Sejarah pertambangan di Indonesia telah dimulai dengan kegiatan pertambangan secara tradisional oleh penduduk dengan seizin penguasa lokal seperti raja dan sultan. Kemudian sejak berkuasanya Pemerintah Hindia Belanda, tahun1850 dibentuk Dienst van het Mijnwezen (Dinas Pertambangan) yang berkedudukan di Batavia. Dinas ini bertujuan untuk mengoptimalkan penyelidikan geologi dan pertambangan menjadi lebih terarah.
Menjelang 1920, sesuai dengan rencana Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Bandung sebagai ibukota Hindia Belanda, maka dilakukan persiapan untuk memindahkan kantor Mijnwezen ke Bandung. Departement Burgerlijke OpenbareWerken (Departemen Pekerjaan Umum) yang membawahi Mijnwezen dan menempati Gedung Sate.
Selanjutnya 1922, lembaga Mijnwezen berganti nama menjadi Dienst van den Mijnbouw. Dan pemerintah Hindia Belanda mulai membangun gedung Geologisch Laboratorium yang terletak di jalan Wilhelmina Boulevard untuk kantor Dienst van den Mijnbouwpada 1928. Gedung ini diresmikan pada 16 Mei 1929, dan sekarang kita kenal dengan Museum Geologi, yang berlamat di Jalan Diponegoro No.57 Bandung.
Dalam rangka menyambut Hari Jadi Pertambangan dan Energi Nasional ke-71, Kompasiana-PT.Freeport mengajak Kompasianer untuk berpartisipasi dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai pertambangan dengan segala potensi dan pemanfaatannya. Dalam hal ini Museum Geologi Bandung dijadikan sebagai tempat pelaksanaan acara nangkring tersebut. Seolah ini sedang melakukan napak tilas, mengingatkan kembali peristiwa 86 tahun yang lalu dan arti pentingnya bagi perkembangan pertambangan di Indonesia.
Arti Pentingnya Tambang dalam Kehidupan
Saya masih ingat dalam pelajaran sejarah ketika di sekolah dulu. Masyarakat prasejarah Indonesia pun ternyata sudah menggunakan bahan-bahan tambang dalam menunjang kehidupan dan perkembangan peradaban. Mereka sangat membutuhkan berbagai jenis logam untuk peralatan yang mereka gunakan. Bukan itu saja. Mereka membutuhkannya untuk menunjang sarana upacara kepercayaan.
Masih ingatkah pembaca dengan dua peralatan penting di zaman perunggu (zaman logam)? Betul sekali! nekara dan moko. Bahkan kedua peninggalan dari zaman prasejarah tersebut masih bisa ditemukan hingga saat ini di beberapa daerah.
Berjalannya waktu, semenjak Indonesia dipengaruhi oleh agama dan kubudayaan Hindu-Buddha, maka kebutuhan akan bahan-bahan tambang pun semakin meningkat pula. Terutama untuk keperluan upacara, pernak-pernik dalam kerajaan. Demikian halnya untuk keperluan masyarakatnya untuk peralatan yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari.
Bahkan bila kita amati sekarang ini, hampir seluruh aspek kehidupan kita sangat membutuhkan bahan-bahan tambang. Mulai dari sarana transportasi, misalnya sepeda, motor, mobil, kapal dan pesawat. Perlengkapan rumah tangga, seperti pisau, piring, sendok, panci dan peralatan masak. Bahkan bangunan-bangunan yang kita tempati seperti gedung-gedung, hotel, apartemen, rumah, jembatan. Sampai peralatan keagamaan dan perhiasan yang melekat pada diri kita pun  tidak luput dari bahan-bahan tambang.
Untuk itu, tidak ada yang dapat mengingkari bahwa barang-barang tambang tersebut sangat diperlukan dalam kehidupan kita mulai dari zaman primitif, zaman tradisional, hingga zaman modern ini. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memikirkan keberlanjutannya, pengaruhnya terhadap lingkungan alam dan masyarakat lokal, itu yang paling penting dipikirkan secara serius, bukan semata-mata penolakan yang tanpa dasar.
Pertambangan dan Kelanjutan Lingkungan, Ekonomi dan Sosial Budaya
Permasalahan utama dalam pertambangan sebenarnya tidak lepas dengan saat-saat dilaksanakannya penambangan tersebut atau pasca penambangan berakhir. Dengan demikian isu yang sering disoroti adalah bagaimana kelanjutan dari berbagai aspek lingkungan alam dan masyarakat. Ini adalah isu penting yang harus diprioritas dan dipikirkan secara serius. Sekarang bagaimana memikirkan keberlanjutan lingkungan alam dan masyarakat walaupun pertambangan tetap dilaksanakan.