Rasanya mau meneteskan air mata kalau mengenang peristiwa delapanbelas tahun lalu. Betapa tidak? Siang itu, wajah ayahku terasa datar. Tidak seperti biasanya. Tidak ada sedikitpun senyuman di wajahnya. Dia mulai menyandarkan punggungnya ke sofa yang ada di ruang tamu rumah kami. Kemudian meluruskan kakinya ke bawah meja dan melipat kedua tangan di atas perut seraya menarik nafas dalam-dalam.
Ibuku datang menghampirinya, seraya bertanya "Kanapa Pak?"
Dengan perlahan, ayah kami menyerahkan sepucuk surat kepada ibu. Sambil menceritakan isi surat tersebut. Surat yang berisikan penolakan atas pengajuan proposal polis asuransi jiwa dan kesehatan ke sebuah lembaga asuransi swasta.
Sementara aku hanya menyaksikan dan mendengar pembicaraan mereka dari ruang sebelah, sambil nonton tv. Aku hanya bisa memahami dan merasakan kekecewaan ayah waktu itu. Melihat semangat dan harapannya yang begitu besar untuk memiliki polis asuransi jiwa dan kesehatan yang baru. Karena polis asuransi jiwa ayah kami sebelumnya sudah berakhir masa kontraknya selama 20 tahun.
Aku tahu bahwa ayah kami adalah orang yang sadar betul pentingnya merencanakan masa depan dan memproteksi diri melalui asuransi. Berdasarkan pengamatanku, Â ayah kami juga sangat telaten dan rajin untuk urusan pembayaran iuran asuransinya melalui kantor pos setiap bulannya. Bahkan selama duapuluh tahun tidak pernah sekalipun terlambat pembayarannya. Ini cukup alasan untuk menjelaskan kalau ayahku benar-benar sadar pentingnya asuransi. Prinsip yang selalu dipegangnya, bahwa masa purnabakti atau masa tuanya, jangan sampai merepotkan anak-anaknya kelak untuk urusan biaya kesehatannya.
Bersamaan dengan surat penolakan proposal polis yang diajukannya, baru kami tahu bahwa riwayat penyakit paru-paru yang pernah diderita ayah kami adalah alasan kuat pihak lembaga asuransi untuk menolaknya. Bahasa keren dari pihak asuransi mereka sebut, pre existing condition. Dari sejak itu ayahku tidak pernah lagi mengajukan proposal polis asuransi. Padahal umurnya masa itu masih tergolong muda, berkisar limahpuluh tahun. Masih produktif.
BPJS Kesehatan adalah Malaikat Tanpa Sayap
Tahun 2014 adalah tahun kejutan yang membahagiakan bagi ayahku. Pemerintah resmi mengumumkan dan mensosialisasikan secara besar-besaran program baru pemerintah untuk mendukung jaminan sosial dalam bidang kesehatan, yaitu BPJS Kesehatan. Semua lapisan masyarakat di seluruh Indonesia berhak untuk menjadi pesertanya.
Kekecewaan ayah ketika pernah ditolak lembaga asuransi, kini terobati dengan kehadiran BPJS Kesehatan. Saat itu ayahku bisa tersenyum lebar dengan kartu BPJS Kesehatan yang ada ditangannya. Dengan keadaan sudah pensiun dan keterbatasan biaya, ayahku hanya mampu mendaftarkan dirinya, ibu dan adik kami yang ada di kampong bersama mereka untuk manfaat pelayanan kelas III, dengan biaya Rp. 25.500 (duapuluh lima ribu lima ratus rupiah) per orang untuk setiap bulannya.
Hingga saat itu, baru kami menyadari bahwa pemerintah hadir bagi rakyat kecil. Ketika lembaga asuransi menolak pengajuan polis ayahku dengan alasan pre existing condition, pemerintah melalui BPJS Kesehatannya menyambut hangat dengan tangan terbuka. BPJS Kesehatan tidak memberlakukan pre existing conditionbagi orang tua kami, walaupun ada riwayat paru-paru, asam urat dan diabetes yang juga dideritanya. Inilah prinsip keadialan tersebut. Sesuai dengan tujuan negara yang ada di Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Tidak ada pengecualian bagi masyarakat Indonesia.
Kesedihan mulai menyelimuti keluarga kami. Ayah kami, Agustus 2015 lalu divonis dokter mengalami kerusakan ginjal. Mungkin selama ini karena terlalu banyak mengkonsumsi obat asam urat dan diabetes. Lebih sedih lagi ketika dokter pada akhirnya menyarankan tindakan cuci darah (hemodialisa) karena kadar ureum dan racun dalam darah orang tua kami sangat tinggi, ini diakibatkan karena ginjal tidak berfungsi secara maksimal lagi.