Misalnya, dengan kenaikan suhu 1,5, 14% populasi global terdampak gelombang panas, tiap 100 tahun fenomena laut kutub utara tanpa es di musim panas, 0,5 meter kenaikan permukaan laut, 1,5 juta ton penurunan hasil perikanan laut per tahun, 3% penurunan hasil panen per tahun, 8% kepunahan tanaman, 4% kepunahan hewan, 70-90% kepunahan terumbu karang.Â
Sementara kalau kenaikan suhu 2, 37% populasi global terdampak gelombang panas, tiap 10 tahun fenomena laut kutub utara tanpa es di musim panas, 0,6 meter kenaikan permukaan laut, 3 juta ton penurunan hasil perikanan laut per tahun, 7% penurunan hasil panen per tahun, 16% kepunahan tanaman, 8% kepunahan hewan, 99% kepunahan terumbu karang.Â
Selain hal itu, kerusakan lingkungan dan perubahan iklim juga ternyata akan menimbulkan risiko fisik dan risiko transisi yang berimplikasi pada stabilitas moneter dan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).Â
Sudah tahu maksud risiko fisik dan risiko transisi yang berimplikasi pada stabilitas moneter dan SSK?Â
Risiko fisik adalah risiko turunan akibat perubahan iklim yang ekstrem. Seperti risiko gagal panen, harga menjadi tidak stabil, penjualan menurun, pendapatan menurun, konsumsi terganggu, dan akhirnya berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat serta SSK akan terganggu.Â
Menurut Bappenas, Swiss Re Institute (2021), ternyata kerugian Indonesia akibat perubahan iklim diestimasi dapat mencapai lebih dari Rp. 100 Triliun per tahun dan akan terus meningkat sampai dengan 40% PDB pada 2048.Â
Bagaimana pula risiko transisi?Â
Sebelumnya, kita perlu paham dulu tentang risiko transisi. Risiko transisi adalah risiko gagalnya menuju ekonomi rendah karbon atau akibat menunda pencapaian rendah karbon.Â
Berdasarkan data Green Ekonomi Indeks, Bappenas, kalau berhasil mengantisipasi risiko transisi atau berhasil menuju ekonomi rendah karbon, maka kita berpeluang memperkuat pertumbuhan ekonomi hingga 6.1-6.5% selama tahun 2021-2045, menambah lapangan pekerjaan (green jobs) sampai 1,8 juta pekerjaan pada tahun 2030, serta menambah tutupan hutan sebesar 4,1 juta hektar pada tahun 2060.Â
Mengingat pentingnya mengantisipasi risiko fisik dan risiko transisi, maka Bank Indonesia pun turut mendorong pengembangan ekonomi keuangan hijau melalui Kebijakan Makroprudensial. Begitu juga dengan perbankan.Â
Ngomong-ngomong sudah pernah mendengar ekonomi keuangan hijau?Â