Di status facebook teman di dunia maya, Hilman Fajrian (17/10/2016), isinya kira-kira demikian "Setelah IQ dan EQ menjadi alat ukur kecerdasan, kini ada DQ (Digital Intelligence Quotient). DQ diklaim sebagai gabungan kemampuan sosial, emosional dan kognitif yang membuat seorang individu mampu menghadapi tantangan dan beradaptasi di era kehidupan digital. Tantangan bagi pendidik adalah tak lagi melihat IT sekedar sebagai alat atau platform pendidikan. Namun mengembangkan kecerdasan dan keterampilan anak agar unggul secara offline dan online dalam dunia dimana media digital sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari."
Saya memang belum sempat mendalami lebih jauh tentang DQ tersebut. Tapi menurut hemat saya, sudah saatnya DQ tersebut menjadi perhatian serius. Mengingat era kehidupan digital dan internet berkembang pesat, dunia semakin terbuka lebar. Sehingga globalisasi tidak lagi semata karena perkembangan perdagangan dan transportasi seperti dulu. Tapi lebih dari itu, bahwa peran Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) jauh lebih besar mengglobalkan dunia.
Bagi bangsa kita, khususnya anak muda, perkembangan TIK tersebut merupakan tantangan sekaligus peluang. Tantangan karena perputaran arus informasi yang begitu cepat dari segala penjuru, tentu dibarengi suguhan budaya dari berbagai belahan dunia. Bila kita tidak punya prinsip yang kuat, siap-siap saja nilai-nilai yang kita anut tergerus oleh masuknya budaya yang tidak sesuai dengan tradisi kita. Belum lagi banyak memanfaat media internet untuk hal yang kontra produktif, seperti tindakan provokatif, kriminal, penyebaran hoax melalui media sosial, dan lain sebagainya.
Sementara berbicara tentang peluang dari pemanfaatan TIK ternyata jauh lebih menarik. Melalui pemanfaatan TIK anak-anak muda semakin kreatif dan inovatif. Belum lagi banyak dimanfaatkan untuk pengembangan bisnis dan jaringan.
Sesungguhnya, TIK itu pun sebenarnya ibarat sebuah pisau. Bisa digunakan untuk mengupas bawang tapi bisa juga untuk melukai seseorang. Pilihan ada ditangan pengguna. Demikian TIK tersebut, bahwa pengguna bebas memilih pemanfaatannya, tapi tentu ada konsekuensi masing-masing. Memilih untuk ikut memajukan peradaban manusia atau sebaliknya. Memilih untuk pengembangan kreatifitas atau untuk merugikan orang lain.
Saya sebagai pendidik, sependapat dengan Hilman Fajrian dalam statusnya tersebut, "Tantangan bagi pendidik adalah tak lagi melihat IT sekedar sebagai alat atau platform pendidikan. Namun mengembangkan kecerdasan dan keterampilan anak agar unggul." Kalau boleh menambahkan, peran pendidik juga perlu tetap menanamkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai agama dan budaya kepada anak didik. Sehingga disamping kognitif dan psikomotornya, ranah afeksi dan karakter juga tidak boleh terabaikan.
Dengan demikian, disaat #IndonesiaMakinDigital, kita pun tidak kuatir dengan pilihan-pilihan dari anak didik dan para remaja yang semakin menggeliat di era digital dan internet seperti sekarang ini, sebab anak-anak kita sudah memiliki kecerdasan sekaligus bijaksana dalam bertindak.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H