terutama dengan dukungan teknologi yang semakin canggih. Di era di mana keputusan finansial semakin kompleks dan cepat berubah, neurofinance dapat menjadi alat yang kuat untuk membantu investor memahami diri mereka sendiri, mengenali bias yang mungkin merugikan, dan pada akhirnya membuat keputusan yang lebih rasional dan terukur. Bagi dunia akademis, perkembangan ini membuka jalan baru bagi riset interdisipliner yang menggabungkan psikologi, ilmu saraf, dan ekonomi. Sementara itu, bagi masyarakat luas, neurofinance menawarkan pendekatan yang lebih personal dan adaptif dalam mengelola portofolio mereka, dengan memahami bahwa setiap keputusan finansial tidak hanya didasarkan pada data, tetapi juga pada respons emosional yang sangat manusiawi.
Di sisi lain, pendekatan neurofinance juga memberikan implikasi penting bagi pengembangan edukasi keuangan. Dengan memahami bagaimana respons otak dapat memengaruhi keputusan, lembaga-lembaga keuangan dan platform investasi memiliki peluang untuk merancang program pelatihan yang lebih efektif. Pelatihan ini dapat membantu investor mengenali dan mengatasi bias mental yang kerap muncul, seperti rasa takut berlebihan dalam kondisi pasar yang bergejolak atau terlalu percaya diri ketika pasar sedang bullish. Pendekatan edukasi berbasis neurofinance dapat meningkatkan kesadaran investor akan faktor-faktor yang tidak disadari memengaruhi keputusan mereka, sehingga mengurangi risiko pengambilan keputusan yang emosional.
Selain itu, neurofinance juga membuka peluang untuk lebih memahami perbedaan individu dalam pengambilan keputusan finansial. Faktor usia, latar belakang ekonomi, bahkan pola pikir individu dapat memengaruhi cara mereka merespons risiko. Penelitian menunjukkan bahwa investor muda, misalnya, cenderung lebih berani mengambil risiko dibandingkan investor yang lebih senior. Pemahaman ini dapat memberikan dasar bagi pengembangan strategi investasi yang lebih dipersonalisasi, di mana pendekatan investasi dapat disesuaikan dengan profil psikologis dan kognitif masing-masing investor, bukan hanya berdasarkan profil risiko umum.
Di masa depan, neurofinance diprediksi akan terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi di bidang neurosains dan kecerdasan buatan. Dengan meningkatnya kemampuan untuk menganalisis data besar (big data), perusahaan-perusahaan keuangan dapat mengombinasikan wawasan dari neurofinance dengan analisis data untuk menghasilkan rekomendasi investasi yang lebih akurat dan relevan. Neurofinance tidak hanya menawarkan pemahaman baru dalam ranah akademis, tetapi juga berpotensi menjadi alat praktis yang mampu membantu masyarakat membuat keputusan finansial yang lebih bijaksana, berdasarkan analisis yang lebih dalam terhadap perilaku dan respons mental setiap individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H